KOMPAS.com – Anggota Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Evi Laila Kholis menyatakan, putusan hakim praperadilan yang menggugurkan gugatan Setya Novanto, sudah sesuai dengan tujuan hukum, yakni menciptakan kepastian hukum.
Novanto menggugat penetapan tersangka dirinya oleh KPK terkait kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
“Putusan hakim sudah sesuai tujuan daripada hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum dan peradilan hukum,” kata Evi, usai sidang pembacaan putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (14/12/2017).
Sesuai dengan Pasal 82 Ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), yang diperjelas oleh putusan Mahkamah Konstitusi nomor 102/PUU-XIII/2015, Evi menilai gugatan Novanto sudah seharusnya gugur.
“Pasal 82 Ayat 1 huruf d KUHAP dan juga berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan bahwa ketika proses pemeriksaan praperadilan belum selesai, sementara perkara pokok sudah dilimpahkan atau pun dakwaan sudah dibacakan, maka permohonan praperadilan harus dinyatakan gugur oleh hakim,” ujar Evi.
Dia meminta semua pihak menghormati putusan praperadilan dan perkara pokok yang tengah disidang di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Kusno, hakim tunggal praperadilan sebelumnya menyatakan, gugatan praperadilan yang diajukan Novanto terhadap KPK gugur.
“Menetapkan, menyatakan permohoan praperadilan yang diajukan oleh pemohon (Setya Novanto) praperadilan gugur,” kata Kusno.
Salah satu pertimbangannya, praperadilan tersebut gugur setelah persidangan kasus e-KTP telah mulai diperiksa di Pengadilan Tipikor.
Dia merujuk Pasal 82 Ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) menyatakan bahwa “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”.
Hal tersebut telah diperjelas pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 102/PUU-XIII/2015.
“Jadi demikian penetapan sudah saya bacakan pada hakikatnya hukum positif sudah jelas, permohonan praperadilan dinyatakan gugur dan terhadap praperadilan ini sudah tidak memungkin lagi diajukan upaya hukum,” ujar Kusno.
Jaksa KPK sebelumnya sudah membacakan dakwaan terhadap Novanto setelah terjadi drama pada awal sidang.
Mantan Ketua Fraksi Golkar itu didakwa menyalahgunakan kewenangan selaku anggota DPR dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik.
Perbuatan Novanto itu menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun, dari total nilai proyek Rp 5,9 triliun tersebut.
Menurut jaksa, Novanto secara langsung atau tidak langsung mengintervensi proses penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP tahun 2011-2013.
Penyalahgunaan kewenangan itu dilakukan Ketua DPR nonaktif itu untuk menguntungkan diri sendiri, serta memperkaya orang lain dan korporasi.
Novanto didakwa telah memperkaya diri sendiri sebanyak 7,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 71 miliar (kurs tahun 2010) dari proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Uang 7,3 juta dollar AS tersebut berasal dari perusahaan anggota konsorsium yang sengaja dimenangkan dalam lelang proyek e-KTP.
Selain itu, Novanto juga diperkaya dengan mendapat jam tangan merek Richard Mille seri RM 011 seharga 135.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,3 miliar (kurs 2010).
Novanto didakwa melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1.
Baca Juga : Dugaan Pelicin Yang Diterima Setnov Dari Proyek E-KTP