JAKARTA, (PR).– Keputusan DPR RI yang menyusun dan mengesahkan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dinilai telah melanggar amanat reformasi yang diperjuangkan mahasiswa pada 1998. Dengan revisi itu, aturan, wewenang, tugas dan keanggotaan MPR, DPR, DPRD dan DPD menjadi lebih menguntungkan wakil rakyat dan membungkam demokrasi.
“DPR RI menjadi anti kritik dan kebal hukum. Sementara, anggota masyarakat baik perorangan maupun kelompok yang mengkritisi DPR RI atau lembaga legislatif dapat dikenai sangsi pidana atau hukuman penjara,” demikian penilaian Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) dalam diskusi Policy Centre, di gedung Rektorat UI, Salemba, Jakarta, Jumat 23 Maret 2018.
Pembicara dalam diskusi tersebut antara lain Ketua Policy Centre ILUNI UI Berly Martawardaya, Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI Zaadit Taqwa, peneliti Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG) M. Jibriel Avessina, dan perwakilan masyarakat penggugat Judicial Review UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Josua Satria.
“Dengan disahkannya UU MD3, DPR telah melanggar apa yang sudah ditulis di undang-undang, dengan membatasi orang dalam mengeluarkan pendapatnya,” tegas Ketua BEM UI Zaadit Taqwa.
Dia menjelaskan, dalam KUHP tidak ada pasal yang menerangkan sanksi-sanksi sandera. Yang ada sanksi pidana, dan beberapa sanksi lainnya. Tapi sandera tersebut tidak termaksud dalam pembahasan KUHP. Jadi apakah sanksi sandera sebagaimana yang disebutkan dalam UU MD3 termaksud dalam pidana atau tidak? Karena tidak ada kejelasannya.
“Akhirnya menjadi suatu yang tidak adil apabila seorang kemudian ditangkap secara paksa (disandera) karena diminta keterangan oleh DPR RI dan tidak hadir dalam pemanggilan DPR tanpa melalui proses pengadilan dan pembuktian yang sah,” papar Zaadit Taqwa.
Zaadit menjelaskan, pasal 28 E ayat 3 yang berbunyi “kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat” dan pasal 28 I ayat 4 yaitu “perlindungan, pemajuan dan penegakan HAM adalah tanggung jawab negara dalam hal ini pemerintah. Dengan disahkannya pasal 122 huruf L ini, akan membatasi ruang geraknya masyarakat untuk memberikan kritik-kritik .
Pada saat kesempatan tersebut, Ketua umum BEM yang pernah memberikan kartu kuning kepada Presiden Jokowi ini, juga mengkritisi bunyi pasal di UU MD3 khususnya pasal 245 yang menyebutkan, pemanggilan Anggota DPR RI yang terindikasi melakukan pelanggaran hukum, oleh pihak aparat hukum, namun harus mendapat persetujuan presiden dan Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Padahal, pasal tersebut pernah ditolak oleh MK (Mahkamah Konstitusi).
“Oleh karena itu, dengan disahkannya pasal 245 merupakan bentuk ketidakhormatan DPR terhadap keputusan-keputusan MK sebelumnya. Sebelumnya, MK juga pernah melakukan uji materi terkait UU kepala daerah yang sama ketika dilakukan pemanggilan atau permintaan keterangan harus melalui izin tertulis presiden yang saat itu MK pun menolak dan menjawab,” ujarnya.
“Ini akan mengganggu dan memperpanjang proses-proses penyidikan dan ini tidak sesuai dengan asas-asas dalam sistem peradilan pidana. Pertama, asas persamaan dalam hukum yang mana anggota DPR nantinya mempunyai kedudukan berbeda dengan warga negara lain di depan hukum karena mempunyai satu hak izin yang harus ditempuh oleh penegak hukum, lalu dia bisa diperiksa.”
“Kedua, asas peradilan cepat dan sederhana dan murah. Dengan adanya satu tambahan hak izin lewat presiden maka asas cepatnya itu akan berkurang, karena akan ada waktu lagi yang ditempuh. Sederhana juga akan berkurang karena akan menjadi lebih rumit karena akan ada banyak lagi orang yang terlibat dan bisa jadi tidak lebih murah,” papar Zaadit Taqwa.
Pertanyakan Menkumham
Peneliti Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG) Jibriel Avvisena menyesalkan sikap Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumhan) beserta aparatnya yang banyak bersikap diam terhadap revisi Undang-undang MD3. Ini meskipun revisi tersebut mengacam kehidupan demokratis dan dapat mempidanakan setiap anggota maupun kelompok masyarakat yang bersikap kritis terhadap DPR RI dan lembaga legislatif lainnya.
“Seharusnya, Kemenkumham mengawal sampai akhir pasal-pasal yang direvisi tersebut. Peraturan MD3 dibentuk untuk mengatur internal di MPR, DPR DPD dan DPRD. Terakhir diubah 2014, ada perubahan lagi pada 2018 ketika masa parlemen hanya 1,5 tahun lagi. Kenapa tidak ada penjagaan, sehingga usulan tersebut bisa lolos,” papar Jibril
Jibril sendiri memuji Keputusan Presiden Jokowi untuk tidak menandatangani pengesahan UU MD3 tersebut. Keputusan Presiden tersebut dianggap paling bijaksana dalam sikap politiknya sekaligus untuk menghindari konflik. “Yang harus di evaluasi oleh Presiden adalah Menkumham yang sekarang, tidak bisa sigap dan diandalkan untuk mengawal sidang-sidang DPR RI dalam pembahasan UU MD3” papar Jibril Avvisena.
Ketua Policy Centre ILUNI UI Berly Martawardaya, melihat kasus disahkannya revisi UU MD3 memiliki dampak yang luas di masyarakat. Karena itu perlu diskusi dan kajian yang terus menerus.
Namun, Berly juga berharap Mahkamah Konsitusi dapat mengambilkan tuntutan berbagai kelompok masyarakat, yang meminta MK membatalkan UU MD3 secara keseluruhan maupun pasal-pasal yang baru dimasukkan dalam UUD MD3 hasil revisi. Hal ini agar kehidupan demokrasi dapat terus berlangsung di masyarakat. Masyarakat yang mengawasi dan ikut mengkritisi tidak perlu takut dipidanakan.
Baca Juga : Menterinya Disebut Terima Duit E-KTP, Jokowi: Kalau Ada Bukti Hukum, Proses Aja