TEMPO.CO, Jakarta – Indonesia Corruption Watch meminta tak ada intervensi politik dalam penanganan korupsi di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang dimulai dengan operasi tangkap tangan atau OTT jaksa Kejaksaan Tinggi DKI. “Baiknya memang tidak ada intervensi politik. Ini bukan urusan politik, tapi murni penegakan hukum,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dihubungi, Sabtu, 29 Juni 2019.
Pernyataan Kurnia merupakan tanggapan terhadap anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Nasdem Taufiqulhadi yang menilai KPK semestinya mempersilakan Kejaksaan menangani sendiri perkara korupsi yang dimulai dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap dua jaksa di Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta. “Kalau memang ada jaksa yang diperkirakan terjerat hukum langkah seharusnya adalah memberitahukan agar ditindak oleh lembaga itu sendiri,” kata Taufiqulhadi ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 29 Juni 2019.
Menurut Taufiqulhadi, KPK cenderung mengambil tindakan sendiri untuk mempermalukan Kejaksaan. Anggota Dewan Pakar Partai Nasdem ini tak khawatir soal kemungkinan adanya konflik kepentingan antara KPK dan Kejaksaan. Masyarakat dan Komisi Hukum DPR dapat mengawasi dan memastikan kelanjutan kasus itu.
KPK menangkap tangan dua jaksa, dua pengacara dan satu pihak swasta di Jakarta pada Jumat, 28 Juni 2019. KPK menduga telah terjadi transaksi suap sehubungan dengan penanganan perkara pidana di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Dalam operasi itu, KPK menyita Sin$ 21 ribu. Jumlah itu masih bisa bertambah karena proses perhitungan masih dilakukan.
Jaksa Agung H.M Prasetyo mengatakan ingin kasus itu ditangani lembaganya. Dia akan memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus untuk merundingkan hal itu dengan KPK. Prasetyo mengusulkan dua skenario dalam penanganan perkara ini. Pertama, semua orang yang ditangkap akan diproses di Kejaksaan Agung. Skenario kedua, Kejagung akan memproses dua jaksa yang ditangkap. Sementara pengacara dan pihak swasta yang ditangkap akan diproses KPK.
Taufiqulhadi menyatakan mendukung permintaan Jaksa Agung yang ingin mengambil alih penanganan kasus itu dari KPK. “Bisa diselesaikan persoalan itu meskipun tidak ditangani KPK.”
Permintaan ini dikritik pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar. Fickar menilai Kejaksaan Agung tak bisa mengambil alih penanganan perkara hasil OTT jaksa oleh KPK. Dia mengatakan berdasarkan Undang-Undang KPK, lembaga antirasuah itu bertugas melakukan supervisi dalam hal pemberantasan korupsi di institusi penegak hukum lainnya. “KPK yang justru bisa mengambil alih kasus di kejaksaan, bukan sebaliknya,” kata pengajar di Universitas Trisakti ini dihubungi Sabtu, 29 Juni 2019.
Baca Juga : Yusril: Kecurangan Tak Bisa Dibuktikan Meski Sidang 3 Bulan