hukumonline.com –Revolusi industri 4.0 berdampak besar bagi semua lini. Untuk menghadapinya, kita mesti bergerak sigap. Perubahan di era digital berlangsung cepat. Karenanya, organisasi profesi pun mesti melakukan perubahan melalui sistem digitalisasi, agar tidak tertinggal laju perubahan zaman. Langkah itu pun mulai dilakukan organisasi profesi, seperti Kongres Adokat Indonesia (KAI). Antara lain, dimulai dengan melakukan pendataan anggota berbasis database.
Memastikan jumlah anggota yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia adalah hal pertama yang dilakukan KAI. Setelah memastikan sebanyak 23,879 orang anggota, maka perlu diketahui sebarannya di seluruh Indonesia. Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto membenarkan pihaknya mulai melakukan perubahan menjadi organisasi profesi yang berbasis digital.
Meski di kalangan internal pun terdapat kalangan yang tidak menyetujui langkah yang ditempuhnya, tetapi Tjoetjoe yakin keputusannya tepat di era digital. Sebab, tanpa ikut masuk dalam dunia digital, maka organisasi profesi advokat yang dipimpinnya bakal tertinggal.
Baginya, tentangan dari sejumlah kalangan di internal dapat diselesaikan melalui diskusi dan kerja kongkret. Hal yang pasti, KAI mesti jauh lebih maju sebagai organisasi profesi advokat. “Kalau saya tidak membawa KAI ke arah itu, maka saya akan membawa KAI ini menjadi organisasi yang primitif dan tertinggal,” ujar Tjoetjoe.
Tak dapat dimungkiri, dari dua puluhan ribuan anggotanya, hanya terdapat 20 persen yang memahami teknologi. Pendek kata, teknologi berbasis digital seolah belum menjadi kebutuhan. Namun, mau tak mau, advokat mesti mengikuti perkembangan dunia teknologi. Soalnya advokat yang tidak familier dan tidak paham teknologi bakal tertinggal jauh.
“Tetapi ke depan, saya tidak menemukan pintu lain, selain masuk ke dunia digital. Jadi, kalau dunia ini ada pintu, maka tidak ada lorong lain selain lorong digital. Dan saya pasti mengarah ke sana,” ujarnya.
Sadar akan pentingnya digitalisasi abad ke 21, puluhan ribu anggotanya di organisasi profesi advokat itu bakal diarahkan Tjotjoe menuju berbasis digital. Memang, advokat tak banyak yang memahami dunia digital. Tjoetjoe pun mengakuinya. Namun, era digitalisasi memaksa siapa pun, termasuk advokat untuk dapat memahaminya. Soalnya, semua pelayanan terhadap klien bakal menggunakan teknologi.
Kini, KAI sudah menggunakan teknologi seperti halnya aplikasi tranportasi berbasis online. Advokat KAI pun dapat melihat sebaran sesama profesinya di tanah Papua, maka cukup membuka website officiumnobille.com. Sedianya officiumnobille.com diperuntukan bagi anggota KAI. Namun, belakangan, hasil kesepakatan KAI dengan programmer dan developer, publik dapat mengakses officiumnobille.com.
Publik dapat melakukan registrasi, maka calon klien dapat melihat sebaran anggota KAI di kota yang diinginkan. Mulai nama, usia dan jenis kelamin, hingga daftar riwayat hidup advokat. Misalnya, calon klien yang menginginkan jasa bantuan hukum lawyer pria berusia 35 tahun, di Kota Medan melalui officiumnobile.com. Maka, otomatis bakal terlihat sebaran advokat KAI pria berusia 35 tahun.
Dengan berbasis digital, KAI berupaya pula memberikan kemudahan bagi pada pencari keadilan untuk mendapatkan bantuan hukum dari advokat KAI. Bagi Tjoetjoe, menggunakan teknologi merupakan persoalan kebiasaan. Hanya saja memang membangun beberapa aplikasi yang sudah berjalan membutuhkan biaya yang terbilang besar.
KAI pun bekerja sama dengan beberapa pihak dalam rangka mengimplementasikan gagasan berbasis teknologi. Mulai e-Lawyer, Fly KAI Travel Acces, hingga beberapa aplikasi lainnya yang sedang dibangun. Tjoetjoe yakin, dengan berbagai terobosan yang dibuatnya dengan bekerja sama dengan sejumlah pihak menjadikan KAI sebagai organisasi profesi yang terus mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Sehingga tidak tertinggal laju perubahan zaman.
Dalam rangka menjadikan organisasi advokat bebasis digital, KAI pun menjalin kerjasama dengan berbagai perusahaan di bidang teknologi. Tjoetjoe yakin dengan langkah yang ambil KAI di bawah kepengurusannya bakal berdampak positif. Setidaknya, telah mempersiapkan anggotanya menjadi advokat yang mengikuti perkembangan teknologi, selain dunia hukum yang digelutinya.
“Kenapa harus mengajak teman-teman ke arah digital, kita tidak punya pilihan lain. Banyak orang yang belum memahaminya, tapi kalau tidak saya paksa, maka semua tidak akan mengerti dan paham dunia digital,” katanya.
Terpisah, anggota KAI Dr.Gusagis K. Ngazis berpandangan perubahan positif organisasi tempatnya bernanung melalui digital. Menurutnya KAI sebagai organisasi advokat berbasis digital sesuai dengan keinginan dan kebutuhan para anggotanya. Sehingga data para anggota KAI menjadi rapi, terkoordinasi, terintegrasi, dan tersingkronisasi secara baik.
Khususnya sesuai dengan kemajuan dan tuntutan zaman yang mengharuskan organisasi berbasis teknologi digitalisasi. Selain itu, dengan berbasis digital, maka mengharuskan terjadinya perubahan dalam pengelolaan organisasi advokat menjadi lebih efektif dan efisien yang berujung pada meningkatnya kinerja serta profesionalisme advokat.
“Dan proses manajemen DPP KAI agar bisa lebih baik dan efisien dalam melayani anggotanya di seluruh Indonesia, dan juga para pihak yang berkepentingan terhadap informasi yang terkait dengan anggota KAI,” ujarnya.
Memang, beragam aplikasi mulai disosialisasikan ke anggota. Namun, perlu kerja keras agar informasi organisasi berbasis digital ini dapat sampai ke seluruh anggota KAI di Nusantara. Kemudian menjadi nilai tambah dan membantu otomatisasi pekerjaan advokat. “Sehingga pekerjaan yang bersifat rutin seperti perpanjangan kartu anggota advokat bisa ditangani oleh teknologi digital,” pungkasnya.
Baca Juga : TIGA BULAN, 4.729 WNI DITAHAN DI MALAYSIA
ada aplikasinya ya?