TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, DHAKA – Ayah Shamima Begum, pengantin Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), mengatakan dia menyalahkan pemerintah Inggris atas kondisi yang dialami putrinya.
Shamima kabur dari kampung halamannya di Bethnal Green dan bertolak ke Suriah bersama dua orang temannya untuk bergabung dengan ISIS pada 2015.
Empat tahun berselang, remaja yang kini berusia 19 tahun itu berada di kamp pengungsian al-Hawl di Suriah dan menginginkan kembali pulang ke Inggris.
Pernyataannya yang tidak menunjukkan penyesalan bergabung dengan ISIS, termasuk mengomentari serangan di Manchester pada 2017 menimbulkan kritik dari warga Inggris.
Selain itu, Menteri Dalam Negeri Inggris Sajid Javid juga mengumumkan pencabutan kewarganegaraan kepada remaja yang baru melahirkan bayi laki-laki itu.
Sang ayah Ahmed Ali mendesak London untuk membatalkan keputusan pencabutan kewarganegaraan sehingga Shamima bisa pulang dan dihukum di sana.
Dalam wawancara dengan AP via Daily Mail Rabu (6/3/2019) dari rumahnya di Bangladesh, Ali terus menyerukan kepada pemerintah Inggris untuk membiarkan putrinya pulang.
“Jangan cabut kewarganegaraannya. Biarkan dia pulang. Jika dia bersalah, bawa dia kembali ke Inggris dan hukum dia di sana,” pinta Ali.
Pria berusia 60 tahun itu lantas mengkritik Inggris yang dianggap tak serius menangani isu adanya remaja yang kabur demi bergabung dengan ISIS.
Ali yang sudah menikah dua kali di Bangladesh itu mempertanyakan juga mengapa sistem imigrasi Inggris bisa meloloskan Shamima yang saat itu masih berumur 15 tahun.
Dia berkata sistem imigrasi salah satu yang paling bagus di dunia. “Bagaimana Shamima bisa terbang ke sana? Padahal dia tidak punya paspor. Seharusnya fakta itu diselidiki juga,” tegasnya.
Sebelumnya, dia sempat berujar kepada Sunday Mail bahwa dia mendukung langkah Javid untuk mencabut kewarganegaraan putrinya karena itu adalah ulahnya sendiri.
Namun, Ali meralat ucapannya dan mengklaim Inggris punya “kewajiban” untuk memulangkan Shamima.
Baca Juga : KontraS: Penangkapan Robertus Robet Mencederai Hukum dan Demokrasi