Pada hari Rabu tanggal 13 September 2022 lalu penulis tertarik untuk mengikuti Diskusi Publik dengan tema PROBLEMATIKA DALAM PENEGAKAN KODE ETIK ADVOKAT DITENGAH KONDISI ORGANISASI ADVOKAT SAAT INI, di hotel bidakara Pancoran, Jakarta.
Sebenarnya bukan soal temanya akan tetapi acara tersebut diadakan oleh DPC PERADI JAKARTA SELATAN yang dihadiri langsung oleh Ketua Umum Peradi yaitu Prof. Dr. OTTO HASIBUAN, S.H, M.C.L., M.M., dengan mengundang pembicara dari Organisasi Advokat lainnya yaitu Kongres Advokat Indonesia yang dihadiri oleh Vice President KAI yaitu Dr. TM LUTHFI YAZID, S.H., LL.M., CIL., CLI. karena Presiden sedang berhalangan.
Dihadiri juga oleh H. ARSUL SANI, S.H.,M.Si. selaku Wakil Ketua MPR- RI dan anggota DPR-RI komisi III, dan mba FRISTIAN GRIEC sebagai moderator. Sayangnya, perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM tidak dapat hadir.
Inti dari diskusi publik tersebut sebenarnya adalah tentang bagaimana cara yang efektif untuk penerapan kode etik advokat yang sesuai dengan tugas dan fungsinya agar mampu terbentuk dan dipahami oleh setiap generasi advokat ditengah problematika kondisi organisasi advokat yang terjadi saat ini.
Penegakan kode etik advokat merupakan salah satu upaya menjaga Marwah advokat sebagai profesi yang mulia, untuk itu penegakan kode etik advokat memerlukan aturan sesuai dengan undang undang dan hukum yang berlaku di Indonesia.
Menurut bang Otto sebagai pembicara pembuka, fakta bahwa banyak terjadi Advokat berpindah-pindah organisasi, sementara sudah mendapatkan sanksi etik oleh OA yang lain, inilah dasar Peradi berpikir tentang urgensi single-bar, yang didasarkan pada kepentingan masyarakat pencari keadilan, diluar itu cenderung karena kepentingan pribadi.
Nobile berarti primus inter pares, menjadi the best amongst the best agar tercapai orientasi demi masyarakat pencari keadilan sehingga harus ada standar yang memastikan Advokat itu mempunyai nilai profesional.
Dalam satu organisasi Advokat harus ada Dewan Kehormatan yang menegakkan kode etik, akan tetapi keberadaan Dewan Kehormatan Bersama pun akan memiliki masalah yang sama, yaitu dalam pemilihan Ketua yang tentu akan menimbulkan friksi dan perpecahan, sama saja. Demikian penulis kutip secara bebas namun tanpa mengurangi maknanya.
Dalam paparanya sebagai pembicara kedua, penulis hanya akan mengutip sebagian kecil dari uraian pak Luthfi Yazid, namun menurut penulis merupakan hal yang sangat penting, bernilai ideal dan filosofis yaitu, “mari kita lihat kedepan, meski sejarah dibelakang itu bisa jadi cermin”.
Menurut VP Luthfi, bukan masalah single ataupun multi-bar melainkan harus ada otorita yang khusus untuk mengatasi permasalahan kode etik yaitu dengan dibentuknya Dewan Kode Etik Advokat Indonesia, sementara yang lain mnyebut sebagai Dewan Kehormatan Bersama, sebagai sebuah entitas single regulator.
Pada kesempatan selanjutnya, pak Arsul Sani dengan baik menempatkan diri sebagai perwakilan dari Komisi III DPR-RI yang sedang kelanjutan RUU Advokat, sebagai legislator.
Beliau menguraikan bahwa dalam desain kelembagaan modern dipersyaratkan suatu pemisahan yang jelas antara regulator dengan eksekutor. Sehingga, memang perlu adanya Dewan Kehormatan yang dibedakan dari pembuat kebijakan.
Pernyataan pak Arsul, meski beliau notabenenya adalah anggota Peradi namun berbeda dengan bang Otto yang sementara ini berbicara tentang keharusan adanya regulasi sebagai payung eksekutor dari OA namun belum berbicara mengenai badan etiknya.
Ada kesamaan dengan paparan VP Luthfi bahwa memang perlu peran pemerintah untuk membuat suatu aturan tentang hal tersebut, pemerintah yang duduk dengan perwakilan Advokat untuk membentuknya.
Pak Arsul secara strict menyampaikan perbedaan pandangannya dengan bang Otto, intinya, antara regulator dengan eksekutor tidak bisa dan jangan sampai dipegang dalam 1 tangan saja karena ini akan menjadi tidak baik dan beliau mencontokan seperti halnya Pertamina.
Bahkan, sebagai kabar gembira beliau menyatakan bahwa jika revisi UU Advokat masih belum bisa maka menurut Komisi III perlu penguatan Advokat didalam KUHAP. Menurut penulis, RKUHAP adalah tugas berikutnya dari kita para Advokat setelah Presiden, DPR-RI dan kementerian yang berkaitan dengan Hukum telah membuka diri pada Organisasi-Organisasi Advokat bahkan Advokat secara individu untuk mengkritisi, membuat, membaca ulang dan mereformulasi norma-norma yang sedang dibahas di Komisi III DPR-RI.
Animo anggota Peradi lebih cenderung pada turut atasan – tampak dari pernyataan pak Arsul Sani yang bilang bahwa bila beliau sebagai anggota pasti ikut bang Otto, tapi posisi beliau sebagai legislator yang tidak boleh berpihak dan harus menemukan jalan tengah.
Sejak awal, bang Otto tampak bersemangat dengan langsung berbicara tentang urgensi single-bar oleh Peradi. Namun, tampak sekali dapat diredam dengan logika ilmiah, data dan fakta yang disampaikan oleh VP Luthfi yang mampu imbangi bahkan terdukung oleh pak Arsul dan mba Fristian di 1/3 (sepertiga) bagian akhir diskusi.
Penulis merasa bahwa secara kontekstual mestinya diskusi ini bisa disimpulkan dengan baik sekali, seperti memunculkan nuansa pendapat dari beberapa tokoh yaitu K.C. Wheare yang berbicar tentang konstitusi modern, Ran Hirschll yang berbicara mengenai politik yudisial, Hans Kelsen yang berbicara bahwa Advokat harus menciptakan hukum dan menerapkannya ketiganya dielaborasi dengan elegan oleh Presiden KAI dan VP Luthfi dengan konsepsi single regulator, rasio bang Otto, bang Luhut MP dan pak Maqdir dengan Dewan Kehormatan dan pak Arsul dan Komisi III dengan kelembagaan modern – dalam hati penulis berdecak kagum.
Hal yang penulis sayangkan adalah bang Otto tidak dapat menyelesaikan sesi diskusi publik secara utuh karena beliau ada agenda lain, diikuti dengan pak Arsul yang memang masih harus melakukan sosialisasi di beberapa tempat lain, dan hanya VP Luthfi sebagai tamu yang dapat mengikuti hingga acara berakhir.
PROBLEM ETIK ADVOKAT
Menurut penulis, Problem etik akan selalu menjadi diskursus yang tidak berujung, etika dilanggar oleh oknum, bukan dari 1 atau 2 organisasi Advokat saja, hampir merata. Akan tetapi adalah keliru jika permasalahan etik ini dikonstruksikan dengan alas penyebabnya adalag mengenai single atau multi bar, karena etik adalah perkara watak, karakter individual yang harus ditundukkan, bukan dengan jumlah bar atau aturan melainkan pendidikan dan pembiasaan.
Berkaitan dengan tema problem kode etik ini pada dasarnya berkaitan erat dengan watak dan karakter individu secara umum, Prof, seringkali (tidak semua) yang bermasalah dengan kode etik adalah mereka yang belum berhasil berdamai dengan wataknya untuk menjadi officium nobilium.
Pengacara atau Pokrol Bambu Apus berasal dari Procureur, dengan lafal Indonesia istilahnya mengalami perubahan menjadi pokrol, sebutan lainnya adalah zaakwaarnemer sebagai antek tuan tanah jaman dulu yang menurut hukum dapat memenuhi hukum acara.
Watak kaku dan tidak ada cara lain selain konfrontatif dan frontal cenderung identik dengan karakter kerja pokrol-lah yang melahirkan asosiasi dan stigma bahwa Advokat itu adalah pengacara dan pengacara adalah ‘pembela’, disebut penasehat hukum yang pinter-busuk (advocaat in kwade zaken).
Mata rantai disparitas karakter beracara antar dua cata pandang berhukum (tradisional dan kolonial) adalah pokrol bambu/pengacara (zaakwaarnemer) di desa-desa dan ahli hukum professional (advokat en procureurs) yang lahir di kota-kota besar, tepatnya pada pelayanan administrasi kolonial, di pengadilan-pengadilan pemerintah, dan disekolah-sekolah hukum. [Binziad Kadafi, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, (Jakarta: Pusat Studi Hukum, 2002), cet. 3, h. 39]
Artinya, (tanpa maksud untuk berpolemik) seringkali mentaliti yang masih terbawa karakter dan identitas tradisilah yang membuat kita gagal untuk bertindak sebagai officium nobile, dari masalah kepribadian dan pemahaman yang minim atas imunitas kemudian bergesekan dengan etik, sebab officium nobilium (pekerja terhormat) bukanlah sekedar adagium kata-kata manis melainkan juga inti daripada etik dan karakter yang berlaku universal.
Oleh karena itu bukan sekedar diatur tapi juga bagaimana sejak pendidikan khususnya diberikan kepahaman tentang karakter officium nobile yang harus merelatifisir watak pribadi sehingga terhindar dari problem kode etik.
*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.