Hukum Privat dalam Korupsi Birokrasi Politik di tanah air
Hukum Privat dalam Korupsi Birokrasi Politik di tanah air

Hukum Privat dalam Korupsi Birokrasi Politik

Dr. Muhamad Erwin, SH., MHumDosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Politeknik Negeri Sriwijaya, dan STIHPADA

tribunnews.com — Dari waktu ke waktu, ancaman korupsi birokrasi politik telah membahayakan perekonomian nasional, sumber daya alam dan kelestarian lingkungan hidup, hak-hak asasi.

Selain itu juga marwah kelembagaan negara, kerugian negara sehingga negara mengalami penurunan pendapatan nasional maupun pendapatan daerah yang berdampak pada pelambatan pembangunan sumber daya manusia maupun fisik, dan ujungnya dapat memperparah kemiskinan masyarakat bawah Indonesia.

Dengan kerugian yang seperti itu dapat dikatakan korupsi ini lebih berbahaya dari bencana alam.

Oleh karenanya wajar jika tindak pidana korupsi dalam hukum Indonesia saat ini telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Padahal, sudah dikategorikan sebagai kejahatan yang sedemikian, namun malahan belum lama ini masyarakat dikejutkan dengan tersebarnya gambar yang menunjukkan beberapa orang dari ke 41 orang anggota DPRD Kota Malang yang berstatus tersangka korupsi sedang ber-selfie ria dengan rompi oranyenya.

Menyikapi fenomena tersebut, harapan kebijakan hukum pidana (penal policy) yang begitu banyak terungkap dari pandangan masyarakat bahwa jika berbagai metode masih juga belum dapat mengurangi maraknya praktik korupsi birokrasi politik di Indonesia, yakni jika kelak dalam undang-undang tindak pidana korupsi berikutnya memuat hukuman mati bagi koruptor, bisa jadi dapat berkurang.

Tapi apakah mungkin DPR RI berikutnya sebagai wakil rakyat secara hikmat kebijaksanaan berani demi kepentingan rakyat Indonesia untuk mengadakan pemidanaan hukuman mati bagi koruptor dalam undang-undang tindak pidana korupsi berikutnya?

Ruang dan waktu tersedia, namun akan menimbulkan perdebatan dalam rupa apakah hal ini menjadi pilihan terakhir untuk negara yang berketuhanan.

Selama ini paradigma yang dikembangkan bahwa korupsi hanyalah digiring ke ranah publik saja, karena yang dirugikan adalah kepentingan umum.
Seturut dengan itu pada pakem tataran berpikir in box sistem Civil Law telah begitu membedakan secara tajam antara hukum publik dengan hukum privat.

Pada hukum publik terdapat hubungan hukum antara negara (penyelenggara negara) dengan rakyat (warga negara) adalah tidak sejajar, di mana posisi negara (penyelenggara negara) berada di atas dan rakyat (warga negara) berada pada posisi di bawah (bersifat ordinatif).

Sementara pada hubungan hukum privat adalah bersifat sejajar yang bertumpu pada asas kebebasan berkontrak. Publik itu adalah rakyat atau sering disebut masyarakat.
Namun, apakah negara itu publik? Jawabnya “tidak”. Hutang negara bukan hutang rakyat secara individual.

Sementara hutang negara adalah hutang negara secara subjek hukum.Kalau negara berhutang, apakah rakyat secara individual turut berhutang? Jawabnya “tidak”.Indonesia terbentuk dari perjanjian awal di antara negara (penyelenggara negara) dengan rakyat (warga negara) pada Pembukaan UUD 1945.

Berdasarkan teori fiksi pada Ilmu Hukum, maka Negara Indonesia adalah subjek hukum, yakni sebagai pendukung hak dan kewajiban.Dikatakan sebagai pendukung hak dapat dicermati pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945, yakni sebagai pendukung hak kemerdekaan, hak atas peri-kemanusiaan dan perikeadilan.

Sementara sebagai pendukung kewajiban secara gamblang dapat diikuti pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dalam pernyataan bahwa adanya negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut dalam melaksanakan ketertiban dunia dengan berdasarkan pada lima sila Pancasila sebagai jiwa bangsa (volkgeist) Indonesia.

Sementara itu, rakyat atau warga negara Indonesia sebagai pendukung hak dapat dicermati pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, yakni dalam bentuk hak atas kemerdekaan.

Dalam keberadaan rakyat sebagai pendukung kewajiban dapat dipahami pada alinea kedua UUD 1945 yakni dalam kewajiban untuk menjaga kemerdekaan, persatuan, dan kedaulatan Negara Indonesia.

Negara sebagai subjek hukum membutuhkan pengurus untuk menjalankan organisasi negara yang kemudian disebut sebagai pejabat negara.

Keterpilihan pejabat negara itu diwujudkan melalui pemilihan umum yakni setelah terjadinya peristiwa hukum dimana terdapat penyerahan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang terpilih adalah mula timbulnya status subjek hukum lainnya, yakni pejabat (ambtsdrager).

Dengan demikian telah terbentuk hubungan hukum di antara dua subjek hukum, yakni antara pejabat negara dengan rakyat (warga negara).

Sebagai subjek hukum, negara berkewajiban untuk mewujudkan prestasi (pelaksanaan hal-hal yang diperjanjikan) yakni dengan mengadakan pembangunan.

Dalam penyelenggaraan pembangunan jelas membutuhkan modal yang dirumuskan dalam perencanaan (RAPBN dan RAPBD) yang terwujud dalam bentuk baku APBN dan APBD.
Dalam perihal ini hanya pejabat negara yang terlibat akan perencanaan itulah yang mengetahui rencana dan anggarannya.

Dengan bermodalkan pengetahuannya itu, didukung pula dengan niat dan kesempatan, terlebih ditopang pula dengan jabatan, kekuasaaan, dan jaringan yang mantap, maka ruang dan waktu inilah yang kemudian menjadi celah dan peluang besar bagi eksistensi korupsi di kalangan politik birokrasi.

Sementara itu pada sisi lain terdapat pula celah bagi warga negara untuk meminta pertanggungjawaban negara (pejabat negara) akibat “wanprestasi (ingkar janji)” sebagai suatu bentuk hubungan hukum dari berlakunya suatu perjanjian (Pembukaan UUD 1945).

Artinya, telah terdapat perbuatan melawan hukum oleh subjek hukum pejabat negara yang menyelenggarakan tugas negara yang kemudian telah menimbulkan kerugian pada rakyat (warga negara) Indonesia.

Dengan demikian, dapatlah disebut bahwa negara telah wanprestasi kepada rakyatnya.
Selama ini hubungan hukum tersebut hanya dimaknai sebagai gejala atau siklus politik semata pada “janji-janji calon pejabat versus konstituen”.
Sebaliknya apabila pada posisi rakyat (warga negara) yang melakukan wanprestasi, maka seringkali rakyat (warga negara) dapat dikenakan hukuman (seperti denda apabila terlambat membayar apapun).

Sementara jika pejabat negara yang tidak memenuhi prestasi, bagaimana bentuk pertanggungjawaban hukum yang dapat dituntut oleh kostituen kepada pejabat negara?
Apakah cukup dengan “tidak terpilih lagi”.

Lantas dimanakah letak keberlakuan asas pacta sunt servanda (perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya). Korupsi politik birokrasi telah begitu merugikan rakyat Indonesia.

Artinya, pada posisi tersebut kekuasaan negara telah tidak memenuhi prestasi (wanprestasi) terhadap yang telah disepakati dalam perjanjian pada Pembukaan UUD 1945 kepada rakyat (warga negara) Indonesia.

Secara pengetahuan ilmu hukum, adanya perjanjian di antara subjek hukum itu juga masuk dalam ranah privat.

Jika hanya digiring ke ranah hukum publik semata, seolah hanya negara yang menjadi korban, bukan warga negara (negara dalam hal ini mewakili warna negara).

Artinya, ruang lingkupnya pun menjadi ranah hubungan hukum yang terjadi di antara warga negara dengan perseorangan (warga negara).

Mengapa demikian?
Hal ini disebabkan karena pejabat negara (koruptor) tersebut hanya dijerat berdasarkan oleh tindak kejahatannya setelah lepas dari status jabatannya.

Pada sisi lain, dalam ranah privat, tinjauan tentang pejabat koruptor tersebut jika dicermati dari sisi ruang dan waktu (masa uji berlaku), utamanya selagi menyandang status “pejabat” adalah menjadi tereliminir.

Artinya, subjek hukum yang terpilih dalam konteks perjanjian menjadi hapus demi hukum.
Bagaimana mungkin subjek hukum yang terpilih dalam perjanjian ketika melakukan wanprestasi, dapat secara prosedural diganti oleh negara bahkan oleh partai politik pendukung tanpa memenuhi kewajiban hukum atau perjanjiannya, apalagi dianggap hapus secara privat dengan alasan karena kepentingan umum untuk “terselenggaranya roda pemerintahan”.

Pada ide hukum UU No. 20 Tahun 2001 (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) begitu dikehendaki untuk adanya pengembalian aset negara karena dalam sistem pemidanaannya didekati pulamelalui pendekatan retributif dan pendekatan ekonomi.

Dalam hal ini terdapat pada norma yang mengatur tentang pidana tambahan dalam bentuk adanya upaya pengembalian kerugian negara akibat korupsi.

Namun pada kebanyakan praktik eksekusinya, saat jaksa hendak melakukan eksekusi seringkali terpidana memanfaatkan celah hukum yang ada dengan berusaha tidak membayar pidana tambahan berupa uang pengganti, menyembunyikan hartanya dan bersedia untuk menggantinya dengan pidana kurungan yang relatif lebih ringan (yang masanya berbeda-beda mulai dari satu bulan sampai dengan tiga tahun) dibandingkan dengan harus mengembalikan kerugian negara.

Dengan demikian, harta benda hasil korupsi yang telah mereka dapatkan masih tetap dapat dimiliki tanpa harus mengembalikannya kepada negara. Jika sudah seperti ini, jelas negara dan rakyat (warga negara) yang merugi, dimana si koruptor terus memperoleh keuntungan dari aset negara yang dikorupsikan.

Sementara itu negara tidak memiliki keuntungan, hanya pemidanaan saja dan terus terlilit dengan utang luar negeri beserta bunganya yang tetap berjalan.

Pada tataran paradigma ini bukanlah berarti untuk mengeliminir keberadaan hukum publik terutama hukum pidana dalam penegakan hukum pada ranah korupsi, namun untuk menempatkan hukum privat yang menemani hukum publik pada upaya memperkuat penegakan hukum terhadap korupsi tersebut, dimana pemidanaan tidak menghapuskan hak keperdataan.

Dengan mencermati keberadaan pejabat negara adalah terikat dengan perjanjian yang dituangkan dalam surat keputusan dan sumpah jabatan, maka secara privat artinya kepada pejabat negara tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara individual.

Jadi, negara yang mewakili rakyat dapat menuntut ganti rugi (injunction) kepada koruptor dengan landasan perjanjian yang klausul utamanya yakni keuntungan yang diperoleh oleh koruptor melalui aset negara itu harus menjadi aset kekayaan negara sesuai dengan masa jabatannya terhitung surat keputusan dan penandatanganan berita acara sumpah jabatannya.

Selain itu, yang menjadi pertimbangan mengenai dapat dibangunnya hukum privat dalam upaya pemberantasan korupsi yakni oleh karena objek hukumnya adalah keuangan negara.
Sistematika keuangan negara telah terukur dengan pasti mengenai nominal dan alokasinya, maka jika terjadi kebocoran terhadap keuangan negara tersebut adalah tidak sulit untuk menghitung berapa angkanya.

Sementara kekhasan dari hukum privat yakni terukur dalam bentuk objek yang jelas.
Korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa telah mencuri uang rakyat untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa sebagaimana diperjanjikan pada Pembukaan UUD 1945.

Berdasarkan noumena dan fenomena tersebut, semestinya dapat diberlakukan pemeriksaan perkara korupsi politik birokrasi di pengadilan dengan menempatkan rakyat Indonesia sebagai subjek hukum penggugat yang dilakukan melalui sistem juri.

Keberadaan juri sebagai wakil dari subjek hukum rakyat tersebut haruslah diisi oleh sosok-sosok yang memiliki rasa yang tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi dan memiliki kualifikasi kemampuan yang dapat begitu detil dalam menghitung kerugian rakyat pada beberapa bidang kehidupan.

Hal ini diperlukan, karena selama ini jika sampai dengan habisnya masa hukuman penjara, si koruptor tetap saja kaya, sementara itu kerugian negara dan rakyat Indonesia belum dapat dipulihkan.

Sebagai suatu tawaran, bagaimana jika si pelaku yang telah terbukti melakukan korupsi itu memiliki perusahaan, maka sesuai dengan tingkat putusan pengadilan dapat saja seperberapa dari saham perusahaannya kemudian menjadi milik negara sampai dengan perhitungan kerugian rakyat Indonesia secara detil dari korupsi politik birokrasi itu dipastikan telah dipulihkan dari berputarnya saham negara tersebut pada keuntungan perusahaan milik dari si koruptor.

Baca Juga : Hukum Kita, Impor Dari Hukum Romawi

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024
Presidium DPP KAI Kukuhkan 15 AdvoKAI & Resmikan LBH Advokai Lampung
July 20, 2024
Rapat Perdana Presidium DPP KAI, Kepemimpinan Bersama Itu pun Dimulai
July 3, 2024
Tingkatkan Kapasitas Anggota tentang UU TPKS, KAI Utus 20 AdvoKAI untuk Ikut Pelatihan IJRS
June 26, 2024