16 HaKTP dan Potret Buram Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan
16 HaKTP dan Potret Buram Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan Indonesia

16 HaKTP dan Potret Buram Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan Indonesia

Jakarta, Gatra.com – Tanggal 25 November 2018 merupakan awal dari peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HaKTP). Peringatan tahun ini justru diawali dengan kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan yang mencoreng wajah pendidikan di Indonesia.

Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia- Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), Bestha Inatsan A di Jakarta, Minggu (25/11), mengungkakan, salah satunya adalah kasus “Agni”, mahasiswi Universitas Gajah Mada (UGM) telah mengalami kekerasan seksual dengan pelaku adalah rekan sesama mahasiswa.

Selain itu, seorang guru honorer di salah satu SMA Negeri di Mataram, Nurul Baiq yang menjadi korban pelecehan seksual dari kepala sekolah tempat dia bekerja, justru dikriminalisasi dengan UU ITE karena tersebarnya percakapan tidak pantas pelaku kepada korban di media sosial.

“Dua kasus di atas adalah gambaran dari situasi pendidikan Indonesia saat ini, di mana seharusnya filosofi pendidikan adalah ranah tempat mencari pengetahuan dan pusat intelektualitas, justru tercoreng dengan munculnya kasus-kasus kekerasan seksual bahkan cenderung ditutupi dengan dalih nama baik institusi,” ujarnya.

Dinov dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, menyampaikan, dalam Catatan Tahunan 2017 pihaknya bahwa tercatat 6 kasus terjadi dalam lembaga pendidikan dengan pelaku adalah guru, dengan rentang usia korban 10-23 tahun, dan satu korban dengan disabilitas.

Andi Komara dar LBH Jakarta menambahakan, sejak November 2017 hingga Oktober 2018, LBH Jakarta juga menerima pengaduan tentang kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Kasus pertama terjadi di salah satu SMA di Jakarta dengan pelaku adalah guru, dan korban adalah 4 orang siswi SMA tersebut, tetapi hanya dua orang yang berani melaporkan ke kepolisian.

“Korban sudah melaporkan kasus ini kepada kepala sekolah dan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta namun belum membuahkan hasil yang memuaskan. Sudah pernah melapor ke polisi namun polisi menyarankan untuk mencari saksi dan bukti terlebih dahulu,” ujarnya.

Kasus lainnya yang didampingi adalah kasus yang terjadi kepada salah seorang santri dari sekolah berbasis keagamaan di Serang, Banten. Kasus ini terjadi pada tahun 2016, dan korban baru berani melaporkan kepada LBH Jakarta pada tahun 2018.

“Atas kejadian tersebut orang tua korban melaporkan ke Polres Serang, Banten dan hingga kini belum ada kemajuan proses hukum. Polisi masih dalam tahap penyelidikan dikarenakan tidak ada saksi walau ada bukti lain yang menguatkan memang terjadi tindak perkosaan,” kata Andi.

Sementara itu, Adelwin dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FHUI) menyampaikan, sesuai hasil survei pihaknya kepada 177 mahasiswa UI, terdapat 21 responden yang pernah mengalami kekerasan seksual di lingkungan UI dan 39 responden mengaku pernah mengetahui kasus kekerasan terjadi di lingkungan kampus, dan hanya 11 peristiwa yang dilaporkan. Sebanyak 79% responden mengaku tidak tahu ke mana harus melaporkan kasus kekerasan.

“Minimnya pelaporan disebabkan oleh beberapa hal seperti ketidaktahuan mengenai apa saja yang harus dilakukan ketika menjadi korban, takut disalahkan atau di stigma, dan pesimis akan mendapatkan penyelesaian yang memuaskan,” ujar Adelwin.

BEM FHUI menemukan belum ada kampus di Indonesia yang memiliki lembaga terpadu untuk menanggulangi kasus kekerasan seksual. Dampak bagi korban kekerasan seksual di dunia pendidikan selain dampak fisik, psikis, sosial namun juga mengalami reviktimisasi karena ada korban yang justru dikeluarkan dari sekolah sehingga tidak mendapatkan akses terhadap hak pendidikan.

“Belum lagi disalahkan oleh lingkungan sekolah, berbeda nasibnya dengan pelaku yang bebas dari jerat hukum, bahkan dalam kasus Agni di UGM, pelaku tidak dikeluarkan dari kampus dan diwisuda, sementara dalam kasus Nuril Baiq, pelaku justru mendapat promosi jabatan,” ujarnya.

Jika menilik kasus di atas, kata Bestha menimpali, hal ini relevan dengan riset MaPPI FHUI tahun 2016 yang menemukan bahwa 85% pelaku adalah orang yang dekat atau dikenal korban salah satunya adalah guru.

Dalam kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan, pelaku biasanya adalah orang yang memiliki posisi yang lebih tinggi seperti guru, dosen, kepala sekolah, petugas keamanan, kyai di pesantren sehingga adanya relasi kuasa yang membuat korban tidak berdaya dan enggan melapor, bahkan dikeluarkan dari sekolah. Parahnya lagi, kasus tidak dilaporkan kepada aparat penegak hukum karena berbagai alasan.

Belum lagi jika kasus tersebut dilaporkan dan masuk ke ranah peradilan, berdasarkan riset MaPPI FHUI, korban kekerasan seksual justru mendapatkan banyak hambatan seperti adanya stereotip negatif terhadap korban, reviktimisasi, mendapatkan pertanyaan yang menyudutkan dan merendahkan dari aparat penegak hukum, tidak mendapat pendampingan, bahkan hingga riwayat seksual korban yang dipertimbangkan oleh hakim.

“Padahal, Presiden Jokowi, pada tahun 2016 telah menyatakan kekerasan seksual adalah ‘Kejahatan Luar Biasa’ yang berarti membutuhkan penanganan yang serius dari berbagai pihak,” tuturnya.

Selain permasalahan di atas, lanjut Bestha, Indonesia perlu memiliki payung hukum yang mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual dengan segera mengesahkan Rancanagan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak kunjung disahkan oleh DPR.

Baca Juga : LBH APIK Kritik Polisi soal Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024
Presidium DPP KAI Kukuhkan 15 AdvoKAI & Resmikan LBH Advokai Lampung
July 20, 2024
Rapat Perdana Presidium DPP KAI, Kepemimpinan Bersama Itu pun Dimulai
July 3, 2024
Tingkatkan Kapasitas Anggota tentang UU TPKS, KAI Utus 20 AdvoKAI untuk Ikut Pelatihan IJRS
June 26, 2024