Suara.com – Direktur Ekskutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayani menilai, penegakan hukum harusnya sebagai bagian dari pemulihan terhadap restorasi gambut. Keduanya tidak bisa dipisahkan, mengingat sebagian target restorasi gambut adalah konsesi perusahaan, baik perkebunan sawit maupun kebun kayu.
Ia menerangkan, lemahnya penegakan hukum menjadi salah satu isu kritis atas komitmen presiden. Karena di sanalah salah satu masalah mendasar dari carut-marutnya tata kelola gambut di Indonesia.
“Sayangnya, penegakan hukum kembali melemah. Bisa dilihat dari contoh di Provinsi Jambi, ada 46 perusahaan yang lahannya terbakar di tahun 2015, dan 16 perusahaan di antaranya berada di kawasan gambut. Hanya lima perusahaan yang diproses secara hukum,” ungkap Nur dalam diskusi bertema ‘Apa Kabar Pemulihan Ekosistem Rawa Gambut Dan Penegak Hukum’ di Cikini,Jakarta Pusat, Rabu (15/8/2018).
Menurut dia, penegakan hukum sebagian besar justru diarahkan kepada masyarakat adat, masyarakat lokal dan petani yang selama puluhan tahun di stigma sebagai pembakar hutan dan lahan.
“Padahal kita juga tahu bahwa selama ini pejabat pengawas lingkungan hidup dan kepolisian juga lemah melakukan pengawasan di konsesi-konsesi perusahaan, seperti yang terjadi di Sumsel, serta masih lemahnya kapasitas aparat penegak hukum dalam melihat kejahatan korporasi yang berada di ekosistem gambut,” terangnya.
Maka dari itu, Walhi meminta pemerintah untuk melakukan penegakan hukum, bukan bagian yang terpisah dari kerja-kerja restorasi atau pemulihan gambut. Melainkan pintu utama dari pembenahan tata kelola ekosistem rawa gambut. Sebab, tidak ada pembenahan tata kelola gambut, tanpa penegakan hukum.
“Selain pekerjaan teknis yang dijalankan, maka badan ini seharusnya memperbaiki kerja dan komunikasi politiknya dengan kementerian atau lembaga negara lain seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Mabes Polri untuk penegakan hukum,” bebernya.
Lebih lanjut ia mengatakan, sebagai komitmen Presiden Jokowi terhadap upaya penanganan kebakaran hutan dan lahan gambut, serta pemulihan ekosistem rawa gambut, maka kebijakan moratorium dalam kurun waktu 25 tahun segera dikeluarkan.
Kebijakan moratorium ini bertujuan mencapai pembenahan tata kelola sumber daya alam, khususnya tata kelola gambut. Kebijakan moratorium harus dibarengi dengan upaya penegakan hukum, review berbagai perizinan dan audit perizinan.
“Memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap wilayah kelola rakyat yang berada di ekosistem rawa gambut yang diyakini mampu mengelolanya secara adil dan lestari, berbasiskan dari pengetahuan dan kearifan yang dimiliki oleh masyarakat adat maupun masyarakat lokal,” imbuh dia.
Baca Juga : 657 ‘Wakil Tuhan’ Langgar Etik, Perselingkuhan Hakim Jadi Tren
[…] Baca juga : Walhi: Penegakan Hukum Restorasi Gambut Masih Lemah […]