Jakarta, CNN Indonesia — Terpidana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menggunakan pasal kekhilafan hakim sebagai dasar pengajuan Peninjauan Kembali (PK) putusan hakim dalam kasus penodaan agama.
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara Jootje Sampaleng mengatakan soal kekhilafan itu tercantum dalam Pasal 263 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Alasan hukum dia menggunakan Pasal 263 ayat 2 KUHAP yaitu ada kekhilafan hakim atau ada kekeliruan yang nyata,” kata Humas PN Jakarta Utara, Jootje Sampaleng di Jakarta, Rabu (21/2).
Jootje merinci ada tiga hal dasar PK yang tercantum dalam pasal 263 ayat 2 KUHAP. Syarat materilnya adalah adanya keadaan baru, adanya putusan yang saling bertentangan dan adanya putusan yang memperlihatkan adanya suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata.
Ia juga merinci faktor keadaan yang baru berdasarkan pada keadaan terdakwa yang menyangkut di persidangan atau yang berhubungan langsung dengan perkara.
Jootje mengatakan, pengacara Ahok membandingkan dengan vonis Buni Yani oleh Pengadilan Negeri Bandung.
Perkara Buni baru diputus Pengadilan Negeri Bandung pada 14 November tahun lalu. Buni Yani divonis penjara 1,5 tahun namun dia tak dikurung karena sedang berupaya melakukan banding.
Terkait, kata Jootje, PN Jakut akan tetap menerima pengajuan PK meskipun dasar hukum perkara Buni Yani belum berkekuatan tetap atau inkrah. Pengadilan, imbuhnya, hanya akan mempersiapkan perkara formalitas saja.
“Saya belum cek apakah (kasus Buni Yani) sudah inkrah atau belum bagi saya nanti majelis mahkamah agung yang akan memutuskan,” tegas dia.
Sebelumnya, Pengacara Ahok mendaftarkan pengajuan kembali pada 2 Februari 2018. Salah satu pengacara Ahok, Josefina Syukur, mengatakan PK diminta langsung oleh Ahok sendiri.
Baca Juga : Formappi: Lewat UU MD3, DPR Berusaha Aman dari Jerat Hukum