FAJAR.CO.ID, BULUKUMBA — Warga Desa Pataro Kecamatan Herlang, Jumadin tersandung kasus hukum di Malaysia. Dia dituding sebagai pendatang haram karena diduga tidak memiliki paspor.
Jumadin menjelaskan, peristiwa ini terjadi sejak tahun 1999. Saat itu, dia bekerja sebagai buruh di Syarikat Sapi Plantation Sdn Bhd Ladang Turusan 1 Estate yang saat ini berubah nama menjadi Wilmar International Lemited Singapura.
Waktu itu, dia diberhentikan oleh pihak perusahaan disebabkan karena terjadi perselisihan dengan mandor. Olehnya itu, dia dilaporkan ke pihak kepolisian setempat karena dituduh melakukan kekacauan.
Bahkan, dirinya dilaporkan tidak memiliki paspor yang sah. Sehingga dideportasi ke Indonesia karena dianggap pendatang haram di Malaysia. “Ini yang saya tidak terima, saya punya paspor yang sah dengan nomor paspor XC318786 dan disimpan oleh majikan, karena itu syarat jaminan kerja,” ucap dia, Sabtu (1/12/2018).
Karena diperlakukan tidak adil, Jumadin menempuh jalur hukum. Dia berkonsultasi dengan balai kepolisian, pihak imigrasi dan Konsulat Republik Indonesia (KRI).
Seminggu setelah dideportasi, dia kembali datang ke Malaysia. Dia mengadu ke kantor penghubung Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kinabalu di Tawawo yang sekarang berubah nama Konsulat Republik Indonesia (KRI) Tawawo.
“KJRI saat itu menyerahkan persoalan ini ke Jabatan Buruh Sandakan, Ketua Polis Balai Bloran Sandakan, dan Ketua jabatan Migrasi Sandakan,” jelasnya.
Atas petunjuk kepolisian, dirinya diminta untuk kembali ke Indonesia. Guna menyelesaikan masalah tersebut secara diplomasi. Dan, dirinya tidak dibenarkan masuk ke Malaysia untuk mengurus kasus itu.
Olehnya itu, dia meminta perlindungan hukum kepada Pemkab Bulukumba melalui Dinas Ketenagakerjaan. Namun anehnya, saat Pemkab Bulukumba meminta penjelasan ke pihak KJRI, dia kembali dituduh sebagai orang tidak waras. Karena itu Jumadin direkomendasikan untuk tes kesehatan. Dan, hasilnya dinyatakan normal.
Selain itu upaya Jumadin untuk mencari keadilan tidak pernah surut. Dia melibatkan sejumlah lembaga non pemerintah. Seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, Lembaga Migrain Care, Kontras, dan Lembaga Bantuan Hukum Peradi. Namun, mereka hanya memberikan tanggapan sesuai tupoksinya masing-masing. Dan sampai saat ini dirinya belum mendapatkan hasil keputusan hukum.
Akan tetapi, pada tanggal 27 Maret 2018, dirinya mendapat telepon dari pihak Kementerian Luar Negeri, bahwa kasus pengaduan perdata terkait pencemaran nama baik yang dia laporkan telah berkekuatan hukum tetap atau inkraht. Sayangnya, dirinya tidak mendapatkan salinan putusan tersebut.
“Saya hanya ditelepon tetapi kami tidak tahu apa hasilnya, karena tidak ada salinan yang diberikan,” bebernya.
Olehnya itu, dia meminta kepada Pemerintah Kabupaten Bulukumba untuk bersurat secara institusi kepada Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia. Untuk mengetahui sejauh mana kasus ini berproses dan apa hasil putusan yang berkekuatan hukum tetap itu.
Sebab, sejak tahun 1999 hingga saat ini, kasus tersebut belum selesai. Terkait tuntutan ganti rugi senilai 100 juta ringgit atas pencemaran nama baik, dirinya tidak mengutamakan hal itu.
“Ganti rugi bukan yang utama, kalau tidak ada juga tidak masalah, tujuan kami menempuh jalur hukum agar lembaga pemerintahan di Malaysia dapat memulihkan nama baik saya yang dituduh pendatang haram,” kuncinya.
Baca Juga : Mitsubishi Heavy Diperintahkan Beri Ganti Rugi Pekerja Paksa Perang Korea Selatan