Pasal Advokat Curang dalam RUU KUHP Perlu Dikaji Ulang - Kongres Advokat Indonesia

Pasal Advokat Curang dalam RUU KUHP Perlu Dikaji Ulang

Karena Pasal 282 dan Pasal 515 RUU KUHP dinilai bersifat diskirminatif yang seharusnya diberlakukan terhadap penegak hukum lain. Karena itu, perlu dikaji dari aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Ahmad Supardji mengatakan rumusan norma Pasal 282 dan Pasal 515 draf RUU KUHP terkait pemidanaan terhadap advokat yang berbuat curang dan manipulasi (tidak jujur) semestinya perlu dikaji secara filosofis, sosiologis, dan yuridis. Misalnya, ditinjau aspek filosofis, harus dikaji mendalam soal urgensi pengaturan itu.

Secara yuridis, harus memperhatikan pengaturan advokat dalam UU 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebagai lex specialis. Sedangkan secara sosiologis, harus memperhatikan fenomena penegakan hukum secara umum (polisi, jaksa, hakim, advokat, red). Misalnya, kata Supardji, perbuatan curang pun dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum lain.

“Hal ini (perbuatan curang penegak hukum lain, red) perlu juga dituangkan dalam RUU KUHP dengan memperhatikan UU khusus. Misalnya, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” ujar Ahmad Supardji kepada Hukumonline, Selasa (22/6/2021).

Pasal 282

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V advokat yang dalam menjelankan pekerjaanya secara curang:

a. mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikann kepentingan pihak kliennya; atau

b. mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakimm dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.

Pasal 515

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III:

a. advokat yang memasukkan atau meminta memasukkan dalam surat gugatan atau permohonan cerai atau permohonan pailit, keterangan tentang tempat tinggal atau kediaman tergugat atau debitur, padahal diketahui atau patut diduga bahwa keterangan tersebut bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya; atau

b. suami atau istri yang mengajukan gugatan atau permohonan cerai yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud pada huruf a.

c. kreditur yang mengajukan permohonan pailit yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud pada huruf a.

Menurutnya, pengaturan rumusan norma tentang sanksi bagi aparat penegak hukum hendaknya tidak bersifat diskriminatif, bahkan bisa over regulasi. Misalnya, khusus bagi aparat kepolisian perlu diatur sanksi dan ancaman hukuman bagi aparat kepolisian yang melakukan salah tangkap. Sebab praktik salah tangkap oleh aparat kepolisian seringkali terjadi. Ironisnya, kasus salah tangkap tanpa adanya sanksi hukuman bagi aparat kepolisian yang melakukan.

Dia beralasan pemidanaan bagi aparat kepolisian bila terjadi salah tangkap agar praktik penangkapan dilakukan secara cermat dan hati-hati dengan keharusan memperhatikan prosedur secara baik dan benar dan mencegah terajadinya kesewenang-wenangan. “Ini upaya mencegah praktik salah tangkap, sehinggaa perlu sanksi dan diatur mekanisme rehabilitasi dan ganti rugi akibat adanya salah tangkap. Sebagai rekodifikasi hukum pidana, perlu mengatur hal tersebut dan nanti ditindaklanjuti dalam revisi KUHAP,” harapnya.

Selain itu, penerapan pemidanaan terhadap advokat perlu mempertimbangkan aspek imunitas (kekebalan hukum) sepanjang saat menjalankan tugas profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan dilakukan secara baik dan benar, serta didasari iktikad baik. Pasal 15 UU 18/2003 menyebutkan, “Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan Pasal 16 UU 18/2003 menyebutkan, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.”

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai rumusan Pasal 282 dan 515 RKUHP tentang sanksi pidana bagi advokat berlebihan. Sebab, dalam UU 18/2003 telah mengatur sanksi bagi advokat yang melakukan pelanggaran dan sumpah profesi dalam menjalankan tugasnya sebagai officium nobile. “Dalam UU Advokat sudah ada aturan pidananya yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi. Jadi sebaiknya di RKUHP tidak perlu diatur,” usulnya.

Seharusnya minta masukan organisasi advokat

Sekretaris Umum Kongres Advokat Indonesia (KAI) Ibrahim Massidenreng menyayangkan pengaturan sanksi bagi profesi advokat dalam RKUHP. Menurutnya pengaturan rumusan norma dalam Pasal 282 maupun Pasal 515 dalam draf RKUHP seharusnya terlebih dahulu meminta masukan dan pandangan dari para pemangku kepentingan, dalam hal ini para organisasi advokat. Dia melihat substansi dari rumusan Pasal 282 dan Pasal 515 RUU KUHP telah diatur pula dalam UU 18/2003, kode etik advokat, serta hukum acara perdata dan niaga.

“Jadi jangan sampai justru menimbulkan ketidakpastian hukum serta kekacauan hukum,” kata dia.

Ibrahim menilai politik hukum dalam Pasal 282 dan Pasal 515 RKUHP terkesan mencampuri terlalu jauh wilayah kemandirian profesi advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Keberatan ini bukan berarti advokat tidak berarti enggan diawasi. Sebab, mekanisme pengawasan advokat sudah diatur jelas dalam UU Advokat dan kode etik advokat.

Pasal 12 ayat (1) UUU 18/2003 menyebutkan, “Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan “Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan”.

Sementara Pasal 13 ayat (1) menyebutkan, “Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat. Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Keanggotaan Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat”. Kemudian ayat (3) menyebutkan, “Ketentuan mengenai tata cara pengawasan diatur lebih lanjut dengan keputusan Organisasi Advokat”.

Menurutnya, sekalipun diduga adanya pelanggaran yang dilakukan oleh advokat dalam menjalankan tugasnya, maka terlebih dahulu diadukan ke organisasi advokat tempatnya bernaung. “Penegak hukum ini kan bukan cuma advokat, bagaimana kalau penegak hukum lain juga dikenakan aturan ini?” HUKUMONLINE

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024