INDOPOS.CO.ID – Belakangan ini sedang hangat diperbincangkan masalah prostitusi online yang melibatkan public figure, yakni artis yang berinisial VA. Bahkan, jajaran Polda Jawa Timur sedang melakukan proses hukum terhadap VA dan mucikari yang sudah berstatus tersangka.
Ketua Ilumni Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Ivan Petrus Sadik menegaskan, mengenai kasus prostitusi online, secara pribadi ia menilai hikmahnya rasa keadilan itu harus ada dan hukum tidak boleh memihak kepada siapapun. Berbicara adil, ini ada yang bersifat universal.
“Pada kasus prostitusi online. Jika diterapkan hukum, maka semuanya harus kena, baik mucikari, pembeli, maupun PSK-nya (pekerja seks komersial),” ujarnya kepada INDOPOS melalui pesan tertulis, Minggu (27/1/2019).
Pengacara senior Denny Kailimang mengatakan, sejak zaman kuno sudah terjadi prostitusi. Tapi di zaman digital ini, ada keterlibatan banyak pihak, baik mucikari, penyedia, maupun pelanggan. Sehingga ini dikatakan kejahatan dan pelanggaran.
“Jika kita lihat di kitab UU Hukum Pidana, Pasal 296 KUHP, Pasal 506 KUHP tentang Pelanggaran Ketertiban Umum. Di situ menyatakan, barang siapa mengambil keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun,” jelasnya.
Ahli Hukum Administrasi Negara, Prof. Gede menjelaskan, mengkaji kasus prostitusi online ini, pelakunya melibatkan salah seorang artis. Apakah bisa dipidana, satu akses legalitas sedang ditelusuri apa yang bisa menangani prostitusi online ini.
Pertama KUHP, UU ITE, UU Pornografi dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang. Manakah yang bisa digunakan oleh penegak hukum. Banyak pendapat, UU ITE bisa digunakan, pada pasal 27 tentang perbuatan yang dilarang melanggar kesusilaan. Menurutnya, UU ITE tidak bisa digunakan, kemudian UU Pornografi, tidak mengatur sanksi pidana hukum online.
“Kalau UU Tindak Pidana Perdagangan Orang. Di sini ada ancaman kekerasan, ini gugur juga. Kemudian KUHP, tergagap merespon kemajuan ITE. Ada 1 pasal 296, mucikari yang jadi perantara penyedia jasa bisa kena, tapi bukan artisnya. Sementara, penyidik inginkan artis itu kena jadi di sini tidak asal menindak saja,” kata Prof. Gede.
Ia berpendapat, ada dua alternatif, jangan memaksa hukum pidana jika memang tidak ada dasarnya. Hukum secara responsive harus menjawab. Pada Legislator dan Presiden merevisi hukum responsive perlunya ada perubahan UU terkait kasus prostitusi online itu.
Baca Juga : Goreng Saham Agis & Fortune, OJK Hukum 3 Pelaku