Anggota Komite Etik UGM Kecewa Soal Rekomendasi Kasus Agni
Anggota Komite Etik UGM Kecewa Soal Rekomendasi Kasus Agni

Anggota Komite Etik UGM Kecewa Soal Rekomendasi Kasus Agni

TEMPO.CO, Jakarta – Kesepakatan untuk mengakhiri kasus pelecehan seksual yang menimpa Agni – bukan nama sebenarnya- mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada atau Fisip UGM masih menyisakan polemik.

Anggota tim etik yang dibentuk Rektorat UGM angkat bicara soal adanya pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam keputusan tim itu atas kasus Agni.

Rekomendasi Tim Etik ini muncul sebelum Rektor UGM Panut Mulyono meneken surat kesepakatan antara Agni, penyintas pelecehan seksual dan terduga pelaku yang merupakan mahasiswa Fakultas Teknik, HS. Rekomendasi inilah yang memengaruhi keputusan rektor dalam kesepakatan itu. Dalam putusan komite etik UGM itu tak disebut ada pelecehan seksual.

Dalam putusan Komite Etik itu, hanya disebut adanya perbuatan asusila dalam kasus yang menimpa Agni. ”Terminologi pelecehan seksual menjadi tindakan asusila itu kemunduran,” kata Rachmad Hidayat, anggota Komite Etik dari Fakultas Filsafat.

Rachmad adalah adalah salah satu anggota Komite Etik yang menyatakan pendapat berbeda dalam putusan itu. Anggota komite yang berpandangan sama dengan Rachmad adalah Sri Wiyanti Eddyono.

Sri mengungkapkan kekecewaannya terhadap hasil akhir dari komite etik tersebut. “Komite Etik tidak mengategorikan jenis pelanggaran dari perbuatan itu,” kata Sri, Sabtu, 9 Februari 2019.

Sri Wiyanti merupakan pengajar Fakultas Hukum UGM. Dia keberatan dengan suara mayoritas di Komite Etik. Sri meyakini dalam kasus Agni terjadi pelecehan seksual kategori pelanggaran berat.

Kasus Agni ini terjadi pada saat ia menjalani Kuliah Kerja Nyata di Pulau Seram, Maluku pada Juli 2017. Pelakunya adalah HS, mahasiswa Fakultas Teknik yang saat itu juga mengikuti KKN.

Kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni mencuat ke publik setelah adanya tulisan Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan. Tulisan itu mendapat perhatian Rektor UGM. UGM kemudian membentuk tim investigasi dan tim etik untuk menangani kasus tersebut.

Dari tujuh anggota Komite Etik, dua orang mengajukan dissenting opinion yaitu Sri dan Rachmad. Dosen Fisipol, Linda Savirani mundur sebagai anggota Komite Etik beberapa hari menjelang rekomendasi diserahkan ke rektor. Sedangkan, empat anggota lainnya sepakat terjadi tindakan asusila, tapi tanpa sanksi seperti diatur dalam peraturan rektor.

Sri Wiyanti dikenal sebagai pengajar hukum pidana, hukum acara pidana, dan hukum perlindungan perempuan dan anak. Dia juga mengajarkan hukum hak asasi manusia serta viktimologi. Dia menegaskan sangat berat menyetujui putusan yang diambil oleh mayoritas anggota Komite Etik. “Secara etik, tidak lah etis saya berlaku berbeda dengan keilmuan yang saya miliki dan saya ajarkan,” kata dia.

Komite Etik bekerja melalui beberapa mekanisme internal UGM. Sebelumnya ada tim fact finding yang bertugas pada Februari 2018. Ada tim Evaluasi KKN atau tim investigasi yang bekerja pada April-Juli 2018. Laporan tim evaluasi KKN per 20 Juli 2018 telah menyimpulkan terjadi pelecehan seksual yang dilakukan pelaku kepada penyitas berdasarkan pada perbuatan inkonsensual.

Tim itu mengacu pada Surat Keputusan Rektor No. 1699/UN 1.P/SK/Hukor/2016. Pelecehan seksual yang dimaksud adalah kata-kata atau perilaku dosen atau tenaga kependidikan atau mahasiswa serta orang yang berkaitan dengan universitas yang didasarkan pada kepentingan seksual atau bersifat seksual. Perilaku itu menyebabkan perasaan terganggu bagi mahasiwa, dosen, atau tenaga kependidikan, atau orang yang terkait dengan universitas.

Sebelum Komite Etik mengeluarkan rekomendasi, tim investigasi UGM menyatakan terjadi dugaan pelecehan seksual yang dilakukan mahasiswa KKN kepada mahasiswa KKN lain di sub unit 2 Nasiri, Kabupaten Seram Barat, Maluku.

Menurut Sri Wiyanti, kekerasan seksual merupakan kejahatan serius sesuai peraturan perundang-undangan di Indonesia maupun tingkat internasional. Dalam sistem hukum Indonesia, istilah kekerasan seksual diatur dalam peraturan yang berbeda-beda.

Meskipun hukum positif di Indonesia belum meletakkan istilah pelecehan seksual, namun ada satu kejahatan yang diatur dekat dengan persoalan yang dibahas Komite Etik. “Kejahatan yang dimaksud adalah percabulan, seperti tertera dalam pasal 289 KUHP,” kata dia.

Pasal itu berbunyi barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukannya pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.

Sebelumnya, Rektor UGM, Panut Mulyono menyebut UGM mendengarkan keinginan HS dan Agni. Panut menegaskan sangat berhati-hati karena perdamaian itu membutuhkan waktu yang cukup lama karena sangat sensitif. “Tidak ada paksaan. Tidak ada rekayasa,” kata Panut.

Panut mengatakan HS mengaku menyesal dan bersalah atas peristiwa tersebut. Selain itu, mahasiswa itu juga memohon maaf atas perkara terjadi pada bulan Juli 2017. “Bahwa saudara HS dan AN serta UGM menyatakan bahwa perkara ini sudah selesai,” kata Panut.

Baca Juga : Menolak RUU Permusikan, Marcell Siahaan: Tujuannya Tak Jelas

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024
Presidium DPP KAI Kukuhkan 15 AdvoKAI & Resmikan LBH Advokai Lampung
July 20, 2024
Rapat Perdana Presidium DPP KAI, Kepemimpinan Bersama Itu pun Dimulai
July 3, 2024
Tingkatkan Kapasitas Anggota tentang UU TPKS, KAI Utus 20 AdvoKAI untuk Ikut Pelatihan IJRS
June 26, 2024