Jakarta, detik.com – Akhir-akhir ini kosa kata “people power” banyak terdengar dalam dalam wacana politik usai pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Secara sederhananya, istilah “people power” itu dimaksudkan sebagai penggunaan kekuatan massa (rakyat) untuk mendesakkan perubahan politik atau pergantian kekuasaan di suatu negara. Pada umumnya, people power itu digunakan untuk meruntuhkan rezim yang berkuasa relatif terlalu lama, dianggap diktator, sewenang-wenang dan menyengsarakan rakyat.
Sementara, upaya-upaya normal konstitusional untuk melakukan perubahan terhalang oleh kekuatan rezim, baik menggunakan kekuatan militer maupun kekuatan lembaga- lembaga konstitusional dan administratif yang direkayasa begitu rupa untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam sejarah, terdapat beberapa kasus people power seperti terjadi di Philipina dalam meruntuhkan kekuasaan Presiden Ferdinand Marcos, dan people power dalam mendesakkan mundurnya Presiden Soekarno (1966/1967), serta people power dalam mendesak untuk “melengserkan” Presiden Soeharto (1998).
Akibat people power yang terjadi berminggu-minggu lamanya di Metro Manila, Marcos pada akhirnya meninggalkan Philipina menuju Guam, sebuah pulau kecil yang terletak tidak jauh dari Philipina tetapi menjadi wilayah Amerika Serikat. Presiden Soekarno juga secara bertahap dimundurkan dari kekuasaannya pasca G-30 S, setelah lebih 20 tahun menjabat sebagai Presiden, walaupun baru efektif sebagai kepala pemerintahan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Presiden Soeharto pun akhirnya juga “menyatakan berhenti” dari jabatannya setelah berkuasa lebih dari 30 tahun akibat krisis moneter dan segala implikasinya yang mulai terjadi pada akhir 1997. Baik Soekarno maupun Soeharto didesak untuk turun dari jabatannya melalui gerakan massa yang disebut sebagai people power itu.
Dari tiga kasus sejarah di atas, kita dapat menyaksikan keberhasilan people power dalam menurunkan rezim. Siapa yang menjadi pemimpin people power tidak terlalu jelas. Memang akan selalu ada tokoh yang mengipas-ngipasi people power, namun gerakan itu umumnya terjadi secara spontan dan massif. Berbeda dengan revolusi atau kudeta yang biasanya dipimpin oleh seorang tokoh sentral tanpa melibatkan massa yang besar. Setelah rezim jatuh, maka pemimpin revolusi otomatis mengambil alih kekuasaan. Jenderal Ayyub Khan di Pakistan (1958) atau Kolonel Muammar Ghaddafi di Libya (1969) misalnya, otomatis mengambil alih kekuasaan di negaranya dan membentuk kekuasaan baru dengan cara-cara revolusioner. Baru kemudian mereka mengumumkan konstitusi untuk memberi legitimasi pada kekuasaan mereka.
Dalam satu kasus di Philipina, dan dua kasus di negara kita, gerakan people power umumnya tidak mempunyai tokoh sentral. Setelah didesak dengan kekuatan massa di jalan-jalan utama Manila, Marcos pergi meninggalkan negaranya. Dalam situasi seperti itu rakyat mendesak Congress of the Philippines untuk bersidang. Congress pada akhirnya memberhentikan Marcos dan menunjuk Ny. Corazon Aquino, seorang ibu rumah tangga, istri dari tokoh oposisi Philipina Ninoy Aquino, yang mati ditembak rezim Marcos di Bandara Manila beberapa tahun sebelumnya, sebagai pemimpin Philipina.
Pasca G-30 S akhir 1965, demo besar-besaran juga terjadi hampir merata di kota-kota besar negara kita. Tuntutan pembubaran PKI menggema dimana-mana. Juga tuntutan perbaikan ekonomi dan stabilitas politik yang cukup parah di masa itu. Keadaan politik yang tidak stabil dan kemunduran ekonomi serta kesengsaraan yang luar biasa, akhirnya mendesak Presiden Soekarno untuk mundur. Sementara Jenderal Soeharto yang pada waktu itu telah menjadi “pengemban Supersemar” dan secara praktis mengendalikan keadaan dengan Operasi Pemulihan Ketertiban dan Keamanan, oleh Sidang Istimewa MPRS akhirnya ditetapkan sebagai Pejabat Presiden, setelah sebelumnya memberhentikan Presiden Soekarno dengan menempuh jalan konstitusional. Presiden Soekarno diberi kesempatan dua kali untuk menyampaikan pidato pertanggungjawaban atas tuduhan pelanggaran GBHN yang berjudul “Nawaksara” dan ditolak MPRS. Sebagai catatan bahwa Presiden Soekarno ketika itu sesungguhnya menjalankan kekuasaan kepresidenan tanpa wakil, setelah sebelumnya Wakil Presiden Mohammad Hatta telah mengundurkan diri pada tahun 1956.
Dalam kasus people power tahun 1998, Presiden Suharto juga didesak mundur karena dianggap terlalu lama berkuasa dan melakukan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Demo besar-besaran di Jakarta dan juga kerusuhan Mei 1998, pada akhirnya memaksa Presiden Soeharto “menyatakan berhenti” dari jabatannya dalam sebuah pidato di Istana Negara pada tanggal 22 Mei 1998. Seketika setelah menyampaikan pidato itu, Wakil Presiden BJ Habibie diambil sumpahnya sebagai Presiden RI di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung yang hadir lengkap pada waktu itu.
Dari uraian sejarah di atas, dilihat dari sudut hukum tata negara, apa yang dilakukan Jenderal Ayyub Khan di Pakistan dan Kolonel Moammar Ghaddafi di Libya dapat dikategorikan sebagai suatu kudeta, yakni pengambil-alihan kekuasaan secara revolusioner dengan menggunakan cara-cara di luar konstitusi yang berlaku. Revolusi yang berhasil, dengan sendirinya menciptakan kekuasaan yang sah. Jika pemimpin revolusi berhasil mempertahankan kekuasaannya yang baru, maka kekuasaan baru itu menjadi sah secara konstitusional, meskipun awalnya mereka mengambil alih kekuasaan melalui cara-cara inkostitusional. Namun kasus runtuhnya kekuasaan Marcos, Soekarno dan Soeharto yang terjadi bukan karena revolusi, tetapi terjadi melalui people power, maka penguasa baru sesungguhnya memerlukan legitimasi konstitusional untuk menjalankan kekuasaan berdasarkan norma-norma konstitusi yang berlaku di sebuah negara ketika itu. Pergantian Soekarno ke Soeharto dan pergantian Soeharto ke BJ Habibie berjalan secara konstitusional.
Sangat sulit untuk membayangkan pada sebuah negara demokrasi, ada penguasa yang memegang kekuasaan dan menjalankan roda pemerintahan, sementara konstitusionalitas pemerintahannya terus-menerus dipertanyakan. Pemerintahan yang tidak didukung oleh basis konstitusional yang sah, tidak akan pernah mampu menciptakan pemerintahan yang normal. Kalau itu terjadi, maka lama kelamaan penguasa baru ini akan menjadi diktator baru yang berpotensi mendorong terjadinya kudeta atau people power sekali lagi untuk memaksa mereka turun dari tampuk kekuasaan.
Dalam kasus Marcos, walaupun awalnya didesak dengan people power, namun pada akhirnya Marcos diberhentikan secara konstitusional dari jabatannya berdasarkan Konstitusi Philipina yang berlaku ketika itu. Ny Corazon Aquino yang ditetapkan sebagai Presiden menggantikan Marcos, juga dilakukan secara konstitusional, sehingga tidak ada pihak yang mempertanyakan keabsahan pemerintahannya. Sejak itu keadaan di Philipina berangsur-angsur normal kembali.
Pergantian kekuasaan dari Presiden Soekarno yang sebelumnya telah ditetapkan oleh MPRS sebagai Presiden Seumur Hidup, pada akhirnya juga sulit untuk bertahan akibat desakan mundur pasca peristiwa G-3O S. Proses pemberhentian Presiden Soekarno memerlukan waktu sedikitnya hampir dua tahun, hingga akhirnya pada tahun 1967, MPRS mencabut TAP tentang pengangkatan beliau sebagai “Presiden Seumur Hidup” yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Seperti telah saya katakan di atas, Presiden Sukarno juga dimintai pertanggungjawaban oleh MPRS dan ditolak, dan atas dasar penolakan itu beliau diberhentikan sebagai Presiden RI. MPRS akhirnya menetapkan “pengemban” Supersemar Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI. Terlepas dari persoalan rekayasa politik dari kalangan militer atas proses pemberhentikan Presiden Soekarno dan pengangkatan Pejabat Presiden Jenderal Soeharto, namun semua proses itu berjalan secara konstitusional.
Demikian pula pergantian kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ Habibie pada tahun 1998, walaupun awalnya didesak melalui people power, namun akhirnya proses pergantian itu mencari bentuk konstitusionalnya. Awalnya, Presiden Soeharto dipilih kembali oleh MPR untuk kesekian kalinya dalam Sidang Umum MPR tahun 1997. Jika keadaan berlangsung normal, apabila Presiden Soeharto ingin berhenti dari jabatannya, maka proses itu harus melalui MPR. Namun karena desakan people power, Gedung MPR/DPR di Senayan kala itu dikuasai oleh para demonstran, MPR hampir mustahil untuk dapat bersidang, maka sesuai dengan TAP MPR No. VII/1973 Presiden Suharto menyampaikan Pidato Pernyataan Berhenti di Istana Negara tanggal 22 Mei 1998. Seketika itu juga Wakil Presiden BJ Habibie mengucapkan sumpah di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung menjadi Presiden RI.
Beberapa waktu setelahnya, memang terdapat polemik akademik terkait masalah konstitusionalitas, yang ketika itu saya hadapi berdua dengan guru saya almarhum Prof. Dr. Ismail Suny. Hingga pada akhirnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya pada tahun 1998 menyatakan bahwa proses berhentinya Presiden Soeharto dan pergantiannya dengan BJ Habibie adalah sah dan konstitusional. Putusan itu berkekuatan hukum tetap atau “inkracht van gewijsde”, karena gugatan para penggugat yang menamakan dirinya “100 Pengacara Reformasi” ditolak oleh PN Jakarta Pusat dan mereka tidak mengajukan banding atas putusan tersebut.
Dari kasus people power terhadap Marcos, Soekarno dan Soeharto yang saya uraikan di atas, nyatalah bahwa apa yang dinamakan people power itu berbeda dengan revolusi. People power pada akhirnya selalu mencari legitimasi konstitusional pergantian rezim berdasarkan aturan-aturan konstitusi yang ketika itu berlaku di suatu negara. People power selalu mencari pembenaran atau legitimasi konstitusi.
Sedangkan revolusi sesungguhnya tidak mencari legitimasi konstitusional berdasarkan norma-norma konstitusi yang ketika itu berlaku. Revolusi justru mengambil alih kekuasaan dengan cara di luar konstitusi. Revolusi yang berhasil menciptakan hukum yang sah dan penguasa baru yang legitimate. Tapi jika gagal, pemimpin revolusi akan didakwa bahkan bisa dihukum mati karena dianggap sebagai pengkhianat. Itu risiko bagi pemimpin revolusioner.
Persoalan Kita Sekarang
Keinginan melakukan people power yang terdengar lantang pasca Pemilu Serentak, khususnya pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) disuarakan oleh beberapa aktivis yang ada, diantaranya sudah diproses pidana oleh polisi sebagai tersangka rencana perbuatan makar berdasarkan KUHP dan/atau melakukan ucapan-ucapan yang melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Faktor-faktor yang melatar-belakangi people power seperti terjadi dalam kasus Marcos, Soekarno dan Soeharto, pada hemat saya nampaknya tidak ada. Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru memerintah kurang dari lima tahun dalam periode pertama jabatannya. Ia secara sah dan konstitusional berhak untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) periode kedua. Walaupun tentu terdapat kekurangan dan kesalahan selama menjalankan pemerintahannya pada periode pertama, namun belum nampak Presiden Jokowi menjalankan kekuasaan secara diktator dan sewenang-wenang sebagaimana yang dianggap dilakukan oleh Marcos, Soekarno dan Soeharto. Jokowi juga belum nampak melakukan KKN sebagaimana dilakukan oleh Marcos dan Soeharto serta keluarga dan kroninya. Lantas kalau demikian, apa urgensinya melakukan people power?
Ungkapan keinginan untuk melakukan people power sekarang ini lebih banyak disebabkan oleh anggapan bahwa Pemilu, khususnya Pilpres, berjalan secara curang. Kecurangan itu dianggap telah dilakukan secara TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif) yang melibatkan aparat negara dan penyelenggara Pemilu untuk memenangkan Calon Presiden Incumbent dan mengalahkan pasangan capres-cawapres yang lain. Dalam kenyataannya, baik perhitungan cepat (Quick Count) maupun perhitungan nyata (Real Count) Komisi Pemilihan Umum (KPU), untuk sementara ini Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin memang unggul sekitar 10-11 persen dari pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Hasil final penghitungan suara yang akan menentukan pasangan mana yang menang, kewenangan itu secara konstitusional ada pada KPU. Tidak ada lembaga apapun dan pihak manapun juga, termasuk pasangan calon, yang berwenang menyatakan pasangan mana yang memenangkan Pilpres ini. Kewenangan itu sepenuhnya ada pada KPU. Mahkamah Konstitusi pun hanya berwenang untuk memutuskan sengketa perhitungan suara dalam Pilpres. Setelah MK memutuskan masing-masing pasangan dapat suara berapa, maka tindak-lanjut atas Putusan MK itu harus dituangkan dalam Keputusan KPU. Keputusan KPU itulah yang nantinya dijadikan dasar oleh MPR untuk menyelenggarakan Sidang untuk melantik dan mendengarkan pengucapan sumpah jabatan Presiden sesuai ketentuan UUD 1945. Tanpa Keputusan KPU tentang siapa yang memenangkan Pilpres, MPR tidak dapat mengadakan sidang untuk melantik dan mendengar pengucapan sumpah Presiden. Tanpa melalui semua proses ini, siapapun yang mengaku dirinya atau didaulat oleh sejumlah orang menjadi Presiden RI, maka tindakan yang dilakukan itu dalam perspektif hukum tata negara adalah inkonstitusional, dan secara hukum pidana adalah kejahatan terhadap keamanan negara.
Terhadap penyelenggaraan Pilpres 2019 ini, jika salah satu pasangan calon Presiden dan para pendukungnya berpendapat telah terjadi kecurangan, maka kecurangan itu tidak dapat dinyatakan secara a priori sebagai sebuah kebenaran. Tuduhan kecurangan itu wajib dibuktikan secara fair, jujur dan adil melalui sebuah proses hukum. Pihak yang dibebani untuk membuktikan kecurangan adalah pihak yang menanggap dan/atau menuduh adanya kecurangan itu. Siapa yang menuduh wajib membuktikan. Itu dalil umum dalam hukum acara. Pada akhirnya nanti, majelis hakimlah yang berwenang memutuskan apakah kecurangan yang didalilkan dan dibuktikan itu terbukti “secara sah dan meyakinkan” atau “tidak” berdasarkan alat-alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku. Pengadilan dimaksud, dalam sistem ketatanegaraan kita adalah Mahkamah Konstitusi (MK) yang putusannya dalam sengketa Pilpres adalah bersifat final dan mengikat (final and binding).
Jadi, tidak bisa seseorang menyatakan ada kecurangan secara sepihak dengan menunjukkan alat-alat bukti dan saksi-saksi serta ahli secara sepihak dan menyimpulkan bahwa kecurangan memang ada dan “terbukti”. Lantas dengan anggapan itu, seorang ahli agama diminta untuk mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW, sebagai dasar dalam mengajak sebagian umat Islam untuk melakukan people power. Sementara, kecurangan yang disebutkan baru merupakan sebuah praduga atau anggapan yang wajib dibuktikan di pengadilan. Selanjutnya, apabila ada anggapan bahwa tidak ada gunanya membawa dugaan kecurangan itu ke MK karena pengadilan tidak fair dan memihak kepada Pasangan Capres-Cawapres Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, maka kewajiban semua pihak di negara ini, bahkan dunia internasional, untuk sama-sama mengawasi MK agar tetap obyektif, adil dan tidak memihak dalam mengadili sengketa Pilpres nanti.
Selama ini terlepas dari kekurangan yang ada, MK masih tetap dipercaya sebagai pengadilan yang obyektif dalam mengadili perkara-perkara yang sarat dengan muatan politik. Pihak yang menganggap curang, tentu dapat menghadirkan para advokat handal untuk menghadirkan alat-alat bukti dan argumen yang kokoh dalam persidangan. Sekiranya pihak yang menganggap ada kecurangan tidak mau membawa permasalahannya ke MK, maka Keputusan KPU tentang hasil pemungutan suara menjadi final. Namun jika tetap dibawa ke MK, maka semua pihak harus menunggu putusan MK. MK sendiri sudah menjadwalkan pendaftaran sengketa Pilpres pada tanggal 23-26 Mei 2019 dan Putusan akan dibacakan pada tanggal 24 Juni 2019. Setelah dibacakan putusan tanggal 24 Juni itu, maka proses persidangan selesai dan tidak ada upaya hukum apapun lagi yang dapat ditempuh oleh para pihak yang berperkara.
Bagaimana dengan pihak yang apabila nantinya kalah dalam sidang MK, namun ternyata tetap tidak dapat menerima kekalahan dan tetap mendeklarasikan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden? ini kemudian disusul dengan tindakan people power untuk memaksa mundur Presiden dan Wakil Presiden yang secara konstitusional terpilih dan telah ditetapkan oleh KPU?
Kalau ada pemimpin yang menggerakkan people power untuk memaksa Presiden yang sah turun dari kekuasaannya, maka berdasarkan apa yang saya kemukakan di awal tulisan ini, tindakan itu bukanlah people power melainkan tindakan kudeta yang menggunakan cara-cara revolusioner di luar konstitusi. Kalau ini yang terjadi, maka hanya akan ada dua kemungkinan: kudeta revolusioner berhasil atau gagal. Jika berhasil, dalam arti mampu mempertahankan kekuasaannya karena didukung rakyat, maka kekuasaan yang baru akan sah. Kalau gagal, maka pemimpin kudeta revolusioner dan tokoh-tokohnya akan ditangkap dan diadili sebagai pelaku pengkhianatan terhadap negara. Jadi mereka menghadapi pilihan ini.
Sebagai orang yang cukup lama mendalami ilmu politik dan hukum tata negara, serta sedikit-banyaknya terlibat dalam menangani proses peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Wapres BJ Habibie, saya mengajak semua pihak agar tetap menghormati proses konstitusional dalam menyikapi keputusan akhir KPU tentang pemenang Pilpres nanti. People power tidak mungkin bisa digunakan karena landasan sosiologisnya tidak cukup kuat. Lagi pula, jangan dilupakan bahwa people power pada akhirnya akan mencari legitimasi konstitusional seperti dalam kasus Marcos, Soekarno dan Soeharto.
Legitimasi kontitusional apa yang mungkin akan didapatkan oleh mereka yang kalah dalam Pilpres tetapi tidak mau menerima kekalahan meskipun dengan alasan dicurangi? Saya belum menemukan jawabannya. Sebab, pemenang Pilpres hanya akan legitimate secara konstitusional jika ada Surat Keputusan KPU dan dia dilantik serta mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Sidang MPR. Setelah dilantik, Presiden wajib membentuk dan mengumumkan susunan anggota Kabinet. Dengan mekanisme yang dilalui itu, dia baru sah secara konstitusional untuk menjalankan kekuasaan sebagai seorang Presiden. Legitimasi konstitusional seperti itu takkan didapatkan oleh pihak yang kalah dalam Pilpres yang mendeklarasikan diri sebagai Presiden secara sepihak.
Menolak Presiden yang terpilih dan dilantik secara konstitusional berpotensi membawa negara ini ke tepi jurang kekacauan tak berujung. Amandemen UUD 45 tidak memberikan kerangka atau membuka jalan keluar jika terjadi krisis konstitusional terkait dengan kedudukan Presiden. Dalam kasus Presiden Soekarno yang tidak punya Wakil, MPRS ketika itu dapat bersidang membuat ketetapan-ketetapan dalam rangka menutupi kelemahan UUD 1945. Presiden Soekarno diberhentikan melalui proses konstitusional. Jika keadaan normal maka Wakil Presiden akan menggantikannya menjadi Presiden. Dalam ketiadaan Wakil Presiden, maka MPRS mengangkat pengemban Supersemar Jenderal Suharto menjadi Pejabat Presiden. Namun saat ini, UUD 45 hasil amandemen tidak memungkinkan hal itu terjadi. Kedudukan Ketetapan MPR menjadi tidak jelas meski disebut sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dalam UU No. 11 Tahun 2012. MPR juga tidak berwenang menunjuk Pejabat Presiden. MPR bukan lagi lembaga negara tertinggi yang melaksanakan kedaulatan rakyat seperti disebut dalam UUD 45 sebelum amandemen.
Jadi, jika sekiranya Presiden pemenang hasil Pilpres ditolak untuk dilantik menjadi Presiden oleh MPR tanggal 20 Oktober nanti, atau gagal dilantik karena ada people power akibat MPR tidak dapat bersidang, maka siapa yang akan menjalankan kekuasaan sebagai Presiden? Terhitung sejak tanggal 20 Oktober nanti, masa jabatan Presiden Joko Widodo sudah habis. Tanpa dilantik sekali lagi dan mengucapkan sumpah sebagai Presiden pada periode kedua, tindakan Joko Widodo sebagai Presiden semuanya tidak sah. Persis seperti kasus Hendarman Supandji yang menjalankan jabatan sebagai Jaksa Agung periode kedua tanpa Keppres dan tanpa dilantik. Hendarman akhirnya dinyatakan tidak sah sebagai Jaksa Agung oleh Mahkamah Konstitusi.
Sementara Presiden yang kalah Pilpres tetapi mendeklarasikan sebagai Presiden, sebagaimana telah saya uraikan, tentu tidak mempunyai legitimasi konstitusional apapun untuk memerintah. Satu-satunya jalan adalah kalau dia memaksakan diri menjadi Presiden dengan cara kudeta merebut kekuasaan. Selanjutnya, dia memerintah sebagai diktator dengan dukungan militer yang tentunya akan menggunakan “emergency law”. Keadaan seperti ini, tentu tidak akan membawa kebaikan dan kemaslahatan apapun bagi bangsa dan negara ini.
Demikian tulisan saya. Kiranya dapat menjadi bahan renungan kita bersama.***
Jakarta, 16 Mei 2019/11 Ramadhan 1441
*) Yusril Ihza Mahendra, Guru Besar Hukum Tata Negara
Baca Juga : Jokowi Diminta Rombak Pansel Pimpinan KPK