Pada hari Senin 3 Oktober 2022 Universitas Pakuan (UNPAK), Kota Bogor, Jawa Barat mengadakan Seminar Nasional bertajuk “Menggugat Independensi Peradilan di Era Demokrasi” dimoderasi oleh Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Raden Muhammad Mihradi SH MH.
Hadir langsung sebagai narasumber dalam seminar Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Gayus Lumbuun, Dekan Fakultas Hukum Unpak, Dr Asmak Ul Hosnah SH MH, Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) Dr Tjotjoe Sandjaja Hernanto, yang dihadiri pula secara virtual oleh Komisioner Komisi Yudisial, Sukma Violetta SH LL M.
Sayang sekali perwakilan dari Komisi III DPR-RI Arteria Dahlan tidak dapat memenuhi undangan sebagai narasumber yang dibutuhkan sebagai komparasi dari sudut pandang legislator.
Tidak Boleh Ada Bargain Dan Intervensi
Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. M. Hatta Ali, SH, MH pada tahun 2016 pernah mengatakan, kekuasaan kehakiman baru benar-benar merdeka terbebas dari intervensi cabang kekuasaan negara lainnya sejak UU Nomor 4 Tahun 2004, namun baru sebatas mendasarkan pada TAP MPR X/MPR/1998 dan UU No 35 Tahun 1999 yang mensyaratkan urusan organisasi, finansial, dan administratif dari pengadilan harus berada di bawah Mahkamah Agung.
Dengan demikian Mahkamah Agung dapat mengetahui kualitas para hakim melalui pemeriksaan putusan dalam tingkat kasasi, yang menurutnya informasi tersebut dapat digunakan untuk kepentingan promosi dan mutasi.
Pendapat yang serupa disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam Kajian Bedah Buku Independensi Lembaga Kekuasaan Kehakiman dalam Penegakan Hukum dan Keadilan karyanya pada 2021.
Demokrasi dan negara yang berdasarkan atas hukum merupakan prasyarat bagi kekuasaan kehakiman yang merdeka, ada hubungan timbal balik antara kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan demokrasi dan negara hukum, ibarat dua sisi dari mata uang, tegasnya.
Secara kelembagaan, kekuasaan kehakiman harus mandiri dan dilepaskan dari segala intervensi dan pengaruh kekuasaan negara lainnya. Dalam kerangka itu, hakim sebagai pelaksana tidak boleh menundukkan diri pada visi dan kepentingan politik tertentu. Secara politik, kekuasaan kehakiman harus dipisahkan secara tegas dari cabang kekuasaan negara yang lain agar ada keseimbangan (check and balance) dalam sistem politik.
Prinsip Kehakiman Dan Sistem Politik
Bahasan independensi kekuasaan kehakiman menghasilkan berbagai piagam, deklarasi, maupun prinsip-prinsip tentang kekuasaan kehakiman yang independen.
Diantaranya, Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia, Siracuse Principles (1981), New Delhi Standards (1982), UN Basics Principles of the independence of Judiciary dan Bangalore Principles of Judicial Conduct.
Intervensi dapat pula bersumber dari keadaan hakim itu sendiri dan internal organisasi kekuasaan kehakiman yang dapat menggoyahkan independensi yang salah satunya adalah karena rendahnya integritas moral.
Namun, harus diakui pemisahan (separation of powers) secara mutlak dan murni sulit dipraktekkan, sehingga ajaran tersebut dalam implementasinya sebagai pembagian kekuasaan (distribution of powers), hanya fungsi pokoknyalah yang dipisahkan, sedangkan untuk selebihnya ketiga cabang kekuasaan saling bekerjasama.
Sehingga dalam tradisi hukum hakim lebih banyak berperan dalam kegiatan menerapkan hukum sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan oleh legislatif dan eksekutif.
Pada dasarnya kebebasan atau independensi hakim bertujuan untuk mewujudkan putusan yang objektif yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu baik kepentingan ekonomi, politik. golongan dan lain sebagainya, ini disinggung oleh Presiden Kongres Advokat Indonesia Dr. Tjotjoe Sandjaja Hernanto, perilaku ini disebut sebagai judicializations of politics yang merugikan idealisme negara hukum sebagaimana diungkap juga oleh Dr. Asmak yang mengutip Konstitusi.
Keresahan Hukum Dalam Pembagian Kekuasaan
Faktanya, mungkin selama ini tidak kita sadari adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Bambang Wuryanto selaku Ketua Komisi III DPR-RI mengenai Hakim Aswanto yang diberhentikan sebab dikatakan sebagai wakil dari DPR karena ditunjuk oleh DPR namun telah menganulir produk DPR.
Parameter independensi peradilan secara sederhana terdiri dari 2 hal, yaitu pertama internal tentang bagaimana penerapan dan penemuan hukum, dan kedua keluar tentang akuntabilitas, sebagaimana disampaikan oleh ibu Sukma dari KY, dari hakim secara personal.
Peradilan adalah tulang punggung dari penalaran dan penerapan hukum yang berdasarkan tradisi hukum dapat berbeda antara satu dengan yang lain, seringkali hanya sebatas pada common atau civil law saja.
Bentuk, ideologi negara dan pemahaman akan politik hukum dan karakter masyarakat dalam peradilan inilah yang mestinya didahulukan sebagai alas penafsiran atas bagaimana sesuatu norma harusnya diterapkan, bukan sekedar common atau civil law.
Independensi Adalah Pemisahan Utuh
Prof. Gayus mengatakan bahwa sebenarnya sudah dibahas ide Badan Eksaminasi Nasional demi keadilan dan HAM yang kredibel, dan hal ini juga disampaikan oleh Presiden KAI dalam Konferda tahun 2019 di Klaten, Jawa Tengah.
Pendapat lainnya, menurut Presiden KAI saat ini sudah waktunya dibentuk aturan bagi penegak hukum dengan metode Omnibus Law Penegak Hukum, dengan pengawas seperti inspektorat yang dipimpin langsung oleh Presiden.
Keduanya, Prof Gayus dan Dr. Tjoetjoe sama berkesimpulan bahwa pembenahan hatusnya dimulai dari lembaga pemutus perkara, yaitu Kehakiman. Yang mana menurut mereka hukum identik dengan peradilan. Sehingga, untuk melakukan reformasi hukum perlu upaya menjunjung tinggi keadilan yang adil di pengadilan.
Senada, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Dr Asmak dan Ibu Sukma dari Komisi Yudisial untuk mendorong agar seleksi hakim dilakukan dengan sangat ketat. Sehingga, melahirkan hakim-hakim yang kompeten dan berintegritas.
Kita tentunya harus membaca situasi di Tunisia, Dewan Peradilan menyatakan tentang independensi otoritas kehakiman dan perlunya meninggalkan semua perselisihan politik, bahwa “Hakim adalah simbol independen dan tidak ada yang memiliki wewenang atas mereka kecuali hukum,” demikian pernyataan mereka pada 28 Juli 2021.
Namun, pada hari Minggu, 6 Februari 2022, Presiden Tunisia Kais Saied membubarkan Dewan Tertinggi Yudisial dan tidak akan membiarkan hakim bertindak sebagai negara bukan salah satu fungsi negara, bahkan ia menyebut dewan yudisial bagian dari masa lalu, bahkan membubarkan pemerintah dan membekukan parlemen pada bulan Juli lalu, sehingga disebut sebagai kudeta oleh oposisi.
Inkonsistensi Tak Hanya Di Yudikatif
Presiden KAI, Dr. Tjoetjoe mengutip Menko Polhukam, Mahfud MD yang mengatakan, kerap kali MA membebaskan para koruptor yang sudah dijerat atau memberikan korting hukuman secara besar-besaran, namun imbuhnya pemerintah tidak bisa masuk ke MA karena beda kamar, eksekutif dengan yudikatif.
Pemerintah tidak boleh ikut masuk ke urusan hukum kalau urusan hukuman dan membebaskan. Mahfud menjelaskan putusan hakim atas kasus korupsi maupun kasus lainnya merupakan proses ketatanegaraan yang harus dihormati.
Padahal dilain pihak, sebenarnya Pemerintah sendiri lewat Kementerian Hukum dan HAM beberapa kali memangkas vonis narapidana kasus korupsi lewat remisi.
Presiden KAI mengkritisi bahwa dengan pendapat tersebut berarti menganggap bahwa Hakim atau pengadilan hanyalah tempat untuk menghukum saja, padahal mestinya mengadili dengan baik sehingga proporsional.
Prof. Gayus dalam seminar ini memberi stimulan bahwa selama ini tidak ada lawyer yang berani dimuka sidang mengatakan bahwa kliennya pantas untuk dihukum karena itu akan merugikan lawyer sendiri yang harusnya membela dan bisa tidak laku karena klien memberikan kuasa untuk dibela, quad non, faktanya ada Advokat yang melakukan itu, membedakan antara pledooi dengan klemensi, mungkin memang ini terlepas dari terbatasnya informasi kepada beliau.
Akhirnya, mengutip uraian Prof. Gayus Lumbuun tentang Bangalore Principles tahun 2001 yang menurut penulis sebenarnya masih menjadi kelemahan karena hanya menekankan pada aspek internal saja sebagai prinsip etika peradilan sebagaimana dikatakan oleh Dr. Hatta Ali.
Penulis lebih cenderung pada Siracuse Principles tahun 1981 yang mana secara eksplisit menyebut suatu peradilan “independen dari pengaruh eksekutif dan legislatif” yang mempunyai yurisdiksi terhadap semua hal yang berkaitan dengan hal-hal di bidang peradilan.
Menurut penulis, dibutuhkan suatu produk hukum yang didalamnya berisi rumusan untuk merelatifisir dampak dari hal-hal diluar fungsi pokok yang rentang intervensi politik sehingga benar-benar mendekati independensi yang ideal sebagai penguatan bidang yudikatif, bukan hanya sekedar etika ataupun dibatasi hanya sanksi mutasi.
UU bisa jadi disebut sebagai produk dari kesepakatan politik akan tetapi kepentingan hukum mempunyai produk yaitu putusan, sehingga Yudikatif dapat keluar dari penafsiran baku dari suatu norma peraturan perundang-undangan dan menafsirkan, mempertimbangkan hingga memutuskan sendiri suatu problem hukum ketika dirasakan bahwa norma yang dirumuskan sebagai politik hukum tidak dapat diterapkan pada suatu msyarakat atau peristiwa hukum tertentu. *Adv. Agung Pramono SH, CIL