Sebelumnya saya sempat sisipkan niat bahwa kemarin itu mungkin artikel terakhir saya, menjadi biasa saja, kerja lalu istirahat. tapi sekarang saya menulis lagi, inkonsisten, cari perhatian, begitu kira-kira.
Malam sebelum artikel soal lembaga Nomokrasisi saya angkat, saya menerima video call dari rumah, saya bisa melihat dan bicara langsung bersama kecantikan yang selalu saya rindukan dari jauh.
Isteri (saya sebut dzun nur’aini, si pemilik dua cahaya mata) saya bilang, “Yah, ini babies mau ngomong saya Ayah, titip pesan katanya.”
Dua keanggunan yang mungil muncul di layar, mereka lah dua cahaya mata itu, Mihewi dan Mahima, “Ayah jangan suka debat lagi, ya? Kalo nulis terus nanti Ayah capek pikirannya. Sama kurangi kopi dan rokok, ya? Disana Ayah istirahat yang cukup, ya? Semangat Aya..aa..ah!” bergantian seperti gelombang, bersahutan seperti pantun mereka bicara.
Sederhananya, suka debat bermakna keributan dan kata disana menunjukkan keterpisahan, diantara kedua kata itu ada rindu yang menjadi ingatan tentang arti kata pulang yang menenangkan.
Saya jawab, “iya, sayang, Ayah sudah brenti debat kok. Ayah cuma nulis ringan aja.”
Lalu salam, lambaian tangan dan tradisi sun jauh mereka sampaikan melalui aplikasi realtime di gawai itu. Rasanya, saya ingin peluk mereka langsung sembari membisikan, “Ayah penuhi janji semampu Ayah, sayang.”
Ditempat lain, berbincang saya dengan seorang sahabat, saling bertukar pandangan, dan saya gubah aliran kalimatnya sambil belajar lebih banyak, “dari ketinggian ini kita lihat kebawah, gedung ini seperti mengajak kita untuk angkuh dengan membawa kita keatas. Sebenarnya tidak, dari sini kita bisa lihat dan rasakan bagaimana padatnya bangunan-bangunan diseberang itu, berdiri berdampingan dari yang biasa saja sampai dengan yang menggunkan konstruksi mahal. Di jalan kecil itu kita lihat beragam orang dengan pakaian, kendaraan, aroma parfum campur keringat dan vibesnya keluar menuju jalan raya, di bagian mana padat sekali kendaraan berdesakan, warna-warni, beragam bentuk dan kemewahan”, kataku.
“iya, mas, perhatikan gawai saya, sudah beberapa minggu ini ribut sekali, berkali lipat dari biasanya, panas dan seperti berteriak. Entah itu telepon, video call atau sekedar tanya di pesan instan. Sementara mereka tidak tau bahkan tidak mau tau kalo kita punya kesibukan yang juga menyita waktu apalagi tidak bisa digantikan orang, menuntut orang lain melakukan apa yang sebenarnya mereka sendiri tidak mampu lakukan di posisi yang sama”, saya gubah kegusaran sahabat saya itu.
Meski punya kemampuan untuk itu tapi sungguh tidak fair, lebih baik disela dengan kopi, waktu yang bagus untuk secangkir saja dan rokok.
Belum reda perasaan terbaca pula artikel Adv. Ibrahim Massidenreng, SH., MH bertajuk Menyoal Model Kepemimpinan Organisasi Advokat Jelang Kongres KAI 2024, saya pikir masih ada yang perlu ditanggapi soal itu, sejauh batasan pemahaman saya, sekaligus membiasakan diri untuk membangun tradisi literasi digital dan dialektika.
Kadang pikiran macet dibuatnya, lebih karena frekuensinya yang terlalu rapat jadi seperti satu atau beberapa hal yang sama tapi diulang-ulang. Anehnya, jika dalam forum malah saling menolak kebenaran-kebenaran umum sebab tidak mau dianggap sama, ingin berbeda dan membuat argumentasi spontan yang jadi sangat kacau, childish.
Bakal panjang cerita jika bercerita soal keseharian, dus belum tentu orang mau terima bertele-tele, pragmatis saja supaya bisa didompleng, ide bagus yang orisinal dan berbobot bisa dipakai untuk cari pamor dan perhatian, bahkan profit finansial tanpa merasa perlu berbagi apalagi berterimakasih.
Ma’af kalau saya kadang trauma sampai memaki untuk itu tapi dalam hati saja tanpa perlu tertulis, karena itu juga saya benci pemaknaan suap dan gratifikasi yang asal adopsi secara konyol di negara ini.
Sedih, itu yang mengganggu saya sejak saya putuskan untuk pasif saja, soal pernyataan bahwa Presidium adalah kemunduran dan pengkhianatan selain tidak bisa dikonfrontir seolah itu menjadi kenyataan relevan yang mutlak yang disampaikan ke anggota lain yang masih butuh pedoman, betulkah begitu? Saya paling takut menyebut atau mendompleng nama orang.
Ada dokumen, tertulis di Kompas 10 Juli 2006, soal sikap yang menuntut kembali ke UUD 1945 ibarat memutar sejarah ke belakang ke era anti demokrasi. Menurut ABN, UUD 1945 memiliki kelemahan konseptual.
Kampanye sistematis untuk kembali ke UUD 1945 pra-perubahan harus dilawan sebab dapat membuka pintu otoritarian-birokratik dan agenda tersembunyi lain, ditulisnya di Kompas 6 Pebruari 2007, dalam perdata kita mengenal misbruik van omstandigheden (permainan dengan tujuan lain), ini tambahan saya.
Menurutnya entitas penggubah idea modern adalah keharusan tapi faktanya malah diremehkan bahkan disebut gagal. Padahal itu puncak perjuangan demokrasi konstitusional, hak mendasar yang tidak bisa dikurangi apalagi dicabut.
Bentuk Presidium mulai dihabisi sejak Dekrit 1959, dan dilucuti di era orde baru tahun 1971, 1974, 1983 dan dengan Keputusan-Keputusan Presiden.
Saat semiloka Habibie Center abang sampaikan makalah dimana beliau bilang sistem pemerintahan yang mengkombinasikan sistem presidensial dan parlementer seperti halnya di Perancis itu modern.
Sebetulnya mayoritas kita tau, gimana Presiden (demisioner) TjoeSH di 2019, awalnya menolak tapi animo mayoritas membuatnya meminta kerelaan keluarganya, saat itu belum terpikir soal bentuk baru tapi penerapannya berjalan di atas rel konsep presidium.
Dari transkrip saya soal rapat dengar pendapat di DPR RUU Advokat Februari 2002-Januari 2003, para senioren memperkenalkan yunitre, ialah unitair.
Gagasan bang Buyung seputar medio Mei 1998 setelah orasi SMUT, bagaimana dia menggagas KAI, ingat juga saat sebagai ahli di Mahkamah Konstitusi, jangan-jangan kita yang salah persepsi, belum benar mengenal bang Buyung.
Disebut presidensiil tapi dalam kesehariannya kolektif kolegial, kita dikecoh teori, literasi dan narasi politis, dari sanalah pangkal modernisasi sistemik ini dimulai, terima atau tidak tapi jangan disangkal.
Dalam konteks Kongres yang one man one vote maka alasnya adalah pengenalan kita soal apa yang jadi pilihan dan apa yang mau dipilih, mau tidak mau kita harus pahami sendiri.
Saya punya rujukan bagus yang relevan, yaitu:
- Disertasi bang Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia : Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959
- Disertasi bang TSH, Politik Hukum Organisasi Advokat dalam Sistem Penegakan Hukum di Indonesia.
Dalam bahasa Indonesia, Kongres itu samuh, sidang yang selalu didepan mata telanjang kita sebagai litigator, pertemuan para pihak yang berkepentingan membahas dan mengambil keputusan, dipimpin oleh majelis yang bermakna presidium.
Benarkah ada sistem yang buruk? Tidak.
Taverne, Hakim Agung Belanda atau Lord Denning, Hakim Inggris mengatakan, “Beri saya hakim yang baik, sehingga dengan undang-undang yang buruk sekalipun saya bisa membawa keadilan”.
Cicero yang menggagas asas summum ius, summa iniuria, hukum tertingi adalah cidera tertinggi, dus adagium quid leges sine moribus, apalah artinya hukum tanpa moralitas.
Jangan bicara soal huruf yang mati di atas kertas, kita bicara orang-orangnya, persentuhan antara kenyataan dan idea, diametral.
Bang Buyung merujuk Negara Prancis dengan republik semi-presidensial uniter dalam tradisi demokratis.
Keutamaannya ada pada pola sinergitas dan integrasi, konsisten dengan tradisi AdvoKAI yang brotherhoood dan kolektif kolegial, entitas honorary chairman itu amanat representatif dari majelis nasional atau kongres.
Apa organisasi Advokat ada yang presidium? Tanggapan saya mungkin bisa tajam, tapi baiknya mengutip saja aktivis buruh Jerman, Liebknecht bilang, ‘Met jusristen kan je revolutie maken’ , orang hukum susah diajak revolusi. Ignoratio elenchi.
Profesus Officium Nobile notabenenya juga negarawan bahkan setara bangsawan mestinya kita tau pergerakan Sunaryo, Soebardjo, Roem, Ali Sastro dll jangan hanya tau Mr. Besar, Mr. Yap atau Adnan Buyung saja.
Kita buktikan tudingan bung Karno dengan evolusi, bukan semata revolusi, “…revolusi yang berarti melemparkan hukum yang ada, a revolution rejects yesterday.”
Kita tidak boleh melempar hukum kebelakang tapi memperbaiki sesuai perkembangan dan karakter masyarakat kita, kita ini rechtsbeoefening, pengemban hukum, jangan tolak hari kemarin sebab itu pelajaran berharga.
Soal jumlah presidium, kita buka sejarah tata negara kita, salah satunya Kabinet Dwikora I yang disebut Kabinet 100 Menteri. Tapi, ini bukan soal negara melainkan organisasi.
Saya napaktilas ke fakta amanat Rakernas di Bali tahun 2022 yang tim Perumus AD/ART, membuatnya bersifat terbuka (open legal policy), konsekuensi logisnya adalah Kongres Luar Biasa, kewenangan ada di DPP.
Jangan dulu percaya sumber informasi, menutup pikiran lalu harus debat, mestinya dialektis, padahal debat kusir lah penyebab retaknya perahu yang memberikan peluang bagi air liar menerobos kebocoran hingga penumpang panik dan mencari selamat sendiri-sendiri, membabi-buta lalu injak apa dan siapa saja yang bisa dipijak.
Nyatanya, sering banget sumbernya dinilai A1 tapi apa datanya update? Apa valid? Lengkap nggak?
Harus klarifikasi dan verifikasi sendiri supaya bisa nilai validitasnya. Jika tidak valid bukan berarti kita tidak percaya lagi, jangan lah, cukup pendapatnya itu yang tidak perlu kita pakai.
Bicara modernitas jangan dipersempit sebatas digitalisasi, tapi juga tentang sistem kepemerintahan, 2 (dua) hal berbeda yang erat terkait saling mempengaruhi, saya tidak bilang ideal tapi apa yang tepat.
Apakah kita ragu dengan kemampuan para pemimpin kita? Jika percaya, lalu kenapa terkecoh sampai debat soal sistem? Otoritarian bukanlah soal sistem tapi soal orang dan kebiasaan.
Pertanyaan yang sesungguhnya adalah, sistem apa yang tepat? Tidak bisa disangkal, tentunya apa yang sudah biasa kita jalankan.
Sejarah bukan cuma menunjukkan gambar belaka, kasihan sekali mereka yang belum hidup di jaman fotografi, atau yang terhimpit ditengah massa aksi, atau sebab lain yang membuatnya tidak tampak dipermukaan. Itu cuma soal kesaksian, bukan pelaku.
Kita sepakat bang TjoeSH pantas disematkan penghargaan sebagai Bapak Advokat Modern sebab ide digitalisasinya yang berkembang jadi momok.
Disisi lain, beliau akui kontribusi besar ketika para VP dan jajarannya, juga kita anggota bersedia adaptasi konsep dan desain, saling melengkapi gagasan, inheren.
Cukup, sedih ini sebab alter-ego yang menyerang secara ad-hominem, saya sekedar menjernihkan alas argumentatif. Sembari menulis malam, mengingat 3 (tiga) perempuan dari kampung langit yang menanti kepulangan saya.
* Adv. Agung Pramono, SH, CIL