Jakarta, Gatra.com – Pihak Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) telah mendaftarkan judicial review atas UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada April lalu. Hal tersebut dilakukan karena dianggap ada inkonsistensi. Bahwa ada celah antara UU Tipikor, UU Keuangan Negara, UU BUMN, dan UU Perseroan Terbatas untuk menjerat pejabat di perusahaan BUMN.
“Ada celah dan inkonsistensi dalam UU sehingga menjahatkan direksi BUMN dengan gugatan tindak pidana korupsi. Sebab UU memang akan selalu berkonflik antara satu dengan yang lain,” ujar Presiden FSPPB, Arie Gumelar di Jakarta, Rabu (8/5).
Ia menyebut pada pasal 2 dan 3 dalam UU Tipikor, dimana kata kunci “setiap orang” dan “keuangan negara” dapat digunakan untuk menjerat pejabat ataupun direksi BUMN. Kedua pasal inilah yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan menjadikan eks Dirut Pertamina, Karen Agustiawan sebagai pihak yang bersalah dalam soalan investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy, Australia.
“Harus ada pengecualian dalam pasal 2 dan 3 tersebut. Bila ini terus dibiarkan maka akan menjerat setiap direksi yang akan melakukan tindakan investasi untuk kepentingan perusahaan. Hal ini menjadikan iklim investasi semakin buruk. Bila BUMN tidak dapat melakukan investasi, maka peluang swasta akan semakin besar dan melibas BUMN. Ini hal yang dapat membahayakan negara,” jelasnya.
Senada dengan itu, dosen Hukum Administrasi Negara di Universitas Indonesia (UI), Dian Puji Simatupang mengatakan kerumitan yang terjadi dalam BUMN menyebabkan paradoks yang salah. “Pengaturan dalam internal BUMN terlalu rumit sehingga terjadi paradoks yang salah. Selain itu, ada inkonsistensi dalam pengertian uang BUMN dan uang negara,” ujar Dian di tempat yang sama.
Ia menjelaskan, uang negara adalah uang yang dikelola oleh Kementerian Keuangan RI sementara keuangan BUMN dikelola oleh pihak direksi BUMN. Selain itu, Dian juga menuturkan adapula inkonsistensi di dalamnya dimana utang BUMN bukanlah utang negara.
“Permasalahan yang terjadi saat ini adalah pertanyaan mengenai kerugian negara, bagaimana menghitungnya dan siapa yang seharusnya menghitung kerugian tersebut. Karena ketidakpastian informasi, maka timbulkan beberapa penafsiran yang berbeda-beda,” tambah Dosen Akuntansi Keuangan Negara di FE UI, Irmansyah.
Keuangan negara, sebutnya, harus memperlihatkan tingkat kepastian yang sangat tinggi dan tidak boleh asal-asalan. Sebab hal tersebut sangat menyangkut antara irisan hukum dan akuntansi. Sementara kalau penghitungan kerugian negara, dihitung dengan pemeriksaan tujuan tertentu dimana menggunakan tingkat kepastian tinggi yang bersifat eksaminasi.
Sementara untuk pihak yang berwenang, Irmansyah mengatakan tentu hal tersebut harus dilakukan oleh pihak Badan Pemeriksa Keuangan RI sebagai lembaga negara yang resmi. Ia mendorong agar Standar Pelaporan Keuangan Internasional (International Financial Reporting Standards) sudah harus diterapkan dalam sistem keuangan Indonesia saat ini.
Baca Juga : Kuasa Hukum Eks Legislator Sumut Kecewa Pada Hakim