tirto.id – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) memaparkan laporan terkait situasi dan kondisi terkait praktik penyiksaan di Indonesia selama periode Juni 2018-Mei 2019. Laporan itu dipaparkan dalam peringatan Hari Penyiksaan Internasional 2019 pada 26 Juni 2019, di Jakarta pada Rabu (26/6/2019) siang.
Peneliti KontraS, Rivanlee Anandar mengatakan berdasar hasil pemantauan lembaganya, terdapat 72 kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia sepanjang Juni 2018 sampai Mei 2019.
KontraS mencatat ada 5 provinsi lokasi praktik penyiksaan terbanyak: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua. “Kita mendata provinsi seluruh Indonesia, lalu kita lihat pada lima daerah ini,” kata Rivanlee.
Dia menilai cakupan pemberitaan tentang penyiksaan masih sedikit. Hal itu disebabkan oleh akses informasi yang minim, ada isu nasional yang sedang naik ekskalasinya, dan tertutupnya ruang bagi keluarga korban untuk memberikan keterangan ke media karena tekanan aparat.
“Jadi tiga hal tersebut menjadi salah satu penyebab mengapa pemberitaan penyiksaan satu tahun belakangan cenderung sedikit,” ujar dia.
Rivanlee juga mengatakan, kasus penyiksaan di lima provinsi tersebut memiliki karakter masing-masing. Sebagai contoh, penyiksaan yang terjadi di Aceh terjadi karena masih ada pro dan kontra terhadap penerapan hukum cambuk.
Sementara di NTT, KontraS menyoroti kasus penyiksaan Bernadus Feka oleh aparat. “Seperti kasus Bernadus Feka dipukuli dan disiksa tanpa alasan yang jelas,” kata Rivanlee.
Kordinator KontraS, Yati Adriyani menambahkan laporan lembaganya itu disusun menggunakan metodologi kualitatif dan kuantitatif.
“Kami mengumpulkan informasi dan data, berdasar analisa hukum dan juga aturan internasional yang ada,” kata Yati.
Dia mengatakan, penyusunan laporan tersebut berdasarkan pemantauan dan investigasi peristiwa penyiksaan yang pernah terjadi di Indonesia, dokumen dan pendampingan hukum oleh KontraS.
“[Laporan itu] Berdasarkan pendampingan hukum atau pendampingan litigasi dan nonlitigasi yang kami lakukan di KontraS. Ketiga, merujuk pada dokumen sekunder terkait persoalan ini,” ujar Yati.
Baca Juga : KPK Ultimatum Menag Lukman Dan Khofifah, Kenapa?