Disclaimer : tulisan pendek ini sebagai bahan pembanding atas wacana kepemimpinan presidium.
Agaknya menjelang Kongres IV Kongres Advokat Indonesia (KAI) di Solo, Jawa Tengah nanti wacana kepemimpinan presidium menguat. Kongres yang digelar pada 7 – 8 Juni 2024 akan datang digelar pada dua kali kongres. Pertama, kongres luar biasa dan kedua, kongres IV. Kongres luar biasa hanya sampai pada perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. “UUD” KAI akan mengarah pada perubahan kepempinan presidensial menjadi kepemimpinan presidium. Lalu pada kongres berikutnya akan memilih, bisa jadi langsung menetapkan, kepemimpinan presidium.
Kesan saya dalam pemilihan system kepemimpinan presidium adalah paranoid terhadap perpecahan organisasi advokat yang acap kali terjadi pasca kongres. Dan, biasanya dikarenakan calon presiden yang dipilih berbeda pemikiran, persepsi, afiliasi dan tujuan politik, kepercayaan hingga kemampuan membawa “gerbong” dan berujung pada pembentukan organiasi advokat tandingan. Bagaimana tidak, konsep “win-lose” dimana penyelesaian pada kepemimpinan baru mengakibatkan sekumpulan barisan sakit hati yang siap mendirikan kelompok baru. Alih alih menerapkan managemen konflik, KAI lebih memilih “berdamai” dengan memilih kepemimpinan kolektif koligial alias presidium.
Jika harus memilih kepemimpinan presidium, lantas siapa yang akan memimpin. Apakah ketua presidium dipilih oleh anggota presidium? Atau secara bergantian akan memimpin presidium. Apapun jawabannya, sebanyak jumlah anggota kepemimpinan presidium berarti meningkatnya kebutuhan untuk koordinasi antar anggota presidium. Ini bisa menyebabkan birokrasi tambahan dan menghambat efisiensi operasional. Seiring bergantinya kepemimpinan presidium maka roda organisasi menjadi kurang efektif dibandingkan dengan kepemimpinan tunggal. Visi dan misi organisasi bisa menjadi kurang terfokus dan program kerja yang tidak tuntas karena cepatnya berganti kepempinan.
Di lain pihak, kepempinan kolektif menjadikan pembagian tanggung jawab kepemimpinan yang tidak jelas atau bahkan tumpang tindih. Hal ini yang dapat menyebabkan kebingungan dan mengurangi efisiensi kerja organisasi. Anggota presidium bisa jadi merasa ragu-ragu untuk mengambil inisiatif atau keputusan karena ada kekhawatiran melanggar “yurisdiksi” tanggung jawab anggota lain. Jika demikian proses pengambilan keputusan bisa menjadi lambat karena memerlukan konsensus dari semua anggota presidium. Ini bisa menghambat respons cepat terhadap situasi darurat atau peluang yang muncul tiba-tiba.
Kepemimpinan presidium diklaim sebagai kepemimpinan yang setara. Tapi sebentar dulu, anggota atau pemimpin presidium bisa jadi akan lebih dominan atau berpengaruh daripada yang lainnya sehingga dapat mengambil alih keputusan dan mengurangi manfaat dari kepemimpinan kolektif. Puncaknya, intrik internal dan potensi konflik internal meningkat karena setiap anggota presidium mungkin memiliki pandangan, kepentingan, dan gaya kepemimpinan yang berbeda. Jika tidak dikelola dengan baik, konflik ini bisa mengganggu jalannya organisasi.
Singkatnya, “SAYA DUKUNG KEPEMIMPINAN PRESIDENSIAL”
DUM – Adv. Ebin Marwi, SHI., MH.