NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sesuai UU Pengadilan HAM, pidana individual tampaknya akan menjadi ancaman bagi Komisioner KPU sebagai pihak penanggung jawab utama pelaksanaan Pemilu 2019.
Seperti diwartakan, KPU menyebut jumlah petugas KPPS yang meninggal dunia terus bertambah menjadi 230 orang. Sedangkan ada 1.671 orang yang sakit.
Aktivis Kemanusiaan, Natalius Pigai berpendapat, Komisioner KPU harusnya menyadari bahwa kewajiban tertinggi mereka dalam pelaksanaan pemilihan umum adalah mencegah adanya peristiwa yang menyebabkan hilangnya nyawa orang.
Sebab, kata Pigai, hak untuk hidup merupakan hak tertinggi (supreme of human rights) yang pemenuhannya tidak dapat dikurangi sedikitpun kendati negara dalam kondisi darurat.
“Negara, dalam hal ini KPU Indonesia memiliki kewajiban tertinggi untuk mencegah adanya peristiwa yang menyebabkan hilangnya nyawa orang,” ujar Pigai dikutip dari pernyataannya, Jakarta, Sabtu (27/4/2019).
Dalam insiden nahas kematian sejumlah anggota KPPS di Pemilu 2019, kata dia, bisa menjadi bukti permulaan yang cukup bahwa Komisioner KPU Pusat telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang.
Berdasarkan hal tersebut, lanjutnya, maka patut ditelusuri adanya dugaan terjadi pelanggaran terhadap hak untuk hidup yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights) sebagaimana dijamin di dalam Pasal 28 A jo Pasal 28 I UUD 1945, Pasal 4 jo Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Tanggung jawab pidana individual
Lebih lanjut Pigai berpendapat, berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat diadili. Tujuan dari pengadilan adalah untuk meminta pertanggung jawaban pidana individual (individual criminal responsibility) terhadap para pelaku.
“Walaupun keputusan KPU merupakan bersifat kelembagaan tetapi ahli hukum pidana sudah mesti paham sejauh mana individu harus mempertanggung jawabkan tindak pidana yang dilakukan secara kolektif, sistematik dan birokratik sebagaimana dilakukan oleh KPU,” urainya.
“Pertanggung jawaban secara individual ini telah menjadi doktrin hukum yang diterima secara internasional dengan disahkannya Code of Offences Against The Peace and Security of Mankind pada 1954 oleh PBB.
Adapun prinsip-prinsip pertanggungjawaban individu dalam pidana hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Prinsip Nuremberg bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang merupakan kejahatan bertanggung jawab atas perbuatannya dan harus dihukum,” lanjut dia.
Kemudian, jika hukum nasional tidak memberikan ancaman pidana atas perbuatan yang merupakan suatu kejahatan internasional, tidak berarti bahwa orang yang melakukan perbuatan itu terbebas dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
“Apapun alasannya, KPU Pusat tidak boleh menghindari tanggung jawab pidana individu,” cetusnya.
Hukuman ini penting, tambah Pigai, untuk mendorong terciptnaya standar kualitas penyenggaraan pemilu termasuk keselamatan, keamanan dan kenyamanan warga negara yang ikut berpartisipasi dalam menyuskesekan kegiatan demokrasi di masa yang akan datang.
Baca Juga : Overkapasitas Lapas, Menkumham: Undang Undang Narkotika Mesti Diubah