TEMPO.CO, Jakarta- Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang ditargetkan rampung sebelum 14 Februari 2018 kemungkinan besar akan mundur. Mundurnya pembahasan akan berakibat mundurnya pula pengesahan RKUHP menjadi undang-undang yang ditargetkan sebelum selesainya masa persidangan III DPR. Penyebab utamanya, belum tercapainya kesepakatan antarfraksi dan juga DPR dengan pemerintah, atas sejumlah pasal dalam RKUHP –Rancangan undang-undang yang terhitung paling lama pembahasannya dalam sejarah pembahasan RUU di DPR.
Senin, 5 Februari, besok, misalnya, yang dijadwalkan sebagai rapat untuk pengambilan keputusan antara DPR dan Pemerintah diganti untuk membahas pasal-pasal yang memancing perdebatan publik. Ketua Tim Pemerintah RKUHP, Enny Nurbaningsih mengakui ada sejumlah pasal dalam RKUHP ini yang harus diperbaiki.
Sejumlah pasal dalam RUU itu memang dinilai kontroversial, bahkan mengalami kemunduran dibanding undang-undang sebelumnya. Pasal-pasal itu antara lain menyangkut kebebasan berpendapat, zina, dan penghinaan terhadap kepala negara. Yang terakhir ini bahkan mendapat sorotan tajam karena sebelumnya telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal tentang penghinaan kepala negara tercantum dalam Pasal 263. Bunyinya, “Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
“Ini menunjukkan tidak taatnya penyusun RKUHP pada konsep ketatanegaraan Indonesia,” kata Miko Ginting, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Miko Ginting menegaskan, demokratisasi hukum pidana dalam RKHUP belum tercapai. Itu tercermin dari ancaman pidana penjara yang masih cukup tinggi dan dikedepankan dalam RKUHP. Dia menyebutkan, dalam RKUHP memang terdapat beberapa jenis pemidanaan baru, seperti pidana kerja sosial. “Namun ternyata tidak berbanding lurus dengan paradigma pemenjaraan yang masih kental dalam Rancangan KUHP,” kata Miko.
Dengan catatan-catatan tersebut, menurut dia, PSHK mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pengesahan RKUHP.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai RKUHP ini meguatkan posisi negara dalam berhadapan dengan individu. ICJR menunjuk sejumlah pasal yang mengindikasikan hal itu, seperti, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden serta pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
Pasal lain yang kontroversial adalah peluasan pengertian zina. Itu, misalnya, tercantum pada pasal 483 ayat (1) huruf e. Bunyinya, ”Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun.” Pasal-pasal yang mengatur tentang orientasi seksual itu, “pasal LGBT,” dianggap terlalu berlebihan sekaligus berpotensi meningkatkan kriminalisasi terhadap privasi warga negara.
Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan, Ratna Batara Munti, menyebut pasal-pasal yang mengatur soal homoseksual akan semakin menyudutkan dan menstigmatisasi kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). “Setiap orang harusnya dipidana karena perbuatannya, bukan karena perbedaan kondisinya atau seksualitasnya,” kata Ratna.
Baca Juga : Transportasi Daring Tak Bisa Diatur Lagi Oleh Pemerintah