Adv. Agung Pramono : Cipta Kerja Hanya Balon, Bukan Kuda Troya - Kongres Advokat Indonesia

Adv. Agung Pramono : Cipta Kerja Hanya Balon, Bukan Kuda Troya

Mengutip Instagram Prof. Mahfud MD, Jumat (30/12), ditulisnnya “Bagaimana nasib UU Ciptaker yg oleh MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat? Bukanlah oleh MK dgn dinyatakannya UU Ciptaker, maka Pemerintah tak boleh membuat keputusan strategis sampai waktu dua tahun? Mengapa yang dikeluarkan kok Perppu? Apa alasan kegentingan atau mendesaknya?”

Inskontitusional bersyarat yang dimaksud MK dalam pernyataan tersebut artinya berlaku asal diperbaiki sampai waktu tertentu yakni dua tahun. Perbaikan itu bisa dilakukan dengan membuat UU baru, atau dengan membuat peraturan yg setingkat UU, terangnya.

Menurutnya dan sebagian besar ahli hukum berpendapat bahwa keadaan mendesak itu adalah hak subjektif presiden. Beliau menyebut Putusan MK Nomor 38/PUU7/2009 terbit saat dirinya menjadi menjabat sebagai Ketua MK, menetapkan Perpu bisa terbit ketika ada kebutuhan yang mendesak untuk bisa menyelesaikan masalah hukum secara cepat dengan UU. Perppu bisa terbit ketika kekosongan hukum tidak bisa dibahas melalui prosedur normal karena butuh waktu lama.

UU Ciptaker sudah tidak berlaku lagi dan yang berlaku adalah Perppu No. 2 Tahun 2022 yang merupakan revisi atas UU Ciptaker yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Penulis akui, dengan penerbitan Perppu cipta kerja maka Pemerintah jelas mematuhi putusan MK, minimal mengakui bahwa UU Cipta Kerja bermasalah. Disisi lain, merujuk pada pernyataan Mahfud MD bahwa perppu menggugurkan syarat inkonstitusional bersyarat dari putusan MK merupakan bentuk nyata arogansi otoritarian.

Pemerintah sebagaimana kehadiran KUHP 2022 sekali lagi sama sekali tidak memperhatikan putusan MK dengan baik, bahwa MK mensyaratkan kepentingan untuk dibentuk oleh pembuat UU, bukan pembuat pengganti UU.

Sebagaimana terbaca dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, antara lain pada halaman 416 sampai dengan 417, angka 4 sampai 7, yaitu UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan “perbaikan pembentukan” sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana ditentukan, pembentuk UU harus melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan yang bilamana tidak maka UU menjadi inkonstitusional secara permanen, bilamana tenggang waktu itu tidak terpenuhi maka UU atau materi muatan UU yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali dan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan ‘peraturan pelaksana’ baru yang berkaitan” dengan UU itu.

Pola yang Sama, Eufimisme dan Fallacy

Penulis pikir, alangkah berbahayanya sifat otoritarian ditambah lagi dengan sikap rigid dan positivistik dari pakar maupun akademisi terutama bidang hukum, ciri otokratik legalisme.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Jumat (30/12/2022), dalam keterangan pers bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD serta Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, di Kantor Presiden, Jakarta, menegaskan, penerbitan Perpu dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.

Apalagi menurut Presiden bahwa Perppu ini untuk mengantisipasi resiko ketidakpastian, artinya, bukan untuk mengatasi sesuatu yang pasti, sesuatu yang mendesak, sesuatu yang genting – antisipasi artinya perhitungan tentang hal-hal yang akan (belum) terjadi, dengan kata lain masih merupakan dugaan.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Achmad Baidowi mengatakan, DPR akan mempelajari dan membahas Perppu tersebut sebelum disahkan setelah 9 Januari 2023 untuk memutuskan menerima atau menolak Perppu Cipta Kerja, sebab saat ini DPR sedang memasuki masa reses sejak 15 Desember 2022.

Melalui American Constitutionalism, Richard S. Kay berbicara tentang rechtsstaat, soal pengaturan penataan hukum, mengandaikan keberadaan machtsstaat, perangkat kekuatan politik yang harus dikendalikan. Sadar atau tidak, alegori balon menjadi penanda transisi penyimpangan dari rule of law menjadi rule of men mengubah rechtstaat menjadi machtstaat – mungkin lebih tepatnya adalah rule off law.

Politik hukum otoritarian dengan judicialization of politics tidak akan bertahan bilamana tidak didukung oleh akademisi dengan racun positivistik, sempit dan mudahnya bersalin prinsip sesuai kedudukan sehingga seringkali menampakkan jumawa dan dengan statusnya merasa tidak perlu introspeksi kecuali bermain penghalusan kata.

Mahkamah sekedar jadi batu uji untuk menemukan permasalahan, materi debat selama persidangannya, apapun putusannya elite tetap menempatkan diri sebagai pembuat kebijakan, aturan  maupun pengganti undang-undang, tentu saja tidak perlu dengan perundingan legislatif yang cukup dengan pasifnya saja sudah dianggap sepakat.

Pondasi Fallacy

Salus populi suprema lex esto atau Salus populi suprema est atau keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi, diperkenalkan oleh Marcus Tullius Cicero dalam De Legibus. Setelahnya ada Thomas Hobbes, Baruch Spinoza dan John Locke dengan merujuknya sebagai salah satu prinsip fundamental bagi pemerintah.

Benjamin Straumann dalam “Crisis and Constitutionalism: Roman Political Though from the Fall of the Republic to the Age of Revolution” (2016), mengatakan bahwa prinsip Cicero tersebut banyak disalahartikan dengan menempatkan tujuan keselamatan rakyat dengan menyerahkan pada karakter kebajikan dari mereka yang memiliki kekuasaan tanpa mengandalkan hukum dan konstitusi.

Pandangan inilah yang turut memunculkan konsep raison d’état atau “alasan negara” yang berpedoman pada alasan politis murni bagi tindakan pemerintah yang mendasarkan pada kepentingan nasional, namun seringkali melanggar prinsip-prinsip keadilan. Inilah yang terjadi sejak masa Niccolò Machiavelli hingga Carl Schmitt.

Para ahli yang berbicara teori kedaulatan dan keadaan darurat di Italia dan Jerman abad ke-20 memandang bahwa pada masa krisis atau darurat, instrumen pentingnya adalah keputusan pemimpin, bukan tatanan hukum dan konstitusi. Konsekuensinya secara logis bahwa beberapa negara Eropa mengalami sejarah pahit di bawah kepemimpinan diktator, sebab memberikan kekuasaan sangat besar kepada pemimpinnya dengan alasan untuk memudahkan tercapainya tujuan negara.

Mereka sadar bahwa bakal bermunculan alasan-alasan politis murni atas tindakan pemerintah yang mendasarkan pada kepentingan nasional yang seringkali melanggar prinsip-prinsip keadilan demi resultan politik.

Sementara, apa yang seharusnya dirawat dalam tatanan bernegara adalah, “politiae legius non leges politii adoptandae (politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya).”

Dalam sebuah negara demokrasi ketika memenangkan suara terbanyak maka para republikan berteriak “kami yang minor harus kau perjuangkan untuk dilindungi dengan gelegar suaramu”. Sehingga tampak bahwa republik demokrasi menjadi frasa anomali.

Fallacy dan Alegori Balon

Menurut penulis, Indonesia saat ini sedang mengalami keadaan yang sangat langka. Apakah UU Cipta Kerja tidak berlaku menurut putusan MK?

Tidak, ia masih berlaku, dengan syarat jika dalam waktu 2 tahun tidak diperbaiki oleh pembuat UU maka menjadi inkonstitusional permanen – artinya ia masih berlaku selama 2 tahun jika tidak ada perbaikan.

Apakah terjadi kekosongan hukum? Tidak, sebab UU Cipta Kerja masih berlaku.

Bahwa sehubungan dengan beberapa uji materi, MK menyatakan bahwa permohonan telah kehilangan objek pengujian dikarenakan dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang mana UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, uji formil maupun uji materiil dalam permohonan selain daripada permohonan nomor: 91/PUU-XVIII/2020 dinyatakan tidak dapat diterima.

Putusan-putusan tersebut adalah 6/PUUXIX/2021, 103/PUUXVIII/2020, 105/PUUXVIII/2020, 4/PUUXIX/2021, 87/PUUXVIII/2020, 101/PUUXVIII/2020, 108/PUU-XVIII/2020, 3/PUUXIX/2021, 5/PUUXIX/2021, 55/PUUXIX/2021, 46/PUUXIX/2021 dan 64/PUUXIX/2021

Lalu, apa yang membuat keadaan langka? UU Cipta Kerja ada dan masih berlaku namun banyak kehilangan objek norma, artinya, UU-nya ada tapi normanya sebagian besar diketahui kosong, sebagaimana putusan-putusan diatas, maka argumen untuk mengisi kekosongan hukum menjadi semu, cenderung menyesatkan.

Selain itu, keadaan mendesak pun (meminjam terminologi kerugian keuangan negara) harus bersifat nyata dan pasti, sehingga Perppu diterbitkan untuk mengatasi siatu keadaan yang pasti mendesak – bukan dugaan yang butuh antisipasi yang artinya masih sebagai pertimbangan tentang sesuatu yang belum terjadi, dugaan.A kedua mengenai keadaan mendesak juga tidak tepat karena hanya berupa dugaan yang tidak nyata.

Ini seperti kisah si pandir yang dalam banyak literatur digambarkan sebagai orang yang membawa payung padahal jauh dari musim penghujan.

Hukum semestinya dibuat untuk membatasi kekuasaan dengan resultan politik elitnya ternyata dibuat untuk membungkam rakyat yang seharusnya dilindungi dari dampak buruk politik penguasaan, Cipta Kerja seperti balon, secara hukum ia ada tapi dalamnya kosong.

Bagaimana masyarakat bisa dianggap tahu hukum jika UU dan turunannya saja sudah diluar kemampuan awam untuk mengerti? Harmonisasi sama sekali tidak mengurangi material produk selain hanya mengumpulkan dalam satu judul belaka yang secara politis justeru hanya mempermudah elite yang makin tak mumpuni.

Antitesa Kuda Troya

Untuk waktu dekat sepertinya malah lebih urgent Perppu tentang Presidential Threshhold (PT), rakyat juga boleh menuntut model politik hukum, ketika demokratik sudah memegang PT, lalu bagaimana jika Republikan yang harus dilindungi oleh mayoritas bisa aman dari PT itu?

Pola yang mengalir, sejak presidential threshhold, UU Cipta Kerja, penggantian Hakim Aswanto hingga KUHP dan Perppu Cipta Kerja yang menghidupkan kembali apa yang dimatikan oleh MK, etika kartelian yang membuat gagap politik hukum.

Kedaan ini merupakan anitesa dari kajian Hirschl, Meyer, Freeley dan Rubin yang mana keadaan ini merupakan suatu konsekuensi dari judicialization of politics (JoP), dari perang urat syaraf antar lembaga negara, menjadi suatu entitas atau forma yang langka – keadaan yang tidak diduga oleh JoP.

Strategi berhukum yang baik tapi tidak sehat, kalaupun pakar hukum yang berada dilingkaran eksekutif bermaksud memberikan masukan kepada Presiden terkait Putusan MK Nomor 38/PUU7/2009 terhadap Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dengan objek cipta kerja, maka untuk merelatifisir kontroversi mestinya nomenklatur Perppu menyesuaikan dengan prinsip keadaan yang disebut mendesak, yaitu “investasi” sehingga tidak memberikan contoh perlawanan terhadap putusan yang jauh dari maksud memperbaiki akan tetapi tegas mengganti.

Diawal, penulis berbicara tentag alegori balon, seperti Achilles pahlawan setengah dewa dari Yunani saat perang melawan Troya dan membunuh Hector, lalu Apollo yang dendam akan membalaskan kematian Hector melalui tangan Paris, yang bukan seorang pejuang pemberani akan tetapi mau menyergap Achilles saat memasuki Troya.

Dia memanah Achilles di tumitnya, di mana tangan ibunya telah menahan air sungai Styx dari membasahi kulitnya dan bagian itulah yang masih bersifat manusia, seketika pun Achilles mati di tempat – balon dipecah oleh hipotesa keterdesakan.

Jika balon masih dianggap kurang tepat, maka bukankah di Indonesia sudah terbiasa dengan politik kuda Troya? Namun kali ini justeru Troya yang membuat kuda untuk diberikan pada Yunani, dan pasukan Yunani masuk ke wilayah Troya dengan mengendarai kuda tersebut yang saat ini bahkan dengan sambutan yang gegap gempita di siang hari bolong, mungkin, Odisseus Ulisses bakal mengatakan ini resultan konyol, terlalu banyak menu politis di meja makan tapi tidak ada kopi.

*Adv. Agung Pramono, SH, CIL

2 Responses

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024