RMOL.CO – Insiden jatuhnya pesawat lion Air JT-610 pada tanggal 29 Oktober 2018 merupakan berita duka yang menambah catatan insiden dalam dunia penerbangan di Indonesia.
Selama ini kegiatan transportasi menggunakan pesawat udara memang dianggap sebagai sarana transportasi paling efektif dan efisien dengan karakteristik mampu mencapai tempat tujuan dalam waktu yang relatif lebih cepat dari sarana transportasi jenis lainnya. Namun bertolak dari keterangan tersebut sarana transportasi udara juga memiliki risiko yang cukup tinggi dalam kecelakaan dan menimbulkan korban yang relatif lebih besar dibandingkan sarana transportasi lainnya.
Salah satu peristiwa kecekalaan pesawat yang mengakibatkan banyak korban adalah insiden jatuhnya pesawat Adam Air Kl- 574 pada tahun 2007 dengan korban sejumlah 102 penumpang berserta awak pesawat yang hingga saat ini belum diketahui kondisinya. Selanjutnya adalah peristiwa jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 pada tahun 2014 dengan korban 162 orang beserta awak pesawat.
Melihat besarnya risiko pada sarana transportasi penerbangan jika dipandang dalam koridor hukum sesungguhnya hal tersebut berbanding lurus pada tanggung jawab hukum penyedia layanan transportasi penerbangan, dalam hal ini maskapai penerbangan. Ketentuan tersebut diatur didalam Pasal 141 ayat 1 UU 1/2009 tentang Penerbangan yang menyebutkan bahwa “Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat. Apabila kerugian timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam Undang Undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya”.
Menilik ketentuan di dalam Pasal 141 ayat 1 1/2009 sesungguhnya ketentuan tersebut mengandung prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability/absolute liability) di dalam hukum pengangkutan udara. Di dalam prinsip tanggung jawab mutlak ini maskapai penerbangan dianggap selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidaknya kesalahan serta tidak melihat siapa yang bersalah.
Pandangan ini sejalan dengan pendapat Ridwan Khairandy, Gurubesar Hukum Bisnis Universitas Islam Indonesia. Menurutnya, di dalam prinsip tanggung jawab multak (strict liability/absolute liability) ini memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak kesalahan pada maskapai penerbangan. Para korban cukup memberi tahu bahwa korban telah menderita kerugian akibat jatuhnya pesawat udara sehingga secara hukum maskapai penerbangan wajib mengganti kerugian tersebut.
Prinsip tanggung jawab mutlak ini dalam hukum pengangkutan udara internasional pertama kali diterapkan dalam Protokol Guatemala City 1971. Pasal 17 ayat (1) Konvensi Warsawa – Hague – Guatemela yang menyebutkan “Pengangkut (maskapai penerbangan) bertanggung jawab atas kerugian yang diderita dalam kasus kematian atau cedera pribadi penumpang di setiap operasi penerbangan. Namun pengangkut (maskapai penerbangan) tidak bertanggung jawab jika kematian atau cedera diakibatkan semata-mata dari kondisi kesehatan penumpang.”
Protokol Guatemela City ini juga menghapuskan ketentuan pembebasan tanggung jawab pengangkut yang diatur di dalam Pasal 20 ayat (1) Konvensi Warsawa di mana pengangkut hanya dapat membebaskan tanggungjawabnya jika ia dapat membuktikan bahwa kematian atau luka-lukanya penumpang semata-mata disebabkan oleh keadaan penumpang sendiri atau kerugian itu turut disebabkan kesalahan penumpang sendiri (contributy negligence).
Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum pengangkutan udara domestik memberikan konsekuensi bahwa pengangkut atau maskapai penerbangan wajib memberikan santunan kepada korban tanpa mempermasalahkan apakah pengangkut atau maskapai penerbangan melakukan kesalahan (kelalaian atau tidak).
Dengan begitu secara hukum, apabila terjadi kecelakaan pesawat udara yang mengakibatkan kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara dan/atau naik turun pesawat udara maka pihak yang berhak meminta ganti rugi adalah penumpang. Sedangkan pihak yang memikul tanggung jawab hukum untuk mengganti kerugian adalah maskapai penerbangan.
Penerapan prinsip ini di dalam aturan hukum penerbangan normatif Indonesia sesungguhnya memiliki tujuan untuk menciptakan kepastian hukum bagi para korban kerugian dalam kegiatan transportasi udara.
Baca Juga : Novel Baswedan Desak Teror Terhadap Pegawai KPK Diusut Hukum