Penegakan hukum di Indonesia menghadapi banyak tantangan dan masih diperlukan pembenahan. Aparat penegak hukum menjadi bagian penting dalam sistem penegakan hukum. Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), Tjoetjoe S Hernanto, mengatakan kredibilitas penegak hukum memiliki peran strategis dalam menentukan kualitas penegakan hukum di Indonesia.
“Kinerja para penegak hukum seringkali dianggap kurang memuaskan seiring dengan semakin banyaknya keluhan dari masyarakat atau dari sesama penegak hukum,” kata Tjoetjoe dalam webinar bertema “Rekonstruksi Penegakan Hukum di Indonesia (Gagasan Pembaharuan UU Advokat)”, Selasa (20/09/2022).
Tjoetjoe melihat selama ini masyarakat umum menganggap aparat penegak hukum itu hanya polisi, jaksa, hakim. Padahal setidaknya ada 5 aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa, hakim, advokat, dan penyidik PNS. Oleh karena itu pembenahan terhadap sistem penegakan hukum harus dilakukan secara menyeluruh.
Selain itu, ada berbagai tantangan yang dihadapi dalam penegakan hukum. Misalnya, tersandera kepentingan politik, sehingga penegakan hukum seolah tak berdaya ketika berhadapan dengan kekuatan politik tertentu. Kemudian transaksional dan dikendalikan oleh kekuatan uang. Lalu, lemahnya kualitas, kemampuan, dan kompetensi penegak hukum. Rendahnya etika dan moralitas penegak hukum, serta manajemen institusi penegak hukum yang buruk dan belum modern.
Untuk membenahi sistem penegakan hukum itu, Tjoetjoe mengusulkan perlu perbaikan menyeluruh terkait personil dan sistem penegak hukum. Perbaikan yang perlu dilakukan antara lain menyasar perangkat hukum, seperti KUHP, KUHAP, KUH Perdata, dan lainnya. UU yang berkaitan dengan penegak hukum juga perlu dibenahi seperti UU Polri, UU Kejaksaan, UU Kekuasaan Kehakiman, UU advokat, dan lainnya.
Tjoetjoe juga mengusulkan pembenahan terhadap kode etik penegak hukum. Perlu disusun standar kode etik yang senada antar penegak hukum. Kemudian lembaga pengawasan dengan membentuk lembaga pengawasan penegak hukum dengan memberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya. Terakhir, asesmen penegak hukum yakni sistem rekrutmen, asesmen, dan evaluasi yang dilakukan secara berkala.
Khusus untuk profesi penegak hukum, Tjoetjoe mengusulkan agar dibentuk UU Omnibus Law tentang Penegak Hukum. Upaya itu bisa dilakukan dengan menyatukan berbagai UU terkait penegak hukum yang diharapkan dapat memberi kewenangan yang berimbang antar penegak hukum agar tidak ada lagi lembaga penegak hukum yang merasa lebih tinggi ketimbang lembaga penegak hukum lainnya.
“UU Penegak Hukum harus dibenahi dan itu harusnya dalam satu aturan saja atau metode Omnibus Law,” usulnya.
Tjoetjoe berpendapat tidak cukup jika yang direvisi hanya UU Advokat saja karena diyakini hal itu tidak akan membawa perubahan terhadap sistem hukum secara signifikan. Semua UU yang berkaitan dengan penegak hukum harus dibenahi dan dijadikan satu sistem melalui penyusunan UU Omnibus Law tentang Penegak Hukum.
“Ini kesempatan Presiden Joko Widodo jelang masa jabatannya beberapa tahun lagi untuk meninggalkan warisan terbaik untuk bangsa yakni membentuk Omnibus Law Penegak Hukum,” harapnya.
Seharusnya sejajar
Dalam kesempatan yang sama, Advokat senior sekaligus pendiri Kantor Hukum SSA, Suhardi Somomoeljono mengatakana ada 4 pilar penegak hukum di Indonesia yakni polisi, jaksa, hakim, dan advokat. Semua penegak hukum itu posisinya setara. Namun, praktiknya ada lembaga penegak hukum yang merasa lebih tinggi dari lembaga penegak hukum lainnya. Status advokat sebagai penegak hukum belum berjalan sesuai harapan. Misalnya, advokat tidak boleh mendampingi saksi di KPK. Hal ini terjadi karena advokat belum memiliki peran di tingkat hulu dalam sistem penegakan hukum.
“Implementasi UU Advokat ini ‘setengah hati’,” ujarnya.
Oleh karena itu Suhardi menekankan semua penegak hukum posisinya harus sejajar, tapi pada praktiknya tidak. “Peran advokat seolah tidak masuk dalam criminal justice system,” tegasnya.
Dalam rangka ikut serta mengimbangi percepatan pembangunan dalam segala bidang yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga legislatif khususnya pasca diundangkannya UU Cipta Kerja sebagai bentuk hukum progresif yang dianut kebijakan legislasi nasional, Suhardi mengusulkan UU Advokat tidak perlu diganti atau direvisi. Menurutnya, yang sekarang terjadi saat ini bukan kesalahan pada substansi UU Advokat, tapi tafsir atas pelaksanaan UU Advokat.
“Dalam mengatasi keadaan tersebut DPR RI melalui Komisi Hukum dapat menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pihak-pihak terkait yang dipandang memiliki kepentingan bersama dalam melaksanakan criminal justice system,” harapnya.
Webinar ini diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Program Doktor Hukum Universitas Borobudur. HUKUMONLINE