MK Tolak Permohonan Terpidana Kasus "Century"
MK Tolak Permohonan Terpidana Kasus "Century"

MK Tolak Permohonan Terpidana Kasus “Century”

NERACA, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan terpidana kasus “Century”, Robert Tantular, yang menguji Pasal 272 KUHAP serta Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP terkait dengan penjatuhan pidana dalam tidak pidana gabungan atau tindak pidana berlanjut.

“Amar putusan mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin (15/4).

Mahkamah menilai seluruh pasal yang diujikan oleh Robert tidak memiliki persoalan konstitusionalitas norma terhadap UUD 1945, sehingga dalil tersebut dianggap tidak beralasan menurut hukum.

Sebelumnya Robert selaku pemohon merasa dirugikan atas pemberlakuan pasal tersebut, karena pihak penyidik dari Bareskrim Polri dengan sengaja mengajukan perkara secara terpisah-pisah menjadi enam laporan dan menaikkan status berkas perkara secara dicicil sehingga pemohon harus menjalani beberapa kali persidangan yang berbeda dan dijatuhi empat putusan pengadilan yang diakumulasi menjadi 21 tahun pidana penjara.

Terkait dengan dalil tersebut Mahkamah menjelaskan makna sesungguhnya dari norma Pasal 272 KUHAP adalah norma yang mengatur mengenai pelaksanaan putusan pengadilan.

“Ketika seorang dipidana dengan pidana penjara atau pidana kurungan dan belum menjalani pidana akan tetapi kemudian dijatuhi pidana lagi, maka terpidana menjalani pidana secara berturut-turut dimulai dengan pidana yang terlebih dahulu telah dijatuhkan,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto membacakan pertimbangan Mahkamah.

Artinya, terpidana di dalam menjalani masa pidana harus dijalani secara berurutan sesuai dengan urutan putusan pengadilan yang dijatuhkan terhadapnya. Dengan kata lain terpidana tidak boleh menjalani pidana dengan mendahulukan putusan pengadilan yang dijatuhkan kepadanya setelah putusan pengadilan yang lebih terdahulu.

Selain itu Mahkamah juga menjelaskan bahwa Pasal 272 KUHAP yang mengatur tindak pidana perbarengan tidak ada relevansinya dengan pengajuan berkas perkara secara terpisah.

Karena hakikat tindak pidana perbarengan yang diatur dalam Pasal 63 KUHP adalah adanya satu peristiwa tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku namun tindakan itu melanggar beberapa ketentuan pidana sekaligus, jelas Mahkamah.

“Meskipun penuntutan oleh jaksa penuntut umum dan penjatuhan pidana oleh hakim dalam tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis) tidak diajukan secara serentak atau diajukan secara terpisah (splitsing) tidak berakibat penuntutan dan penjatuhan pidana menjadi batal demi hukum,” jelas Aswanto.

Oleh sebab itu Mahkamah menilai dalil pemohon yang menyatakan norma pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dalil yang tidak berdasar.

Sekedar informasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkomitmen segera menyelesaikan penanganan kasus korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Baca Juga : Kejaksaan Turun Tangan Tindak Badan Usaha Tidak Patuh Bayar Iuran BPJS Kesehatan

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024