Jakarta, IDN Times – Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Robertus Robet ditangkap polisi karena diduga melakukan penghinaan terhadap TNI melalui video berisi orasinya pada aksi Kamisan 28 Februari 2019. Tim advokasi kebebasan berekspresi mengecam penangkapan ini.
“Penangkapan terhadap Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi,” kata koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani, melalui keterangan tertulis, Kamis (7/3).
1.Robert dinilai tidak menghina Institusi TNI
Yati menilai, Robertus tidak sedikitpun menghina institusi TNI. Dalam refleksinya, Robertus justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional.
“Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru,” jelas Yati.
Menurut Yati, Aksi Kamisan itu menyoroti rencana pemerintah untuk menempatkan TNI pada kementerian-kementerian sipil. Rencana ini dikatakan Yati, jelas bertentangan dengan fungsi TNI sebagai penjaga pertahanan negara sebagaimana diatur Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 dan amandemennya, UU TNI & TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Hal ini juga berlawanan dengan agenda reformasi TNI.
“Memasukan TNI di kementerian-kementerian sipil juga mengingatkan pada dwi fungsi ABRI pada masa Orde Baru yang telah dihapus melalui TAP MPR X/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyemangat dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan TAP MPR VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI,” jelasnya.
2.Yati mengkritisi dasar penangkapan Robertus
Selain itu, Yati juga mengkritisi dasar penangkapan Robertus berdasar Pasal 45 ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU 19/2016 tentang Perubahan atas UU 11/2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.
Pasal-pasal yang dikenakan polisi itu menurut Yati adalah pasal-pasal yang selama ini kerap disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi(draconian laws) dan tidak tepat.
Pasal 207 KUHP misalnya yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.”
Padahal, lanjut Yati, putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dalam pertimbangannya mengatakan “Dalam masyarakat demokratik yang modern maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat pemerintah (pusat dan daerah)”—kecuali atas aduan resmi.
3.Penangkapan Robertus ancaman kebebasan sipil di masa reformasi
Ciptakan Pusat Ekonomi Baru, Jasa Marga Bangun Infrastruktur Di Bekasi
Bawaslu Kota Madiun Temukan Tiga WNA Terdaftar DPT Pemilu 2019
Begini Kondisi Kamar Hotel Andi Arief Saat Diciduk Polisi
Penangkapan kepada Robertus Robet dijelaskan Yati menjadi ancaman bagi kebebasan sipil di masa reformasi. Pertama, Robertus tidak menyebarkan informasi apapun melalui elektronik karena yang dianggap masalah adalah refleksinya.
Kedua, refleksi yang memberikan komentar apalagi atas kajian akademis atas suatu kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian atau permusuhan.
“Ketiga, TNI jelas bukan individu dan tidak bisa ‘dikecilkan’ menjadi kelompok masyarakat tertentu karena TNI adalah lembaga negara,” jelasnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut Yati yang mewakili Tim Advokasi Kebebasan Pers menyatakan, penangkapan terhadap Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi.
“Oleh karenanya Robertus Robet harus segera dibebaskan demi hukum dan keadilan,” katanya.
4.Robertus ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menghina TNI
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol. Dedi Prasetyo, menyatakan Robertus telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melakukan penghinaan terhadap TNI.
“Pada hari Rabu, 6 Maret 2019 pukul 00:30 WIB telah dilakukan penangkapan terhadap pelaku dugaan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia,” ujar Dedi Prasetyo dalam keterangannya, Kamis (7/3).
Dedi menuturkan, Robertus diduga memplesetkan mars ABRI saat aksi Kamisan di depan Istana.
“Melakukan orasi pada saat demo di Monas tepatnya depan Istana dengan melakukan penghinaan terhadap institusi TNI,” ujar Dedi.
Penetapan tersangka itu berawal dari beredarnya video Robertus saat tengah berorasi di depan Istana. Dalam video itu Robertus berorasi dengan demikian :
Dedi mengaku, pihaknya belum mengetahui motif Robertus yang diduga melakukan ujaran kebencian. Kini, Robertus masih menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Jakarta Selatan.
5.Robertus diduga melanggar pasal ujaran kebencian
Dedi mengatakan, Robertus diduga melanggar Pasal 45 A ayat (2) Jo 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP terkait tindak pidana menyebarkan informasi yang ditunjukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dana tau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dan/atau Berita bohong (hoax), dan/atau penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.
Baca Juga : Bikin Heran, Inilah 7 Larangan Hukum Paling Nyeleneh di Dunia