TEMPO.CO, Jakarta – Praktisi hukum ketenagakerjaan dari Dentons HPRP, Linna Simamora menilai revisi undang-undang (UU) Ketenagakerjaan sudah mendesak. Revisi itu diperlukan untuk mengembalikan minat investor asing kembali menanamkan modalnya di Indonesia.
Menurut Linna, pada UU Ketenagakerjaan saat ini, terdapat beberapa hal penting yang dirasakan kurang fleksibel bagi para investor asing yang akan berinvestasi di Indonesia. “Dari berbagai komentar yang saya terima, isu mengenai proses pemutusan hubungan kerja yang mensyaratkan pemberian surat peringatan satu, dua, dan tiga sebelum dilakukan PHK dirasa kurang fleksibel dan berbelit-belit,” kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo Jumat, 12 Juli 2019.
Penghapusan alasan kesalahan berat sebagai dasar PHK disebut Linna sebagai hal yang sangat dikeluhkan perusahaan. Perusahaan menjadi tidak punya banyak pilihan dalam menghadapi pekerja yang melakukan kesalahan-kesalahan, termasuk kesalahan berat. “Padahal, apabila dibiarkan akan lebih merugikan perusahaan,” kata Linna.
Linna menambahkan, ada hal yang lain yang dianggap kurang fleksibel untuk para investor yaitu masalah jangka waktu kerja pegawai saat baru direkrut. Pada praktiknya, penerapan masa percobaan yang hanya tiga bulan untuk pekerja tetap atau yang disebut pekerja PKWTT (perjanjian kerja waktu tidak tertentu) dinilai tidak cukup sehingga menimbulkan kesulitan bagi investor, dalam hal ini perusahaan, dalam menilai kinerja seseorang yang akan dipekerjakan secara permanen.
Selanjutnya Linna mengungkapkan, UU Ketenagakerjaan juga membatasi jenis pekerjaan yang dapat dilakukan menggunakan skema kontrak atau yang dikenal dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Selain dari jenis pekerjaannya, masa kerja suatu PKWT juga diberlakukan batas maksimum dan tanpa masa percobaan.
Mengutip laporan Japan External Trade Organization (JETRO) pada Februari 2019, Linna menyebut salah satu masalah manajemen utama adalah rasio kenaikan upah buruh di Indonesia yang tertinggi se-ASEAN. Akibatnya, risiko kenaikan biaya di Indonesia sebesar 47 persen, di atas Vietnam yang hanya 30 persen.
Linna menyampaikan, yang penting adalah UU hasil revisi nantinya mampu memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, baik pengusaha dan pekerja, dan dapat memberikan win-win situation bagi keduanya. Dengan demikian, Indonesia menjadi lebih menarik bagi para investor asing untuk menanamkan modal.
Sebelumnya, Koalisi masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat alias Gebrak menolak rencana pemerintah dan usulan pengusaha untuk merevisi Undang-undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Pasalnya, usulan itu dinilai bakal merugikan dan memiskinkan buruh.
“Kami menolak tegas revisi Undang-undang Ketenagakerjaan dan mendorong kebijakan yang pro-buruh,” ujar Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Rabu, 10 Juli 2019. Ia mendorong pemerintah menggandeng serikat buruh dalam merevisi beleid itu, tidak hanya dari sudut pandang pengusaha.
Baca Juga : TGPF Kasus Novel: Peristiwa Bisa Dipetakan, Fakta Hukum Sulit