Kasus Bank Century Berlanjut, KPK Larang Robert Tantular
Kasus Bank Century Berlanjut, KPK Larang Robert Tantular Tinggalkan Indonesia

Kasus Bank Century Berlanjut, KPK Larang Robert Tantular Tinggalkan Indonesia

Matamatapolitik.com — Penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia terhadap kasus Bank Century masih terus berlanjut. Dibebaskan Juli lalu, Robert Tantular–pria di tengah pusaran kasus–diberikan larangan untuk meninggalkan Indonesia. Setidaknya 40 pejabat pemerintah dan swasta yang terhubung ke Bank Century dan penerusnya Bank Mutiara dan Bank J Trust Indonesia telah diinterogasi oleh KPK sejak lembaga tersebut melanjutkan penyelidikan pada bulan Juni 2018.

Pada akhir bulan Desember 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan untuk melarang Robert Tantular, pria di pusat skandal Bank Century yang telah lama diselidiki, untuk meninggalkan Indonesia. Keputusan tersebut merupakan indikasi bahwa penyelidikan KPK atas kasus korupsi yang telah berjalan selama sepuluh tahun masih belum berakhir.

Robert Tantular diam-diam dibebaskan dari selnya di penjara Cipinang Jakarta bulan Juli 2018 oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia setelah 10 tahun dipenjara, dari hukuman penjara yang seharusnya 21 tahun, keputusan yang membuat KPK keberatan. Laode M. Syarif, wakil ketua KPK, mempertanyakan mengapa Kemenkumham membebaskan mantan bankir tersebut dengan bersyarat, yang dikabarkan dihukum penjara dalam kondisi yang sangat nyaman.

Bank yang dulu dipimpinnya telah lama menjadi subyek kontroversi mengenai koneksi politiknya. Di Indonesia, terdapat kepercayaan umum bahwa ada penyimpanan ratusan juta dolar dana suap yang terkait dengan Partai Demokrat. Lebih dari US$ 850 juta menghilang selama krisis keuangan global tahun 2008, menurut pihak berwenang.

KPK selama beberapa bulan terakhir telah menjadi subyek serangkaian upaya intimidasi yang mengganggu, meskipun tidak ada bukti bahwa insiden-insiden itu terkait dengan entitas tertentu yang sedang diselidiki oleh KPK. Tanggal 9 Januari 2019, ketua KPK Agus Rahardjo dan wakilnya Laode menjadi sasaran ketika seorang pelaku yang tidak dikenal menggantungkan sebuah tas berisi benda yang tampak seperti bom ke pagar rumah Agus. Pada saat yang sama, dua pengendara sepeda motor melemparkan bom Molotov ke rumah Laode, yang salah satunya meledak. Tahun 2017, penyelidik senior KPK Novel Baswedan mengalami buta sebagian setelah para penyerangnya menyiramkan air keras ke wajahnya.

Serangan-serangan lain termasuk ancaman bom ke gedung KPK, pengeboman ke rumah para penyelidik, serangan asam ke kendaraan milik penyelidik dan karyawan, ancaman kematian, penyitaan peralatan milik penyelidik, penculikan pegawai KPK yang sedang bertugas, hingga percobaan pembunuhan terhadap para penyelidik.

Terlepas dari berbagai ancaman dan insiden tersebut, seperti yang dilaporkan Asia Sentinel pekan lalu, setidaknya 40 pejabat pemerintah dan swasta yang terhubung ke Bank Century dan penerusnya Bank Mutiara dan Bank J Trust Indonesia telah diinterogasi oleh KPK sejak lembaga tersebut melanjutkan penyelidikan pada bulan Juni 2018. Mantan Wakil Presiden Indonesia Boediono, yang juga menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, dan Kartika Wirjowatmodjo, mantan kepala eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan presiden direktur saat ini dari Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia, berada di antara orang-orang yang dikatakan sedang berada di bawah penyelidikan bersama dengan Robert.

Lebih dari US$ 1 miliar dikatakan telah hilang dari kas Indonesia sejak tahun 1989, menurut gugatan yang diajukan di Mahkamah Agung Mauritius, termasuk yang setara dengan US$ 245,2 juta yang telah dibayarkan dan diampuni kepada J Trust Co. untuk mengambil alih bank, dengan potensi tindakan kriminal menentang pejabat hingga ke puncak pemerintahan.

Tahun 2009, Bank Century, yang direkapitalisasi dan berganti nama menjadi Bank Mutiara, berada di bawah administrasi organisasi pemerintah Indonesia semi otonom LPS. Sumber-sumber di Indonesia mengatakan kekhawatiran tentang sarang koruptor yang akan ditemukan di dalam bank begitu pemerintahan baru mulai berkuasa, dan mereka bertekad untuk mengeluarkannya dari pembukuan sebelum Presiden Joko “Jokowi” Widodo berkuasa.

LPS mencari pembeli pada tahun 2014. Meskipun ditawarkan kepada 18 calon pembeli, LPS menemukan sedikit pembeli dan bank akhirnya dijual ke J Trust Co. dalam sebuah transaksi yang tampaknya dekat dan transparan.

Penjualan tersebut sebenarnya tampaknya terstruktur sehingga J Trust adalah penawar onlay, dengan syarat preferensial yang telah ditentukan sebelumnya. Bank tersebut berganti nama menjadi Bank J Trust setelah konon setuju untuk membayar setara dengan US$ 368,0 juta dalam bentuk tunai berdasarkan hukum Otoritas Jasa Keuangan Indonesia.

Tetapi catatan itu membuat J Trust benar-benar membayar hanya 6,8 persen dari jumlah itu, atau US$ 24,14 juta dimuka, dan itu adalah 33 hari setelah tanggal penjualan yang diduga, meskipun ada peraturan LPS yang mengatakan uang itu harus dibayar di muka secara tunai. Menurut pemeriksaan lengkap dari pembukuan J Trust dan catatan LPS, tampak bahwa LPS, Bank Indonesia, dan beberapa lembaga pemerintah lainnya terlibat dalam transaksi tersebut.

Seperti yang dilaporkan Asia Sentinel pada tanggal 10 April 2017, diumumkan secara publik oleh pemerintah Indonesia bahwa J Trust telah membeli Bank Mutiara dan membayar setara dengan US$ 368 juta untuk 99,996 persen dari bank. Tetapi tidak disebutkan pembayaran tunai sebesar itu telah muncul dalam laporan keuangan J Trust selama empat tahun terakhir.

Di bawah Otoritas Jasa Keuangan dan undang-undang LPS, J Trust diharuskan membayar US$ 368 juta secara penuh pada saat pembelian. Namun, catatan LPS menunjukkan bahwa J Trust hanya membayar setara dengan US$ 24,14 juta dengan janji untuk menutupi kerugian di masa depan untuk jangka waktu tertentu.

Bank Indonesia kemudian menetapkan surat promes pinjaman syariah melalui Lembaga Penjamin Simpanan untuk jumlah sisanya. Tahun 2016, menurut catatan LPS, perusahaan asuransi tersebut mencatat Rp 3,065 triliun pada surat promes syariah. A

rtinya, surat tersebut tidak pernah dibayarkan dan J Trust sebenarnya mendapatkan Bank Mutiara sebagai imbalan untuk menutupi kerugian bank sejak tanggal 20 November 2014 dan seterusnya, hingga jumlah yang dibatasi dalam waktu tiga hingga lima tahun. Kerugian tersebut berjumlah US$ 151,8 juta pada tanggal 30 November 2018.

TIDAK ADA CATATAN PEMBAYARAN
Tidak ada catatan, dalam laporan tahunan J Trust maupun LPS, mengenai pinjaman syariah atau US$ 368 pembayaran di muka terhadap Perjanjian Jual Beli Saham Bersyarat (CPSA/Conditional Share Purchase Agreement) hasil harga pembelian yang pernah dibayarkan oleh J Trust secara tunai. Faktanya, dana yang disetor ke dalam rekening trust yang oleh Bank Negara Indonesia tampaknya telah dibayarkan langsung oleh PS yang diduga berasal dari surat pinjaman syariah yang dibeli dengan nilai beli Rp 3 triliun yang diterbitkan pada bulan Januari 2014 kepada J Trust.

Asia Sentinel telah berulang kali bertanya kepada LPS dalam serangkaian email untuk detail penjualan, tanpa pernah menerima penjelasan yang memadai tentang apa yang terjadi. Setelah berbagai email yang dikirimkan tidak menghasilkan tanggapan substantif, editor Asia Sentinel memutuskan untuk melanjutkan penulisan.

Asia Sentinel juga telah berulang kali mencari J Trust untuk memberikan rincian pembayarannya untuk bank. Setelah tiga email ke perwakilan humas internasional J Trust Keiko Nishihara, pengacara J Trust Nishimura dan Asahi dari Tokyo diberitahu bahwa J Trust tidak ingin menjawab pertanyaan. Penyelidikan selanjutnya terhadap LPS dengan pertanyaan terperinci tentang penjualan Bank Mutiara ke J Trust juga tidak terjawab.

Tanggal 18 Januari 2019, dewan komisaris Bank J Trust untuk sementara memberhentikan mantan presiden direktur serta Ritsuo Ando dan Haryanti Budi Purnomo, direktur dan pejabat kepatuhan manajemen risiko, dalam apa yang tampaknya merupakan upaya yang dipimpin oleh eksekutif Jepang untuk menyalahkan Indonesia atas lebih dari US$ 300 juta kredit macet yang dihapuskan oleh Bank J Trust sejak tahun 2015.

CFO Helmi Hidayat dan direktur baru Rio Lanasier menandatangani dekrit dan pemberitahuan pemberhentian sementara direktur, hanya menyisakan tiga direktur pada pembukuan J Trust yang mencoba untuk mencegah kebangkrutan bank lagi, sebelum penjualan mendatang sebesar 40 persen kepada pemilik baru yang dijanjikan oleh Fujisawa dalam webcast J Trust pada tanggal 15 November 2018.

Baca Juga : RUU Bali Rampung, Atur Jam Kerja karena Banyak Hari Libur Adat

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024
Presidium DPP KAI Kukuhkan 15 AdvoKAI & Resmikan LBH Advokai Lampung
July 20, 2024
Rapat Perdana Presidium DPP KAI, Kepemimpinan Bersama Itu pun Dimulai
July 3, 2024
Tingkatkan Kapasitas Anggota tentang UU TPKS, KAI Utus 20 AdvoKAI untuk Ikut Pelatihan IJRS
June 26, 2024