DETIK.COM, Jakarta – Pemerintah dan DPR telah menyepakati aturan ‘mewajibkan’ polisi membantu DPR memanggil paksa individu atau lembaga yang mangkir ketika dipanggil DPR. Namun, polisi diminta hati-hati dalam penerapan aturan tersebut. Sebab, jangan sampai masyarakat menilai polisi berpihak pada kepentingan oknum tertentu.
“Begini, polisi harus tempatkan pasal tersebut dalam konteks bahwa untuk mendukung kewenangan legislatif yang dilandaskan pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan elite, atau kepentingan partai, atau kepentingan oknum tertentu. Setelah membaca teksnya, polisi harus membaca konteks sebuah pasal. Jadi, polisi tak terjebak nantinya di penyalahgunaan kekuasaan,” kata Peneliti Pukat UGM, Hifdzil Alim saat dihubungi detikcom, Sabtu (10/2/2018).
Hifdzil khawatir apabila aturan itu diterapkan tanpa kehati-hatian, dalam hal ini membaca isi pasal 73 UU MD3, bisa menimbulkan abuse of power. “Bagaimana kalau ternyata bunyi pasal itu malah menciptakan legislative heavy atau bahkan abuse of power di kekuasaan legislatif sendiri?” tanyanya.
Untuk menghindari abuse of power, Hifdzil menyatakan harus ada pengaturan penggunaan pasal yang melibatkan penegak hukum. Dia kemudian mengingatkan penerapan UU MD3 soal angket pun hanya berlaku untuk eksekutif.
“Perlu ditegaskan di UU MD3 soal angket hanya untuk eksekutif. Kemudian juga diatur penggunaan pasal yang melibatkan penegak hukum,” tambah Hifdzil.
Diberitakan sebelumnya, Baleg DPR bersama pemerintah menyepakati aturan polisi wajib membantu DPR memanggil paksa lembaga atau individu yang mangkir dari panggilan. Dalam RUU MD3 itu, diatur pula agar polisi bisa menyandera objek yang dipanggil paksa DPR.
Anggota Komisi III dari F-PDIP Masinton Pasaribu menyebut maksud penyanderaan itu bisa berarti dilakukannya penahanan. Itu bila pihak yang dipanggil DPR mangkir sebanyak tiga kali berturut-turut.
“Ya kayak ditahan sementara. Itu kalau dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas, ya DPR diberi kewenangan melakukan penyanderaan dengan bantuan kepolisian,” jelas Masinton, Jumat (9/2).
Baca Juga : Investor Eropa Ragu Jaminan Hukum RI