Krisis finansial Asia tahun 1997-1998 membuat kondisi ekonomi Indonesia ‘berdarah-darah’. Meningkatnya harga kebutuhan dasar yang dibarengi tingginya tingkat inflasi membuat Indonesia berada di posisi sulit.
Alhasil, dengan tekanan kuat Amerika Serikat, Indonesia pada akhirnya terpaksa bertekuk lutut kepada IMF. Mengutip paparan Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009) tercatat Indonesia menyepakati bantuan dana sebesar US$ 43 Miliar.
Bantuan dana ini kemudian terus berlanjut hingga tahun 1998. Berdasarkan data yang dihimpun tim riset CNBC Indonesia, tercatat Indonesia terus menerima pinjaman secara bertahap. Diketahui pada 25 Agustus 1998, IMF menyetujui pinjaman dalam bentuk Extended Fund Facility (EFF) senilai 5,38 miliar Special Drawing Rights (SDR), tetapi yang dicairkan hanya 3,8 miliar SDR. Bahkan, setelah krisis usai, IMF juga terus memberi dana ke Indonesia.
Pemberian bantuan ini tentu bertujuan untuk pemulihan ekonomi nasional. Namun, kita semua tahu bahwa seluruh bantuan itu gagal total. Menurut catatan ekonom Agus Widarjono di Evaluasi Kritis Kinerja IMF dalam Krisis Asia (2003), akibat bantuan IMF Indonesia malah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar -13,3%, kredit macet mencapai 48,6%, dan nilai investasi menjadi -33%. Bahkan utang Indonesia untuk ukuran tahun 1998 sangat menggunung, yakni mencapai US$ 137,42 miliar.
Berkat kegagalan ini, mau tidak mau Indonesia harus menanggung beban besar yang diwariskan dari era ke era. Beruntung pada 2006 beban warisan itu benar-benar terselesaikan akibat terjadi pelunasan utang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lewat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Berdasarkan arsip Detik.com (9 Februari 2006), diketahui wacana pelunasan utang kepada IMF itu dilontarkan pertama kali oleh Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi IX di Gedung DPR RI, pada Februari 2006. Menteri Keuangan ke-26 itu ingin Indonesia melunasi utang senilai US$ 8 miliar lebih cepat dari jatuh tempo pada 2010.
Sri Mulyani beranggapan bahwa Indonesia saat itu sudah memiliki dasar fundamental ekonomi kuat. Fundamental itu berupa kecukupan cadangan devisa, baiknya kinerja neraca pembayaran Indonesia, positifnya perkembangan moneter dan stabilnya nilai mata uang dalam beberapa waktu ke depan (arsip Detik.com, 5 September 2006).
Beranjak dari pencapaian ini pemerintah merasa wajar apabila Indonesia mampu melunasi utang IMF lebih cepat. Apalagi, pelunasan utang juga dianggap bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga menyangkut kepercayaan. Sebab, dengan kemampuan melunasi utang lebih cepat dunia internasional bisa melihat Indonesia sebagai negara yang sudah sehat pasca krisis 1997-1998.
Meski begitu, pernyataan Sri Mulyani ini kemudian disambut oleh beragam pihak. Ada yang pro dan kontra.
Mereka yang pro mendukung penuh kebijakan itu berdasarkan kekuatan fundamental ekonomi. Sedangkan, mereka yang kontra lebih mendasarkan argumennya pada ketakutan atas permainan spekulan apabila pelunasan ini dilakukan lebih cepat dari tenggat waktu. (Arsip Detik.com, 3 Mei 2006)
Pada akhirnya, perdebatan itu berakhir setelah Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia benar-benar melunasi seluruh pinjaman plus bunga pada akhir tahun 2006, lebih cepat dari tenggat waktu di tahun 2010. CNBCINDONESIA