Topik Advokat Sebagai Bagian Kekuasaan Kehakiman : Memperkuat Status Advokat Sebagai Penegak Hukum pada hari Selasa, 24 Mei 2022, pukul 10.00 WIB – 12.00 WIB sebenarnya merupakan bagian dari Meeting of Mind: Advokat Indonesia Menyongsong Masa Depannya yang diselenggarakan dalam bentuk 3 days webinar (webinar 3 hari) dengan 9 topik seputar Advokat, Negara dan Kewenangannya atas kerjasama Peradi RBA, Peradi SAI, Kongres Advokat Indonesia, Ikadin, AAI, HKHPM dan Peradin dengan ICJR.
Kembali pada komitmen kita bersama, sejauh mana para OA memiliki kesadaran dan keyakinan untuk memperbaiki profesi Advokat sebagai profesi yang mulia officium nobile, kegiatan seperti ini dapat menjadi ruang diskursus yang efektif guna menggali kembali pokok-pokok pikiran dari para tokoh advokat.
PAPARAN PARA PANELIS
Penulis mencatat beberapa poin penting dan menarik dalam acara tersebut dengan diawali dari paparan (kutipan bebas) bang Palmer Situmorang yang mengatakan kilas balik bahwa pemerintah pernah menyebut telah lahir bayi yang cacat sebagai analogi dari situasi organisasi Advokat, hingga tidak boleh disangkal atas perlunya komitmen bersama untuk juga menyertakan Mahkamah Agung sebagai bagian dari jejak-langkah Advokat, kita harus akui kewenangan tersebut.
Senada dengan itu, bang Roy Rening mengatakan bahwa kita memang berjalan di rel kekuasaan kehakiman.
Tidak ada perdebatan dalam diskusi webinar ini, antusiasme para panelis masing-masing sebagaimana dikatakan oleh bang Andi Syafran bahwa Advokat tidak punya privilege sebagaimana penegak hukum lainnya, ini yang harus diperjuangkan, yang memiliki kosenkuensi logis bahwa Advokat harus didahului dengan pendidikan yang berkualitas, dikatakannya bahwa bakan di Amerika seorang mahasiswa hukum saja sudah ditakuti tapi tidak demikian halnya di Indonesia yang hanya dianggap sebagai pesilat lidah demikian kira-kira ungkapan bang Palmer dan bang Roy dalam konteks yang sama dengan bang Andi.
Motivasi keluar dari suara bang Patra M Zein yang mengatakan bahwa kita secara faktual adalah bagian dari criminal justice system, kita harus memberikan masukan kepada Presiden.
PAPARAN KAI
Sebenarnya penulis hanya sebagai partisipan dalam acara tersebut namun ditengah diskusi ternyata masuk kedalam jajaran para panelis senior yang menjadi narasumber, yaitu Dr. Roy Rening, S.H.,M.H., Dr. Patra M Zen, S.H.,LL.M., Palmer Situmorang, PhD dan Andi Syafrani, SHI.,MCCL.,CLA.,CM. dengan moderator Andriani Navies, S.H.,M.H.
Sebelum merumuskan masalah yang penulis ajukan sebagai pertanyaan untuk dijawab bersama, sebelumnya penulis juga menyampaikan pandangan umum sebagai suara dari Kongres Advokat Indonesia tentang bagaimana Advokat dalam sejarahnya hingga saat ini selalu muncul dan menjadi suara rakyat ketika terjadi kegaduhan-kegaduhan sosial politik.
Bahkan sebagai kilas-balik penulis sampaikan bahwa titik awal pondasi Negara justeru merupakan kontribusi dari peran nasionalis dan pergerakan Advokat, antara lain diawali dengan Perhimpunan Indonesia (1924), semula Indische Vereeniging pada 1908 oleh perkumpulan mahasiswa hukum di Universitas Leiden Belanda.
Berlanjut pada gagasan Mr. Sunario Sastrowardoyo saat menjadi pembicara di Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta, demikian halnya Ahmad Soebardjo yang sebenarnya merumuskan narasi proklamasi yang kemudian dikutip sebagai naskah oleh Soekarno dan Hatta, dan tentunya kemerdekaan akan percuma tanpa kedaulatan Negara yang akhirnya dicapai melalui Perjanjian Roem-Royen (Mr. Mohammad Roem, Mr. Ali Sastroamidjojo, juga Dr. Leimena, Ir. Joeanda, Prof. Soepomo, Johannes Latuharhary).
Saat inilah bukti sejarah dimana sebenarnya yang diangkat sebagai pengacara negara untuk melakukan diplomasi dan melakukan kesepakatan internasional demi kepentingan nasional adalah Advokat, padahal saat itu sudah ada Kejaksaan dengan beberapa periode kepemimpinan, yaitu Mr. Gatot Taroenamihardja (12 Agustus 1945 – 22 Oktober 1945), Mr. Kasman Singodimedjo (8 November 1945 – 6 Mei 1946), Mr. Tirtawinata (22 Juli 1946 – 1951), inila peran dan fungsi pengacara Negara yang pertama kali justeru diemban oleh Advokat.
Pada masa awal tersebut Mr Sartono Ketua Parlemen pertama, Pejuang Demokrasi dan Bapak Parlemen Indonesia, inilah peran-peran dan fungsi strategis dari para Advokat yang sebenarnya, yang oleh karenanya profesi Advokat disebut officium nobile.
Hal kedua yang penulis sampaikan yang belum tersentuh oleh para panelis adalah mengenai kewenangan Advokat sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang ternyata dengan baik disebutkan secara sistematis oleh peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.
UUD 1945 Setelah Amandemen menyebutkan pada Pasal 24 ayat (3) mengenai Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang yang secara sistematis ditemukan dalam pasal 38 ayat (1), (2) & (3) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, KUH Acara Pidana Bab VII Pasal 54-62 dan Pasal 69-74 mengenai bantuan hukum.
Bahkan saat rapat dengar pendapat di DPR-RI dalam pembahasan RUU Advokat tahun 2002-2003 dimasukkanlah pendapat dari Mahkamah Agung kedaalam konsiderans menimbang huruf b dan c UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, kekuasaan kehakiman memerlukan profesi Advokat untuk terselenggaranya suatu peradilan, memiliki kepastian hukum, menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum.
Dan dilanjut dengan pertanyaan kepada para senior panelis tentang bagaimana menurut para panelis agar kita dapat memperjuangkan kewenangan-kewenangan diatas yang dirindukan untuk kembali kepada Advokat itu?
Bahkan bang Patra antusias menanggapi bahwa itu sangat bisa dilakukan, dia menambahkan bahwa kita juga harus ingat Mr. Assaat bergelar Datuk Mudo adalah Advokat yang menduduki kursi pimpinan sebagai pejabat (acting) Presiden Republik Indonesia (27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950) ketika Sukarno menjadi presiden Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sebagai tambahan dari penulis memang bahkan tercatat Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang juga merupakan Advokat dipercaya untuk mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera sebagai upaya mempertahankan kedaulatan setelah Presiden Sukarno dan jajarannya di Yogyakarta berhasil dilumpuhkan pihak Belanda, demi merawat kedaulatan republik.
KESEPAHAMAN DAN KESERIUSAN PANELIS
Intinya, dalam sesi tersebut para panelis bersepakat bahwa perlunya kebolehan Advokat untuk membentuk organisasi tapi dengan pembatasan atau syarat yang ketat yang masuk dalam UU Advokat kedepannya, menindaklanjuti deklarasi Warung Daun yang mencakup lebih luas lagi organisasi Advokat dan perlu adanya Dewan Kehormatan dan Komisi Pengawas Bersama.
Bahkan bang Palmer menyebut bahwa AAI siap untuk menjadi tuan rumah dalam diskusi selanjutnya, hanya butuh 3 kali pertemuan dan bisa diambil kesimpulan untuk membentuk Dewan Kehormatan Bersama untuk kemudian mengadakan pertemuan dengan Mahkamah Agung, Kemenkumham, dan institusi pemerintah penegakan hukum lainnya.
Penulis: Adv. Agung Pramono, SH, CIL