hukumonline.com — Sejauh ini BKN baru memblokir data 307 PNS tersebut. Langkah pemberhentian kepada PNS korupsi yang telah inkracht harus segera dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan mengingat tindakan korupsi menyangkut kerugian negara dan wibawa birokrasi.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengklaim telah melakukan pemblokiran data kepegawaian terhadap 231 Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terbukti melakukan tindak Pidana Korupsi. Hingga saat ini langkah tersebut masih terus berlanjut dan tercatat Per 31 Juli 2018 BKN telah melakukan tindakan serupa berupa pemblokiran data kepegawaian terhadap 307 PNS pelaku korupsi dengan status inkracht.
Atas hal tersebut, Ketua DPR Bambang Soesatyo mendesak Pemerintah segera memberhentikan sebanyak 307 ASN yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan telah ada putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
“BKN (Badan Kepegawaian Negara) harus segera membersihkan instansi Pemerintah dari amtenar yang terbukti korupsi, setelah ada putusan Pengadilan,” kata Bambang Soesatyo seperti dilansir Antara, Selasa (7/8).
Bambang Soesatyo yang akrab disapa Bamsoet, mendesak BKN dan pejabat pembina kepegawaian segera memproses pemberhentian dengan tidak hormat terhadap ASN yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan telah ada putusan Pengadilan. Apalagi, dalam Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN juga sudah mengatur hal itu secara jelas.
“Harus menjadi perhatian jangan sampai pejabat pembina kepegawaian (PPK) membiarkan ASN korupsi tetap berkarier di instansi pemerintah. BKN harus bersikap tugas dan hal itu sudah diatur dalam undang-undang,” katanya.
Pasal 87:
(1) PNS diberhentikan dengan hormat karena:
meninggal dunia;
atas permintaan sendiri;
mencapai batas usia pensiun;
perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau
tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban.
(2) PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana.
(3) PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat. (4) PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena:
melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum;
menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau d. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.
Mantan ketua Komisi Hukum DPR itu menegaskan, BKN dapat melibatkan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) untuk mengusut dugaan “patgulipat” antara PPK dengan ASN korupsi yang masih menerima gaji, karena menimbulkan kerugian negara.
Bamsoet juga meminta BKN meningkatkan pembinaan terhadap ASN dengan memberikan kesempatan kepada ASN mengikuti pendidikan dan pelatihan, sehingga melahirkan ASN yang profesional dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, sekaligus meningkatkan produktivitas para abdi negara tersebut.
Sementara itu, Kepala Biro Humas BKN, Mohammad Ridwan, dalam rilis yang dikutip hukumonline, Selasa (7/8), mengatakan bahwa untuk menindaklanjuti pemblokiran data kepegawaian bagi ASN tipikor tersebut, ke depan ada tiga hal yang akan dilakukan BKN.
Pertama, pemberian konsultasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sebagai wujud law enforcement. Kedua, kerja sama dan koordinasi kepada instansi/pejabat terkait untuk secara bersama-sama mengawal ditaatinya UU ASN.
Ketiga, jika terjadi pembiaran berlarut maka agar diterapkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 82 yang mengatur jenis pelanggaran & sanksi yang dapat diterapkan bagi Pejabat Pemerintah.
Pasal 80:
Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 36 ayat (3), Pasal 39 ayat (5), Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 44 ayat (5), Pasal 47, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (3), Pasal 50 ayat (4), Pasal 51 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 66 ayat (6), Pasal 67 ayat (2), Pasal 75 ayat (4), Pasal 77 ayat (3), Pasal 77 ayat (7), Pasal 78 ayat (3), dan Pasal 78 ayat (6) dikenai sanksi administratif ringan.
Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 53 ayat (2), Pasal 53 ayat (6), Pasal 70 ayat (3), dan Pasal 72 ayat (1) dikenai sanksi administratif sedang.
Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 42 dikenai sanksi administratif berat. (4) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) yang menimbulkan kerugian pada keuangan negara, perekonomian nasional, dan/atau merusak lingkungan hidup dikenai sanksi administratif berat.
Pasal 81:
Sanksi administratif ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) berupa: a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; atau
c. penundaan kenaikan pangkat, golongan, dan/atau hak-hak jabatan.
Sanksi administratif sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) berupa:
pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;
pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatan; atau
pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan.
Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) berupa:
pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya;
pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya;
pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa; atau
pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa.
(4) Sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 82:
(1) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dilakukan oleh:
a. atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan;
b. kepala daerah apabila Keputusan ditetapkan oleh pejabat daerah;
c. menteri/pimpinan lembaga apabila Keputusan ditetapkan oleh pejabat di lingkungannya; dan
d. presiden apabila Keputusan ditetapkan oleh para menteri/pimpinan lembaga.
(2) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dilakukan oleh:
a. gubernur apabila Keputusan ditetapkan oleh bupati/walikota; dan
b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri apabila Keputusan ditetapkan oleh gubernur.
Sebelumnya, Ridwan mengatakan langkah pemberhentian kepada ASN korupsi yang telah inkracht harus segera dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan mengingat tindakan korupsi menyangkut kerugian negara dan wibawa birokrasi.
Menurutnya, ASN yang dijatuhi hukuman penjara karena melakukan tindak pidana korupsi harus diberhentikan tidak dengan hormat terhitung mulai akhir bulan sejak putusan pengadilan atas perkaranya yang telah inkracht.
“Jika tindakan pemberhentian tidak dilakukan, hasil pengawasan bersama akan ditindaklanjuti oleh BKN dan KPK sesuai dengan kewenangan dan regulasi yang berlaku,” katanya.
Hal tersebut, lanjut Ridwan, sudah dituangkan lewat kerjasama BKN–KPK dan Surat Kepala BKN Nomor K 26-30/ V 55-5 / 99 tanggal 17 April 2018 perihal Koordinasi Bersama Terkait Pengawasan dan Pengendalian Kepegawaian kepada seluruh PPK Instansi.
Baca Juga : Vonis 4,5 Tahun untuk Penadah Hewan Langka, WWF Apresiasi Aparat Hukum Sijunjung, Sumbar