Kongres Advokat Indonesia (KAI) secara resmi melayangkan uji materi Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No. 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat (PPA) ke Mahkamah Agung (MA). Pasalnya, beleid yang terbit pada 22 Januari 2019 ini dinilai bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Putusan MK No. 95/PUU-XIV/2016 terkait uji Pasal 2 ayat (1) UU Advokat.
“Iya, hari ini sudah kita daftarkan uji materi Permenristekdikti 5/2019 itu ke MA. Terbitnya Permenristekdikti 5/2019 itu tanpa mempertimbangkan implikasinya terhadap profesi advokat ataupun organisasi advokat,” kata Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto saat dikonfirmasi Hukumonline, Senin (25/3/2019).
Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto menilai Permenristekdikti tersebut melanggar UU Advokat dalam hal prosedur pengangkatan advokat. Permenristekdikti itu seolah hendak menghapus pelaksanaan pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) yang selama ini dilakukan organisasi advokat, ujian advokat, syarat magang yang diamanatkan UU Advokat.
Misalnya, Pasal 2 ayat (1) UU Advokat jo Putusan MK No. 95/PUU-XVI/2019 menyebutkan Pasal 2 ayat (1) UU Advokat dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai yang berhak menyelenggarakan PKPA adalah organisasi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi hukum atau sekolah tinggi hukum minimal terakreditasi B. Demikian pula Pasal 2 ayat (2) UU Advokat menyebutkan pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
Namun, dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c Permenristekdikti 5/2019 seolah mengubah istilah PKPA menjadi PPA.
Pasal 2
(2) Program Profesi Advokat dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang:
a. menyelenggarakan Program Studi Ilmu Hukum Program Sarjana.
b. memiliki peringkat akreditasi paling rendah B atau Baik Sekali;
c. bekerja sama dengan Organisasi Advokat yang bertanggungjawab atas mutu pelayanan profesi.
Pasal 3
(1) Program Profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diselenggarakan paling kurang selama 2 (dua) semester setelah menyelesaikan Program Sarjana dengan beban belajar mahasiswa paling kurang 24 (dua puluh empat) Satuan Kredit Semester (SKS).
(2) Masa studi Program Profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempuh paling lama 3 (tiga) tahun akademik setelah menyelesaikan Program Sarjana.
(3) Program Profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan sebagai program lanjutan yang terpisah atau tidak terpisah dari Program Sarjana.
Dia menilai Permenristekdikti itu juga bertentangan dengan putusan MK Nomor 95/PUU-XIV/2016. Menurutnya, Permenristekdikti 5/2019 tidak bisa diterapkan karena penerapannya ambigu dan tidak memberi ketidakpastian hukum. “Mengapa Permenristekdikti ini memuat syarat selain PKPA, sementara Putusan MK hanya menyebutkan ‘Penyelenggaraan PKPA dilaksanakan organisasi advokat bekerja sama dengan perguruan tinggi dengan akreditasi minimal B’?”
Selain itu, Pasal 3 ayat (1) UU Advokat disebutkan untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi syarat lulus ujian yang diselenggarakan Organisasi Advokat. Namun, Pasal 5 ayat (2) Permenristekdikti 5/2019 menyebutkan gelar Advokatditetapkan oleh perguruan tinggi bersama dengan Organisasi Advokat yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan Profesi Advokat.
“Terlihat jelas Permenristekdikti itu telah melampaui kewenangan. Bagaimana mungkin Permenristekdikti 5/2019 mengesampingkan UU Advokat?” Baca Juga: Pemerintah Ubah Cara Rekrutmen Advokat, Sejalan atau Bertentangan dengan UU Advokat
Tiga kesalahan
Sementara Wakil Presiden KAI TM Luthfi Yazid menilai Permenristekdikti 5/2019 mengandung tiga kesalahan. Pertama, Permenristekdikti tersebut dinilai cacat secara hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan. Semestinya, kata Luthfi, sebuah peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang di atasnya yang lebih tinggi
Kedua, Permenristekdikti 5/2019 dinilai cacat substansi hal yang mendasar dimana bertahun-tahun profesi advokat memiliki otoritas mengelola dirinya sendiri sebagai sebuah organ negara yang independen yang turut aktif menegakan hukum dan keadilan. “Kalau Perguruan Tinggi ranahnya pada tataran teoritis,” kata dia.
Ketiga, Permenrisetdikti cacat akademis terkait pemberian gelar akademik Advokat; penerapan Sistem Kredit Semester bagi calon advokat agar ilmunya aplikatif; dan implikasi finansial atau pembiayaan penyelenggaraan pendidikan advokat ini.
“Keluarnya Permenristekdikti ini, kecerobohan lembaga eksekutif yang telah mengintervensi bahkan ‘mengkudeta’ organisasi advokat. Inilah alasan kenapa ini diuji materi dan secepatnya Permenristekdikti tersebut dicabut sebelum menimbulkan implikasi-implikasi buruk lebih lanjut yang akan merugikan advokat,” harapnya.
Sebelumnya, beberapa advokat senior pun bakal mengajukan uji materi Permenristekdikti 5/2019 ke MA. Luhut dan Juniver mengatakan pihaknya tengah mempersiapkan kemungkinan untuk melakukan uji materi ke MA. Apalagi tidak ada komunikasi apapun yang dibangun oleh pihak Kementerian Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi hingga akhirnya peraturan tersebut disusun dan disahkan.