HUKUMONLINE – Ujian terbuka Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram (FH Unram) meluluskan Advokat TM Luthfi Yazid untuk menyandang gelar Doktor Ilmu Hukum dengan predikat cum laude. Dalam disertasi berjudul “Tanggung Jawab Konstitusional Negara dalam Melindungi Hak Keagamaan Warga Negara”, Yazid mengawali paparannya bahwa UUD RI Tahun 1945 merupakan perjanjian luhur (nobel agreement), pemberian kuasa dari rakyat kepada negara.
Dalam konstitusi, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jelas disebutkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal 28 E menyebutkan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…”.Anda Bosan Baca Berita Biasa?Kami persembahkan untuk Anda produk jurnalisme hukum terbaik.
Beleid tersebut mengatur jaminan hak fundamental, antara lain kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Jaminan tersebut termasuk bagi umat Islam yang melaksanakan haji dan umrah. Negara, dalam hal ini pemerintah, bertanggung jawab untuk menjamin perlindungan dan pemenuhan hak fundamental untuk beribadah tersebut.
Tapi, Lutfhi menilai tanggung jawab negara untuk memenuhi hak fundamental itu tidak optimal. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah kasus dimana jamaah haji dan umrah gagal berangkat, seperti kasus First Travel dan Abu Tour. Jumlah korban dalam kasus tersebut tidak sedikit, mencapai puluhan ribu orang. Dia mencatat kasus gagal berangkat umrah dengan jumlah korban banyak seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya di Indonesia.
Dalam menangani masalah tersebut, Lutfhi mencatat berbagai upaya telah dilakukan mulai dari musyawarah dan proses hukum. Pemerintah juga membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI) yang anggotanya terdiri dari belasan lembaga seperti OJK, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kemendagri, Polri, PPATK, Kejaksaan, BKPM, Kemendikbud, Kemenristek. Tapi, SWI sangat lemah dan tidak memiliki legalitas yang kuat. SWI gagal memberi solusi terhadap kegagalan masif jamaah umrah. Padahal jika dilihat dari postur kelembagaan SWI seharunya powerful dan minimal memberikan alternatif solusi. Namun semuanya tidak terjadi.
Menteri Agama juga menerbitkan Keputusan No.589 Tahun 2017 yang intinya mencabut izin penyelenggaraan First Travel, mewajibkan pengembalian seluruh biaya jamaah yang sudah mendaftar, atau melimpahkan seluruh jemaah kepada penyelenggara lain (untuk diberangkatkan umrah).
“Menag Lukman Syaefuddin ataupun Fahrul Razi memerintahkan agar semua jamaah yang gagal berangkat itu diberangkatkan secara bertahap atau uangnya dikembalikan. Kenyataannya sudah lebih dari empat tahun tidak ada satu pun jamaah yang gagal berangkat, diberangkatkan negara, bahkan tidak sedikit yang stress dan meninggal tanpa kejelasan.”
Kejaksaan agung juga menyebut akan melakukan penyelamatan aset untuk jamaah. Tapi dari berbagai upaya yang telah dilakukan itu, Lutfhi yang juga bertindak sebagai salah satu kuasa hukum korban First Travel menilai sampai sekarang belum berbuah hasil sesuai harapan. Segala upaya hukum, baik pidana, perdata maupun kepailitan semuanya buntu, tidak membuahkan hasil. Jamaah tetap tidak berangkat, uangnya tetap tidak kembali.
“Sampai sekarang belum terealisasi semua, upaya hukum menemui jalan buntu,” kata Lutfi Yazid saat mempertahankan disertasinya di Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (20/2/2021).
Dalam disertasinya, Lutfhi menawarkan solusi komprehensif dimana negara harus hadir dalam rangka melaksanakan tanggung jawab konstitusional yakni menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Dia meyayangkan, dalam putusan MA, aset First Travel disita dan dirampas negara, padahal ini uang jamaah, bukan hasil korupsi.
“Berdasarkan Pasal 117 UU No 8 Tahun 2019 tentang Haji dan Umrah disebutkan uang jamaah tidak boleh diambil oleh siapapun, termasuk negara, tapi dari kantong para jamaah yang banyak diantara mereka hanya pedagang, satpam, penjual sayur, pensiunan, buruh dan sejenisnya. Dimana keadilan?”
Dia membandingkan kasus bank Century dimana negara dirugikan lebih dari Rp6 triliun, tapi pemerintah melakukan bailout. Begitu juga kasus lumpur Lapindo, pemerintah mengeluarkan dana talangan sebesar Rp1 triliun, kemudian kasus Jiwasraya, pemerintah akan mengeluarkan dana Rp22 triliun untuk membayar kewajiban kepada pemegang polis. Tapi dalam kasus First Travel dan Abu Tours, Lutfhi menilai negara tidak hadir, tidak ada kebijakan nyata untuk mengembalikan uang atau tetap berupaya memberangkatkan korban untuk umrah.
Seharusnya, kata Lutfhi, pemerintah bisa menerbitkan kebijakan untuk korban First Travel dan Abu Tours. Hal ini sejalan dengan mandat Pasal 28I ayat (4) UUD RI 1945 yang menyebut perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Mengacu Pasal 86 UU No.8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pemerintah bisa menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah jika terdapat keadaan luar biasa atau kondisi darurat.
Menurut Lutfhi ketentuan Pasal 86 UU No.8 Tahun 2019 itu dapat dijalankan sebagai solusi untuk korban First Travel dan Abu Tours. “Melalui ketentuan ini Presiden bisa menerbitkan Keputusan, kemudian diikuti dengan pemberangkatan atau pengembalian dana jemaah,” usulnya.
Lutfhi juga mengusulkan agar dilakukan reformasi seluruh regulasi tentang pelaksanaan haji dan umrah. Reformasi itu untuk memastikan arah regulasi tentang haji dan umrah sejalan dengan mandat konstitusi. Perlu juga ada reformasi kelembagaan dengan membentuk lembaga pengawas yang bertugas, bukan hanya memberi sanksi administratif, tapi juga mewajibkan perusahaan penyelenggara perjalanan umrah untuk menyimpan deposit dalam jumlah yang besar. Deposit itu kelak digunakan sebagai solusi jemaah yang gagal berangkat.
Reformasi penyelenggaraan perjalanan haji dan umrah juga perlu menyasar teknis, misalnya mengadopsi teknologi digital. Lutfhi memberi contoh sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, Korea Selatan, dan Jepang sudah bisa memanfaatkan teknologi untuk penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Misalnya mengatur waktu keberangkatan dan kembali ke Tanah Air atau ingin transit ke negara lain. “Bila ini dilaksanakan, negara sudah menjalankan mandat konstitusi.”