TEMPO.CO, Jakarta – Kita perlu belajar mengenai apa itu kontrak. Selama ini, terkadang kita menjalani sesuatu dengan penuh dengan rasa percaya. Dalam hubungan pertemanan, pacaran, pernikahan, dan juga hubungan pekerjaan. Terkadang kalau nggak waspada dan cerdas, hal ini bisa menjadi sebab dari masalah. Sangat naif kalau mikir semua orang oke dan baik, percaya orang cuma dari omongannya aja. Bandit ada di mana-mana, dan bisa aja banditnya kelihatan keren.
Gue menyadari salah satu isu yang sering menjadi batu sandungan adalah, nggak ngerti hukum ataupun nggak bikin kontrak kerja yang jelas. Belum lagi pakai jasa hukum tuh kesannya mahal. Sobat kismin macam gue mah, seperti hanya bisa melihat dari bangku rakyat jelata. Tapi kan pengen ngerti, pengen belajar.
Karena itu, suatu hari gue berpikir untuk menulis topik ini dengan memberikan lima study case nyata, tapi disertai tanggapan dari praktisi yang aktif di bidang hukum. Iseng gue tulis di instastory gue dan minta lima teman yang punya pengalaman dan mau sharing terkait topik ini bisa cerita ke gue. Baru bentar aja ternyata banyak yang nge-DM gue, sampai akhirnya postingan story itu gue hapus.
Gerry Abednego adalah seorang partner hukum dari Firma Hukum Taripar Simanjuntak & Partners. Mayoritas mereka menangani corporate law, seperti perjanjian-perjanjian dan segala macem kebutuhan perlindungan hukum yang dibutuhkan perusahaan. Gerry berpengalaman di bidang hukum sejak tahun 2009, dan partnernya, Taripar Simanjuntak sudah aktif selama 21 tahun.
Gerry memiliki beberapa perusahaan yang bergerak di bidang lain dan menariknya, karena semua ini membutuhkan kontrak perjanjian berlandaskan hukum, semua kebutuhan perlindungan hukum seluruh perusahaan ini bergantung kepada firma hukumnya tadi.
Jadilah kali ini gue mengajak seorang sahabat baik, Gerry Abednego, menjadi bintang tamu di artikel kali ini untuk menjawab dari sisi hukum, lima studi kasus nanti.
Mungkin lo merasa nggak membutuhkan perlindungan hukum, proyek lo aman-aman aja. Hal menyangkut kepentingan hukum, desain, dan mengurus pajak sering dianggap tidak penting. Tanpa diurus, bisnis tetap lancar. Tapi bisa ternyata di ujung malah jadi masalah.
Lima studi kasus ini dari sisi para vendor/pekerja, bukan dari sisi pihak yang memberikan job. Sesuai kemauan narasumber, sebagian nama disamarkan, tapi beberapa narasumber tidak. Semoga artikel ini bikin kita menjadi manusia yang lebih baik, rajin bekerja bagai quda tapi bisa aman gitu loh di masa depan.
Si Buyung, biro desain, Jakarta.
Pacar Si Buyung sedang menjalankan proyek renovasi untuk gedung badan edukasi, dan dia menyarankan kliennya, sebut saja BM, untuk meredesain logo institusi tersebut yang sudah tidak zaman now. Si Buyung dikenalkan kepada BM dan direkomendasikan untuk mengerjakan proyek redesain visual logo itu. Ketika berkenalan, BM mengaku sebagai desainer grafis juga. Wah, dalam bayangan Si Buyung, enak nih pasti “nyambung”.
Tanpa adanya kontrak kerjasama, Si Buyung membantu BM dengan menyetujui deal proyek yang ditawar nilainya menjadi lebih rendah, dengan timeline proyek hanya 2 minggu. Si Buyung diminta segera memulai pengerjaan projek dengan dibayarkan terms pembayaran DP 50 persen dan pelunasan akan diberikan sebelum penyerahan file final artwork.
Brief BM adalah logo harus tampil relevan dengan zaman now tanpa menghilangkan esensi logo lama. Ketika proyek berjalan, somehow Si Buyung merasa BM terkesan tidak rela logo diganti. Memang BM pernah mention bahwa logo lama dibuat oleh dirinya dan keluarga. Beberapa keanehan yang dirasakan Si Buyung pada proyek ini:
Permintaan jenis huruf logo dikembalikan seperti logo lama, padahal sudah dibuat “zaman now” dan kalau dikembalikan akan jadi sangat mirip dengan logo lama secara visual. Setelah Si Buyung mengatakan, “kalau tujuan awalnya mau diregenerasi agar lebih relevan dengan saat ini, kami menyarankan penggunaan logotype yang baru agar lebih modern dan simple. Kalau diganti seperti semula, jadi nggak ada bedanya, BM.” Akhirnya di “ok” kan sama BM.
BM tampak galau apa maunya. Dikasih yang modern minta yang kuno, dikasih yang kuno, minta modern. Proses revisi ini membuat Si Buyung memberikan opsi lebih daripada seharusnya.
BM menyetujui pergantiantagline lama seperti usulan Si Buyung agar lebih relevan sesuai dengan arah cakupan badan edukasi tersebut yang sudah lebih luas dibandingkan puluhan tahun lalu di mana logo lama dibuat.
Tapi ketika BM menerima opsi logo dengan tagline baru yang dibubuhkan di bawah logo, BM meminta tagline lama ditaruh di atas visual logo. Jadi di logo itu, bawahnya ada tagline baru, atasnya tagline lama. Padahal kedua tagline itu ada pengulangan kata yang sama. Ya sudahlah akhirnya Si Buyung memenuhi permintaan BM sambil berharap proyek ini cepat berakhir.
Puncaknya adalah, setelah semua listkerja Si Buyung selesai dan diapprove, BM menanyakan di mana hasil pengerjaan desain beberapa item yang lain. Sambil memperlihatkan kembali proposal penawaran awal dan mengingatkan paket yang sudah dipilih BM sebelumnya, Si Buyung menanyakan apakah BM mau upgrade paket untuk pengerjaan item yang lebih banyak?
Tiba-tiba BM marah, sambil mengatakan kalau harusnya Si Buyung memiliki hati untuk membantu institusi pendidikan, dan proyek ini nggak ada budgetnya sehingga menggunakan kas pribadi. BM mengatakan bahwa harusnya Si Buyung tahu mengapa pada awalnya dia dipilih untuk mengerjakan projek ini. Sambil marah dan mengeluh tidak puas, BM bilang “will settle the payment ASAP.” Final artworkpun katanya tidak perlu dikirim karena dia mau menggunakan logo bikinannya sendiri berapa puluh tahun yang lalu.
Si Buyung sedih dan shock karena merasa dizolimi. Apa maksudnya dikatakan “harusnya kamu tahu mengapa pada awalnya kamu dipilih untuk mengerjakan projek ini”? Apakah karena dia “anak baru” jadi dianggap bisa diminta banyak gratisan?
Dengan mengingat kata-kata BM: “Will settle the payment ASAP”, Si Buyung follow up pembayaran ke anak buat BM, sebut saja “AK”. Namun ternyata setelah melunasi pembayaran, AK dimarahin habis-habisan oleh BM dan kebingungan. Di saat yang sama, BM texting memarahi Si Buyung panjang lebar, katanya mengatasnamakan dirinya untuk penagihan itu “not fair”. Malas berdebat, Si Buyung mengirimkan screenshoot Whatsapp dari BM: “Will settle the payment ASAP,” tapi BM berkata, “maksud saya, DP tidak usah dikembalikan. Anggap saja sumbangan to your business.”
Lantaran tidak mau memperpanjang masalah, apalagi BM klien pacarnya juga, Si Buyung transfer balik 50 persen nilai proyek akhirat tersebut sambil merasa sangat dihina dan dizolimi. Sambil merasa jadi orang goblok. Di saat yang sama, pacar Si Buyung meminta dirinya untuk nggak memperpanjang masalah karena BM adalah orang yang memiliki koneksi tertentu di circle pemerintahan, jadi takut Si Buyung mengalami teror/gangguan.
Baca Juga : KPAI Gandeng Polisi Usut Pedofil Yang Bikin Resah Netizen