Dr Anang Iskandar SIK SH MH
jawapos.com – Terhadap perkara penyalah guna dan pecandu, hukuman rehabilitasi lebih efektif dan efisien dibanding hukuman penjara. Hukuman rehabilitasi mulai eksis setelah Presiden Amerika Nixon gagal memenangkan perang melawan narkotika. Dia menggunakan metode memenjarakan semua yang terlibat masalah narkotika. Tidak saja para pengedar (drug trafficker) tetapi juga penyalah guna (drug user) dan pecandu (drug addiction).
Kegagalan menggunakan metode perang tersebut menyebabkan hukuman penjara terhadap penyalah guna dan pecandu yang tercantum dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 diamandemen oleh peserta menjadi Protokol 1971. Di sini digunakan alternatif hukuman berupa rehabilitasi.
Konvensi yang telah diamandemen itu diadopsi menjadi UU No 8 Tahun 1976 yang kemudian menjadi dasar dibuatnya Undang-Undang (UU) Narkotika. Di dalamnya digunakan pendekatan rehabilitasi berbasis keluarga. Ada ancaman pidana bagi orang tua yang mengetahui anaknya menjadi pecandu narkotika tapi tidak melaporkan agar sembuh (pasal 128). Juga, wajib lapor bagi pecandu. Ini merupakan pendekatan paling rasional dalam menangani masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia.
Dengan mewajibkan orang tua untuk merehabilitasi keluarganya yang terlibat penyalahgunaan, dapat dipastikan bahwa tingkat kesembuhannya lebih tinggi daripada pendekatan hukum dengan memenjarakan mereka.
Konsep wajib lapor membutuhkan jaminan rasa aman berupa tidak dihukum penjara. Jaminan rasa aman itu sebenarnya telah ada dalam UU No 35/2009 tentang Narkotika. Yaitu, bahwa penyalah guna dijamin direhabilitasi. Jika sudah menjadi pecandu wajib menjalani rehabilitasi (pasal 54). Akan tetapi, implementasi dari jaminan UU tersebut tidak dilaksanakan. Sehingga, menjadi kendala bagi konsep wajib lapor.
Kenapa demikian? Karena penyalah narkotika tergolong domestic crime yang penanganannya lebih mengutamakan peran keluarga daripada institusi lain. Berbekal dengan parenting skill dalam merehabilitasi penyalah guna dan pecandu, orang tua dapat lebih cepat dan terukur dalam merehabilitasi keluarganya yang terlibat masalah penyalahgunaan narkotika
Biaya merehabilitasi sangat efisien. Dibebankan kepada orang tua sebagai kewajiban moral. Pelaksanaannya pun simple. Dapat dilaksanakan di rumah atau pondok pesantren. Tidak harus dirawat inap di rumah sakit dengan pendekatan counseling. Kecuali jika sudah terlalu parah.
Terhadap pecandu yang telah berdampak buruk, pemerintah mewajibkan orang tua untuk lapor diri agar anaknya sembuh dari sakit adiksi narkotika (pasal 128). ‘Bonus’-nya, biaya penyembuhan ditanggung pemerintah. Status pidananya juga diturunkan: dari diancam pidana menjadi tidak dituntut pidana.
Ketentuan dalam UU Narkotika kita yang berlaku saat ini adalah ketentuan yang paling rasional dan tidak memberatkan negara maupun masyarakat. Khususnya dalam pelaksanaan rehabilitasinya. Baik biaya maupun manajemennya.
Berbeda terhadap para pengedarnya, pendekatan represif yang diperluas sesuai UU tersebut akan lebih efektif dan efisien daripada sekadar menghukum penjara berat. Di sana disebutkan, harta para pengedar dapat dirampas atas tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana narkotika dengan cara pembuktian terbalik. Hasil rampasannya untuk biaya pencegahan, rehabilitasi dan penegakan hukum narkotika.
Pendekatan represif diperluas akan menghasilkan harta rampasan dari penegakan hukum terhadap para bandar narkotika. Harta rampasan ini berpotensi sangat besar sebagai sumber biaya non-APBN untuk dikembalikan ke masyarakat sebagai biaya pencegahan, rehabilitasi dan penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika.
UU Narkotika kita juga mewadahi pendekatan represif yang diperluas guna memutus jaringan bisnis bandar narkotika. Agar selama mereka menjalani hukuman, tidak lagi dapat mengendalikan bisnis narkotikanya. Yakni, dengan cara menempatkan mereka pada lembaga masyarakat tertentu secara selektif. Terputus dari jaringan komunikasi bisnis narkotikanya.
Kedua pendekatan di atas tercantum dalam tujuan dibuatnya UU No 35/2009. Khususnya, pasal 4 yang menyatakan bahwa penyalah guna harus dicegah, dilindungi dan diselamatkan serta dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi agar sembuh. Sedangkan, terhadap pengedarnya diberantas sampai ke akar-akarnya.
Penegakan hukum narkotika terhadap kedua sasaran tersebut menggunakan balance approach. Yaitu, keseimbangan antara menekan perkara penyalah guna dan pecandu di satu sisi serta menekan perkara pengedar di sisi lain. Penyalah guna dan pecandu diberikan upaya paksa berupa rehabilitasi sebagai pengganti penahanan (PP 25/2011). Sanksinya berupa hukuman rehabilitasi sebagai pengganti penjara (pasal 103/1). Sedangkan pengedarnya diberikan upaya paksa berupa penahanan dan dihukum penjara layaknya pelaku kriminal lainnya. Plus pemberatan berupa tuntutan tindak pidana pencucian uang serta tindakan pemutusan jaringan bisnis narkotikanya.
Penyalah Guna dan Pecandu Bukan Kriminal Murni
Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah siapa penyalah guna narkotika dan siapa pula pecandu yang keduanya dijamin UU untuk mendapatkan upaya rehab medis dan rehab sosial?
Secara yuridis, penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika secara tidak sah dan melanggar hukum (pasal 1). Maksudnya, menggunakan narkotika akan sah kalau atas petunjuk dokter. Kalau tidak, berarti melanggar hukum dan disebut penyalah guna.
Ini artinya, penyalah guna narkotika bukanlah kriminal murni. Melainkan, kriminal bersyarat. Menjadi kriminal jika menggunakan narkotika tidak atas petunjuk dokter. Dan, bukan kriminal jika atas petunjuk dokter.
Penyalah guna narkotika tidak mempunyai niat jahat (mens rea) dan tidak pula melakukan perbuatan jahat (actus reus). Mereka dibujuk, dirayu, ditipu, diperdaya bahkan dipaksa menggunakan narkotika hingga akhirnya kecanduan dan ketagihan. Karena ketagihan itulah UU melarang dan mengancamnya dengan hukuman penjara.
Namun, secara victimologi, penyalah guna merupakan korban kejahatan yang perlu mendapatkan pertolongan layaknya korban kejahatan lainnya. Ini dimaksudkan agar mereka mendapatkan hak hidup sehat. Caranya, melalui rehabilitasi.
Peran mereka sangat penting dalam membantu dan menemukan tersangka pengedarnya. Mereka korban kejahatan yang mempunyai informasi yang lengkap tentang para pengedar/penjahatnya. Namun, karena selama ini diperlakukan seperti pengedar, mereka menutup diri dan diam seribu bahasa. Tidak mau kooperatif dalam membantu penyidik dan penegak hukum lainnya.
Karena penyalah guna termasuk kejahatan bersyarat dan diancam dengan pidana ringan, tidak memenuhi syarat untuk dilakukan penahanan (KUHAP pasal 21). Dan, sesuai dengan tujuan dibuatnya undang-undang (pasal 4), penyidikan, penuntutan dan peradilannya harus dipisah antara perkara penyalah guna dan pengedar. Karena keduanya beda tujuan.
Tujuan penegakan hukum perkara penyalahgunaan narkotika bersifat rehabilitatif. Ini untuk menjamin penyalah guna dan pecandu direhabilitasi. Sedangkan tujuan penegakan hukum terhadap pengedar narkotika bersifat represif luas dengan hukuman penjara dan pemberatannya.
Oleh karena itu, dalam menangani perkara penyalahgunaan narkotika, penegak hukum diberi kewenangan menempatkan ke lembaga rehabilitasi (pasal 13 PP 25/2011) sesuai tingkat kewenangannya. Dan, hakim secara khusus diberi kewenangan strategis untuk menghukum dengan hukuman rehabilitasi. Meskipun, terdakwa penyalah guna yang notabene dalam keadaan ketergantungan itu terbukti bersalah (pasal 103/1).
Secara yuridis, yang menyatakan penyalah guna sebagai pecandu yang wajib menjalani rehabilitasi (pasal 54) adalah dokter ahli. Dokter bersangkutan memberikan keterangan ahli bahwa penyalah guna merupakan pecandu.
Peran dokter ahli dalam peraturan perundang-undangan narkotika ini sangat penting. Yaitu, untuk menjustifikasi bahwa penyalah guna yang diancam pidana maksimal 4 tahun dijamin UU untuk mendapatkan upaya rehabilitasi. Juga, dijamin mendapatkan visum et repertum atau diassesment agar statusnya berubah menjadi pecandu yang hukumnya wajib menjalani rehabilitasi.
Di titik ini, missing link mulai terjadi di tingkat penyidikan. Lalu, diikuti dengan malpraktik dalam proses penuntutan dan penjatuhan hukumannya. Akibatnya, dalam implementasinya, para pecandu dihukum penjara. Sebab, secara administratif, mereka digolongkan sebagai pengedar sehingga dituntut secara kumulatif.
Padahal, berdasar tujuan UU Narkotika, penyalah guna dan pecandu tidak memenuhi syarat untuk dituntut jaksa penuntut umum secara alternatif maupun komulatif. Hakim dalam memutuskan perkara penyalah guna pun, sifatnya wajib (pasal 127/2) menghukum rehabilitasi. Dan, hukuman rehabilitasi itu sama dengan hukuman penjara. Masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103/1/2).
*) Penulis adalah Ka BNN 2012-2015, Kabareskrim 2015-2016, dan dosen Universitas Trisakti. Konsultasi masalah narkotika melalui WA nomor 087884819858.
Baca Juga : Ikuti Jejak Kakak Kuliah Hukum, Amel Carla Dipaksa Orang Tua?