Alasan Penghapus Pidana dan Korban Tindak Pidana yang Membela Diri
Beberapa waktu ini, setidaknya sejak awal 2022 kita dikagetkan dengan beberapa peristiwa penetapan tersangka seorang korban begal yang membunuh pelaku begal.
Hal ini tentu menimbulkan polemik di masyarakat, apakah boleh melakukan pembelaan diri terhadap tindak pidana yang ditujukan pada seseorang. Dampaknya, timbul opini bahwa korban tindak pidana hanya bisa pasrah menghadapi suatu tindak pidana yang ditujukan kepadanya.
Dilansir BBC News Indonesia, Peristiwa penetapan tersangka korban begal yang membunuh begalnya itu terjadi pada seseorang berinisial A.S. di Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan atas peristiwa tersebut, saat ini makin ramai tuntutan dari masyarakat agar kepolisian membuat pedoman batasan pembelaan diri yang dibenarkan menurut hukum.
Selain kasus A.S., korban begal yang menjadi tersangka karena membunuh begalnya juga terjadi kepada beberapa orang lain sebagaimana dilansir Tempo.co di antaranya R.D.S. di Pekanbaru, Riau; D.I. di Medan, Sumatera Utara; dan Z.A. di Malang, Jawa Timur. Dengan demikian sesungguhnya sangat penting membedakan mana perbuatan yang dapat dipidana dalam konteks percampuran peristiwa pidana seperti pembegalan dan pembunuhan begal di atas, yakni membedakan antara yang dikenal dengan pembelaan diri (noodweer) dengan main hakim sendiri (eigenrichting.
Peristiwa pidana (strafbaar feit) menurut Simons adalah “tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja atau pun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.”
Dalam hukum pidana, sebenarnya dikenal pertanggungjawaban pidana yang berdasarkan pada kesalahan pelaku, yang kemudian dituangkan dalam asas geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan).
Sehingga untuk dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, seseorang harus terbukti memiliki kesalahan atas perbuatan pidana yang dituduhkan kepadanya. Asas ini kemudian dipositivisasi dalam hukum Indonesia melalui Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman :
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
Hal ini juga sebelumnya telah ditegaskan melalui Pasal 14 angka 2 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi dan disahkan oleh Indonesia ke dalam hukum nasional melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Namun, menurut ilmu hukum pidana pula, tidak semua peristiwa pidana (strafbaar feit) dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Ada suatu doktrin yang dikenal dengan alasan-alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden) atau alasan-alasan penghapus kesalahan (schulduitsluitingsgronden), yang mana apabila terdapat salah satu alasan penghapus pidana dalam suatu peristiwa pidana maka pelakunya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Dalam hukum positif Indonesia, alasan atau dasar penghapus pidana ini diatur dalam Pasal 44 sampai 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang terdiri dari dasar pemaaf dan dasar pembenar. Kedua alasan penghapus pidana dalam KUHP ini sangat erat kaitannya dengan asas geen straf zonder schuld di atas.
Pada pokoknya alasan pemaaf adalah alasan yang dapat membuat kesalahan seseorang dimaafkan, sehingga tidak menghapuskan unsur kesalahannya, tetapi hanya dimaafkan saja. Sedangkan unsur pembenar adalah bahwa unsur melawan hukum dari suatu perbuatan pidana dianggap tidak ada sehingga kesalahannya pun dianggap tidak ada, dan dapat dikatakan dianggap tidak terjadi perbuatan pidana sama sekali.
Berdasarkan pembahasan, jelas bahwa tidak semua perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain dapat dijatuhi hukuman pidana, karena tidak ada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 14 angka 2 ICCPR. Unsur kesalahan ini dapat hapus karena dua hal, yakni karena alasan pemaaf dan alasan pembenar. Salah satu bentuk alasan pembenar adalah noodweer atau bela paksa.
Sehingga jika seseorang melakukan pembelaan diri ketika ia menjadi korban tindak pidana, maka ia tidak dapat dipidana karenanya. Dalam konteks korban begal yang membunuh pelaku begal misalnya, sang korban tidak dapat dijatuhi pidana jika ia memang benar melakukan pembelaan paksa sesuai ketentuan Pasal 49 KUHP.
Fokus pembahasan pada kali ini adalah mengenai salah satu bentuk alasan pemaaf dalam peristiwa pidana yakni pembelaan diri terpaksa (noodweer) yang diatur dalam Pasal 49 KUHP, agar dapat membantu dikotomi antara pembelaan diri dengan main hakim sendiri.
Pembelaan Diri Terpaksa Menurut KUHP
Dalam ilmu hukum tata negara dikenal suatu adagium “Hukum Luar Biasa diterapkan pada Keadaan Luar Biasa” (Abnormale Recht voor Abnormale Tijd). Sesungguhnya adagium ini berlaku dalam ilmu hukum secara umum, sehingga dikenal pula dalam hukum pidana mengenai dasar-dasar penghapus pidana sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, seseorang tidak dapat dilekatkan pertanggungjawaban pidana karena dibenarkan (dasar pembenar) oleh hukum. Ada pun dasar pembenar yang dikenal dalam KUHP adalah:
- Berada dalam keadaan memaksa (overmacht) yakni keselamatannya terancam jika ia tidak melakukan suatu tindak pidana, baik ancaman dari orang lain mau pun ancaman dari keadaan (noodtoestand). Hal ini diatur dalam Pasal 48 KUHP; dan
- Berada dalam keadaan bela paksa (noodweer termasuk yang melampaui batas / excess), dalam arti ia sedang membela dirinya, atau membela orang lain, atau harta benda. Hal ini diatur dalam Pasal 49 KUHP;
- Karena perintah undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 50 KUHP;
- Karena Perintah jabatan yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 51 KUHP.
Pada bagian ini hanya akan dibahas mengenai ketentuan bela paksa Pasal 49 KUHP saja.
Sebenarnya di dalam KUHP tidak dikenal istilah pembelaan diri. Dalam KUHP pun tidak dikenal istilah padanannya, melainkan hanya “perbuatan yang terpaksa dilakukan”.
Istilah yang mendekati bela diri adalah Noodweer, Memorie van Toelichting (M.v.t) atau memori penjelasan dari KUHP. Istilah Noodweer ini diterjemahkan menjadi Bela Paksa (nood berarti terpaksa atau darurat, dan weer artinya pembelaan) yang pengaturan normatifnya dapat ditemukan dalam Pasal 49 KUHP. Bela Paksa ini terdiri dari Bela Paksa biasa dan Bela Paksa Berlebihan (Noodweer Excess, vide Pasal 49 ayat (2) KUHP).
Maksud dari Bela Paksa berlebihan adalah adanya pembelaan diri yang bersifat melampaui batas sehingga tidak bersifat seimbang antara serangan dan pembelaan diri yang dilakukan (syarat subsidiaritas) , dengan syarat adanya kegoncangan jiwa atas serangan yang terjadi:
Pasal 49
(1) “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”
(2) “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”
Menurut memori penjelasan dari Pasal 49 ayat (1) KUHP syarat suatu perbuatan dianggap sebagai pembelaan diri terpaksa (noodweer) adalah:
- “Adanya serangan (dari pihak lawan) yang bersifat melawan hukum;”
- “Adanya bahaya yang bersifat langsung bagi tubuh, kehormatan atau benda, milik diri sendiri atau milik orang lain”;
- “Adanya keperluan untuk melakukan perbuatan (bela diri) yang bersangkutan.”
Syarat ini bersifat kumulatif dalam arti jika salah satu dari ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi maka suatu perbuatan tidak bisa dikategorikan sebagai pembelaan diri terpaksa (noodweer) dan perbuatan tersebut dapat dipidana. Lamintang bahkan merinci kembali syarat-syarat di atas sebagai berikut:
- “Harus ada serangan (aanranding), tetapi tidak semua serangan dapat dilakukan pembelaan diri, melainkan hanya terhadap serangan yang memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:”
a) “Serangan itu harus datang mengancam dengan tiba-tiba (ogenblikkelijk of on mid delijk dreigen)”;
b) “Serangan itu harus bersifat melawan hukum (wederrechtelijk aanranding)”.
- “Terhadap serangan itu perlu dilakukan pembelaan diri, tetapi tidak setiap pembelaan diri dapat merupakan noodweer, melainkan pembelaan diri tersebut harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut”:
a) “Pembelaan itu harus merupakan keharusan (de verdediging moet geboden zijkn)”;
b) “Pembelaan itu harus merupakan pembelaan terpaksa (noodzakelijk verdidiging)”; atau
c) “Pembelaan itu harus merupakan pembelaan terhadap sendiri atau diri orang lain, kehormatan dan benda.”
Dengan demikian sesungguhnya sudah jelas syarat-syarat kapan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai tindak pidana dapat dibenarkan menurut undang-undang dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, terutama dalam kondisi bela diri (bela paksa). Kemungkinan jika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi adalah perbuatan yang dilakukan bermaksud murni untuk melakukan kejahatan, atau justru untuk membalas dendam alias main hakim sendiri (eigenrichting).
Perbedaan Bela Diri Terpaksa (Noodweer) dengan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting)
Sebagaimana telah diulas pada bagian sebelumnya maka jelas kapan perbuatan dapat dikategorikan sebagai bela paksa / bela diri. Sehingga jika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi adalah perbuatan yang dilakukan bermaksud murni untuk melakukan kejahatan, atau justru untuk membalas dendam alias main hakim sendiri (eigenrichting). Pada bagian ini akan dibahas perbedaan antara bela paksa dengan main hakim sendiri.
Dalam hukum positif Indonesia sebenarnya tidak dikenal istilah main hakim sendiri (eigenrichting). Istilah eigenrichting dalam Bahasa Belanda dapat didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan tanpa hak atau melawan hukum secara sendiri tanpa pengetahuan negara atau alat negara yang berwenang.
Dengan demikian jika dikaitkan dengan norma-norma hukum pidana dalam KUHP mau pun di luar KUHP, cakupan eigenrichting sangatlah luas, karena bentuk main hakim sendiri ini dapat berupa tindak pidana di dalam mau pun di luar KUHP. Misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, penganiayaan dan lain sebagainya yang bertujuan untuk membalas dendam atau “menghakimi” sendiri seorang pelaku tindak pidana atas nama korban (baik diri sendiri mau pun orang lain). Lain halnya jika perbuatan yang dilakukan itu adalah berdasarkan kewenangan yang diberikan undang-undang, misalnya algojo hukuman mati yang memang berdasarkan undang-undang berwenang mengeksekusi hukuman mati bagi terpidana hukuman mati yang sudah dijatuhi putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (Pasal 50 KUHP). Atau karena perintah jabatan misalnya dalam perintah/komando militer pada operasi militer, sepanjang perintahnya patut diduga adalah sah (Pasal 51 KUHP). Yang berhak menentukan hukuman bagi pelaku tindak pidana adalah hakim pidana pada lingkungan peradilan umum, atau peradilan militer jika pidananya adalah pidana militer (vide Pasal 25 ayat (2) dan (4) UU Kekuasaan Kehakiman), bukan warga masyarakat biasa.
Dalam konteks perbandingan antara bela diri terpaksa (noodweer menurut MvT dan Lamintang) dengan main hakim sendiri (eigenrichting) sesuai penjabaran pada bagian sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Dalam noodweer, ada serangan tiba-tiba (dari pihak lawan) yang bersifat melawan hukum. Sedangkan dalam main hakim sendiri, bisa jadi serangannya bersifat tiba-tiba atau tidak. Jika serangan yang terjadi tidak bersifat tiba-tiba maka jelas perbuatan yang dimaksud bukan bela diri melainkan balas dendam alias main hakim sendiri;
Dalam noodweer ada bahaya yang bersifat langsung bagi tubuh, kehormatan atau benda, milik diri sendiri atau milik orang lain, dan membutuhkan pembelaan diri yang bersifat keharusan/terpaksa. Sedangkan dalam eigenrichting juga ada unsur tersebut, tetapi “pembelaan” tersebut sesungguhnya tidak perlu untuk dilakukan, misalnya karena pelaku kejahatan telah menyerahkan diri, atau telah diamankan. Sehingga pembelaan yang dilakukan tidaklah terpaksa dilakukan melainkan hanya sekedar main hakim sendiri.
Kedua hal tersebutlah yang membedakan antara noodweer (bela paksa) dengan eigenrichting (main hakim sendiri).
Dengan demikian, seorang korban tindak pidana yang melakukan pembelaan karena terpaksa tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena perbuatannya dibenarkan oleh undang-undang (Pasal 49 KUHP). Pertanggungjawaban pidana hanya dapat dijatuhkan kepada korban yang melakukan pembelaan apabila korban tersebut terbukti melakukan balas dendam / main hakim sendiri (eigenrichting).
Berdasarkan pembahasan di atas, maka korban tindak pidana dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas pembelaan diri yang dilakukan jika pembelaan tersebut dirasa tidak diperlukan, dan serangan yang ditujukan kepadanya tidak bersifat tiba-tiba. Jika korban tindak pidana melakukan pembelaan yang tidak diperlukan dan serangannya tidak bersifat tiba-tiba maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai main hakim sendiri (eigenrichting) dan dapat dipidana jika memenuhi unsur suatu tindak pidana.
Misalnya korban begal, melakukan pembalasan kepada pelaku begal sehari setelah pembegalan dilakukan, maka hal ini dikategorikan sebagai main hakim sendiri karena perbuatannya tersebut tidak diperlukan. Seharusnya yang dilakukan jika peristiwa pidana sudah berlalu adalah melaporkan kepada pihak kepolisian. Perbuatan pembelaan diri dalam konteks contoh kasus begal diperlukan pada saat peristiwa pidana pembegalan tengah terjadi, dan terjadi perkelahian antara begal dengan korbannya, dan jika pelaku begal terbunuh atau terluka dapat dikategorikan sebagai bela paksa (noodweer) sehingga korban begal tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Contoh yang ekstrem misalnya dalam pembelaan diri terpaksa dengan menggunakan senjata api adalah ketika seseorang (sebut saja A) menodong Pistol kepada B, maka B berhak membela diri dengan balik menodong pistol kepada A. Hal ini dibolehkan karena posisi antara A dan B seimbang yakni sama-sama memegang senjata api. Dalam konteks bela paksa berlebihan (noodweer excess pasal 49 ayat (2) KUHP) bahkan ketika A menodong Pisau kepada C (istri dari B), maka B apabila ia dalam keadaan kejiwaan yang terguncang berhak membela C dengan menodong pistol kepada A. Hal ini dibolehkan karena posisi B berada dalam kondisi kejiwaan yang terguncang untuk membela istrinya (C). Namun dalam konteks penggunaan senjata api bela diri, maka pengguna senjata api wajib melaporkan penggunaan senjata api tersebut kepada pihak kepolisian sesaat setelah digunakan (vide Peraturan Kepala Kepolisian RI (PERKAP) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Standar Polri, Senjata Api Non Organik TNI/Polri, dan Peralatan Keamanan yang Digolongkan Senjata Api.
Simpulan
Berdasarkan pembahasan, jelas bahwa tidak semua perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain dapat dijatuhi hukuman pidana, karena tidak ada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 14 angka 2 ICCPR. Unsur kesalahan ini dapat hapus karena dua hal, yakni karena alasan pemaaf dan alasan pembenar.
Salah satu bentuk alasan pembenar adalah noodweer atau bela paksa. Sehingga jika seseorang melakukan pembelaan diri ketika ia menjadi korban tindak pidana, maka ia tidak dapat dipidana karenanya. Dalam konteks korban begal yang membunuh pelaku begal misalnya, sang korban tidak dapat dijatuhi pidana jika ia memang benar melakukan pembelaan paksa sesuai ketentuan Pasal 49 KUHP.
Menurut memori penjelasan dari Pasal 49 ayat (1) KUHP syarat suatu perbuatan dianggap sebagai pembelaan diri terpaksa (noodweer) adalah: Adanya serangan (dari pihak lawan) yang bersifat melawan hukum; Adanya bahaya yang bersifat langsung bagi tubuh, kehormatan atau benda, milik diri sendiri atau milik orang lain; dan adanya keperluan untuk melakukan perbuatan (bela diri) yang bersangkutan. Dengan demikian jelaslah kapan seseorang yang membela diri dapat dikategorikan melakukan bela paksa dan dilepaskan dari tanggungjawab pidana, atau justru dapat dipidana karenanya.
Korban tindak pidana dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas pembelaan diri yang dilakukan jika pembelaan tersebut dirasa tidak diperlukan, dan serangan yang ditujukan kepadanya tidak bersifat tiba-tiba. Jika korban tindak pidana melakukan pembelaan yang tidak diperlukan dan serangannya tidak bersifat tiba-tiba maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai main hakim sendiri (eigenrichting) dan dapat dipidana jika memenuhi unsur suatu tindak pidana. Misalnya korban begal, melakukan pembalasan kepada pelaku begal sehari setelah pembegalan dilakukan, maka hal ini dikategorikan sebagai main hakim sendiri karena perbuatannya tersebut tidak diperlukan. Seharusnya yang dilakukan jika peristiwa pidana sudah berlalu adalah melaporkan kepada pihak kepolisian. Perbuatan pembelaan diri dalam konteks contoh kasus begal diperlukan pada saat peristiwa pidana pembegalan tengah terjadi, dan terjadi perkelahian antara begal dengan korbannya, dan jika pelaku begal terbunuh atau terluka dapat dikategorikan sebagai bela paksa (noodweer) sehingga korban begal tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Saran
Terkait dengan simpang siur yang terjadi di masyarakat mengenai kapan bela paksa boleh dilakukan, dan kapan tidak boleh dilakukan maka hendaknya pihak Kepolisian Republik Indonesia membuat suatu kebijakan penegakkan hukum terkait hal tersebut.
Sehingga jelas batasan noodweer / bela paksa yang tidak dapat dipidana dengan main hakim sendiri yang dapat dipidana. Kebijakan tersebut dapat diatur melalui Surat Edaran KAPOLRI yang berisi pedoman teknis pelaksanaan perkara-perkara terkait dengan Pasal 49 KUHP.
Tulisan ini ditulis oleh Vice President Kongres Advokat Indonesia, Adv. Aldwin Rahadian M.