tirto.id – Ada sekitar 250.000 pengikut di akun Instagram Jason Williams atau REVOK, seniman jalanan asal kota New York. Di ranah seni jalanan, REVOK bukan seniman baru. Sebuah galeri di New York pernah menyelenggarakan pameran tunggal REVOK pada 2016 lalu. Sekarang REVOK adalah salah satu seniman yang dipromosikan oleh galeri seni Library Street Collective, Detroit. Di Amerika karya seniman ini ada di sejumlah tembok samping bangunan. Ciri khas karyanya ialah garis meliuk yang digambar berulang.
Lima hari lalu Instastory pengikut-pengikut REVOK dan penikmat seni di beberapa negara memuat unggahan bertuliskan Boycott H&M. Tulisan itu ada di atas kampanye label busana H&M yang berupa gambar seorang pria melakukan gerakan berdansa di depan karya REVOK.
REVOK menuntut H&M lantaran syuting di depan karyanya tanpa izin. H&M merespons REVOK dengan menuntut balik. Tim H&M mengganggap sudah melakukan hal yang benar karena mendapat izin dari New York City Department of Parks and Recreation. Label busana itu pun beranggapan bahwa grafiti ialah produk ilegal dan bisa digunakan oleh siapapun dengan tujuan apapun. Oleh karena itu H&M merasa tidak punya kewajiban untuk membayar royalti kepada REVOK.
Reaksi yang muncul di media sosial menyebabkan H&M mencabut tuntutan dalam hitungan jam setelah tuntutan dibuat. “Kami tidak pernah bermaksud untuk memengaruhi debat tentang legalitas seni jalanan. Kami berterima kasih kepada semua orang terhadap komentar-komentar dan kepeduliannya. Setiap suara selalu berarti bagi kami,” demikian pernyataan resmi H&M. Perusahaan pakaian asal Swedia itu sudah menghapus iklan tersebut dari situs mereka.
Kasus serupa pernah dialami REVOK dengan lini busana lain. Pada tahun 2014 REVOK menuntut label busana Roberto Cavalli karena menggunakan gambarnya sebagai motif busana koleksi musim semi 2014. Cavalli merespons tuntutan REVOK dengan mengajak sang seniman beserta pengacaranya untuk berdiskusi. Akhirnya kasus ini selesai di luar pengadilan.
“Sebenarnya kemungkinan gambar dipakai kembali, digunakan, atau dihapus itu wajar. Yang jadi masalah ialah tuntutan dari H&M. Saya pribadi merasa tidak ada masalah bila karya ditampilkan di media sosial orang lain atau jadi latar bagi foto kampanye brand independen bila gambar yang diperlihatkan kecil dan tidak fokus. Tetapi bila penggunaan gambar sudah masuk ke ranah komersil seperti iklan atau poster yang memuat gambar dengan jelas, harus ada perbincangan lebih lanjut dengan pihak ketiga,” kata Darbotz, seniman jalanan Indonesia.
Di ranah mode, tuntutan hukum yang diajukan oleh seniman jalanan ini mulai ramai terjadi sejak tahun 2014. Saat itu lini busana Coach dan Urban Outfitters pernah terlibat kasus tersebut. Tahun 2015, desainer Jeremy Scott dituntut oleh seniman jalanan Rime karena mendesain gaun dengan motif gambar dan tanda-tangan Rime. Selain dipamerkan dalam fashion show, busana tersebut juga digunakan penyanyi Katy Perry saat menghadiri perhelatan Met Gala. Bagi Jeremy, hal yang dilakukan itu sah-sah saja karena bertujuan untuk memberi kesan urban pada busana dengan menggunakan karya street art.
Rimba tanpa Hukum Bernama Seni Jalananshare infografik
Sampai saat ini, di Amerika Serikat belum ada undang-undang resmi yang mengatur tentang hak cipta karya seniman jalanan. Namun ada beberapa aturan yang bisa digunakan untuk melindungi karya seniman jalanan. Salah satu aturan tersebut ialah Visual Artists Rights Act (VARA). Aturan ini digunakan pula oleh orang-orang di Inggris. Washington Journal of Law, Technology & Arts (PDF) menyatakan aturan ini menyebutkan seniman punya hak untuk mengklaim kepemilikan karya atau menyatakan sebuah karya bukan miliknya. Seniman juga punya kuasa untuk mencegah pihak yang bertujuan mengubah atau mengancurkan karya. Aturan lain yang mengatur tentang karya seniman jalanan ini ialah California Art Preservation Act (PDF).
Selain itu, belum ada aturan yang mengatur tentang hak cipta karya seni dan penggunaannya oleh pihak ketiga. Artikel “Protecting Artistic Vandalism: Graffiti and Copyright Law” menulis bahwa dalam hukum hak cipta, kepemilikan karya dan hak cipta berbeda dengan kepemilikan ruang tempat karya tersebut ditorehkan. Dalam artikel turut dijelaskan bahwa melindungi seni graffiti merupakan cara untuk mempromosikan ekspresi kreatif. Hal itu bisa berdampak pada seniman yang mencari tempat lebih legal untuk menggambar.
Sharon Givoni, pengacara yang biasa menangani kasus kekayaan intelektual di Melbourne, Australia menyebut bahwa dalam penggunaan karya seni jalanan setidaknya ada pemenuhan hak moral. Hal yang dimaksud hak moral ialah VARA. Sharon beranggapan bahwa setidaknya seseorang bisa memuat nama seniman atau nama samaran yang tertera dalam karya.
Sejauh ini, perlindungan terhadap eksploitasi karya dilakukan sendiri oleh seniman. Makalah “Street Art: An Analysis under U.S. Intellectual Property Law and Intellectual Property ‘s Negative Space Theory” (PDF) menceritakan seorang seniman yang menghancurkan sendiri karyanya untuk mencegah terjadinya eksploitasi karya oleh pihak ketiga yang bertujuan untuk meraih keuntungan finansial.
Makalah yang dibuat oleh Cathay Y.N. Smith itu turut menyebut bahwa pengadilan tidak bisa sepenuhnya membela seniman jalanan lantaran sifat karya seni yang ilegal. “Selama beberapa dekade, seniman jalanan mencoba untuk membangun norma, aturan, dan prosedur untuk melindungi karya mereka dari eksploitasi. Memperkenalkan hukum pada komunitas independen bisa menghasilkan konsekuensi di luar ekspektasi.”
Menurut Bujangan Urban, seniman jalanan dan pendiri Gardu House, seni jalanan adalah strategi agar karyanya dilirik oleh orang. Ia memilih untuk tidak membubuhkan nama pada karyanya, agar publik mengenalnya dari karya.
“Tetapi melihat adanya kasus-kasus penggunaan komersil dari gambar saya merasa perlu ada aturan tentang hak cipta untuk seniman. Terlebih kalau karyanya sudah mulai dilirik oleh publik di luar negeri,” kata pria yang merupakan pengorganisir Street Dealin, festival seni grafiti Indonesia.
Baca Juga : Orang Kaya Bebas Atur Hukum