RMOL. Dua perusahaan rokok yang disomasi oleh pecandu produknya, PT Gudang Garam dan PT Djarum, secara hukum sudah bebas dari tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Pasalnya, somasi yang dilayangkan Rohayani, pecandu rokok itu, sudah melampaui batas waktu tujuh hari sejak tanggal transaksi.
Praktisi hukum yang juga pengamat pertembakauan Gabriel Mahal mengatakan somasi yang sudah melampaui batas membuat tuntutan ganti rugi tersebut tidak sesuai, atau bertentangan dengan ketentuan Pasal 19 ayat (3) UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Mengutip materi somasi yang dimuat di banyak media, Gabriel mengingatkan, Rohayani mengaku menjadi perokok sejak 1975 sampai dengan 2000. Artinya, transaksi terakhir terjadi 18 tahun yang lalu, jika dihitung dari waktu ia menuntut ganti rugi pada 19 Februari 2018.
“Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (3) UU 8/1999, tuntutan ganti rugi tidak boleh melampaui batas waktu tujuh hari terhitung sejak tanggal transaksi. Ketentuan tersebut juga bersifat non-retroaktif atau tidak berlaku surut,” ujar kata Gabriel di Jakarta, Senin (26/3).
Gabriel menambahkan, batas jangka waktu juga ditetapkan dalam Pasal 27 huruf e, yang menegaskan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian konsumen, apabila: e).Lewatnya jangka waktu 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu diperjanjikan.
Jadi, semisal Rohayani membeli rokok Gudang Garam atau Djarum pada 2000, maka ketika ia menuntut ganti rugi pada 19 Februari 2018, berdasarkan Pasal 27 huruf e, pihak Gudang Garam atau Djarum sudah bebas dari tanggung jawab atas kerugian yang diklaim Rohayani.
“Sehingga, tidak bisa lagi dimintai pertanggungjawaban untuk memenuhi tuntutan ganti rugi. Secara hukum, kedua perusahaan sudah bebas dari tanggung jawab atas kerugian yang diklaim Rohayani,” kata aktivis Prakarsa Bebas Tembakau itu.
Gabriel tidak menepis fakta, sistem hukum perlindungan konsumen dalam UU 8/1999 memberikan sejumlah hak kepada konsumen. Di antaranya, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya (Pasal 4 huruf h UU 8/1999).
Hak konsumen tersebut merupakan kewajiban bagi pelaku usaha. Para pelaku usaha memiliki kewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
“Namun, hukum selalu membatasi penggunaan hak dan/atau kewajiban yang diberikan. Termasuk, UU 8/1999 pun membatasi penggunaan hak oleh konsumen, juga membatasi beban kewajiban dari pelaku usaha,” tuturnya.
Selain terkait jangka waktu, ada pula batasan yang berhubungan dengan syarat atau kondisi apabila barang dan/atau jasa yang diterima konsumen tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Karena itu, pertanyaan pertama kepada konsumen (Rohayani) yang menuntut ganti rugi berdasarkan UU 8/1999 adalah, apakah rokok Gudang Garam dan Djarum yang dulu dia terima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya?
Namun, lanjut Gabriel, yang relevan dengan situasi sekarang tetap batasan menyangkut jangka waktu. “Tanggal transaksi pembelian rokok dengan waktu pengajuan tuntutan ganti rugi berjarak sangat jauh. Wajar kalau langkah hukum yang dilakukan Rohayani kemudian menjadi multitafsir,” pungkas.
Baca Juga : Antisipasi Janji Palsu di Era Digital, Pengusaha Harus Melek Hukum