Ledakan atau turbulensi teknologi digital secara ekstrim yang melahirkan Kripto Currency sulit ditembus hukum di Indonesia. Ketidakmampuan hukum beradaptasi dengan teknologi memicu Kripto seringkali dikaitkan dengan pemanfaatan money laundery atau pencucian uang.
Hal ini disampaikan praktisi hukum Teknologi Digital Dr Urbanisasi, SH MH CLA CIL saat menjadi pemateri Webinar Nasional dengan tema “Memahami Smart Blockchain Untuk Menggerakkan Ekonomi Nasional Melalui Teknologi” di Jakarta, Kamis (22/4/2022)
Webinar ini diselenggarakan IndonesiaBisnisNews.com bekerjasama dengan Asosiasi Developer Kripto dan Blockchain Indonesia (ASPIBI). Jumlah peserta yang ikut dalam Webinar mencapai 200 peserta melampaui target panitia.
Lebih jauh Urbanisasi memaparkan bahwa hukum di Indonesia tidak mampu beradaptasi menghadapi teknologi. “Sehingga dapat saya katakan bahwa didalam dunia digitalisasi itu ada tiga fitur yang sulit ditembus oleh hukum,” ujar Doktor Hukum jebolan Universitas Hasanudin Makassar ini.
Yang pertama itu adalah imaterialisasi. Yang kedua de-teritorialisasi dan yang ketiga turbulensi teknologi Digital yang sangat ekstrim.
Hukum yang jauh tertinggal itu membuat kripto currency di Indonesia tidak dikenal. Disini Kripto justru dikenal sebagai aset.
Definisi Kripto, Mata Uang atau Aset?
Dosen senior FH Universitas Tarumanagara ini mengungkapkan, crypto currency itu adalah mata uang crypto. Yang mana itu berasal dari sebuah gabungan terminologi.
Terminologi yang pertama itu adalah cryptography. Disini mengandung makna ada kode rahasia yang digunakan. Artinya cryptografi adalah suatu mata uang yang dikelola secara desentralisasi yang dibalik itu ada kode-kode rahasia yang dimanfaatkan.
Sehingga dapat kita katakan bahwa hal-hal yang seperti ini itu pada umumnya sulit untuk ditembus oleh hukum dimanapun, didunia ini karena pengaturannya tidak jelas atau anymimous.
“Nah ini yang sulit ditembus oleh hukum sehingga kehadiran daripada Kriptografi atau Crypto Currency ini adalah bagian daripada penyelenggaraan mata uang yang dilakukan secara imaterialisasi secara teknologi digital,” ujar Urbanisasi yang juga seorang advokat senior itu.
Sehingga ketika ini terjadi maka fungsinya ia akan menjadi mata uang standar yang memungkinkan penggunaannya untuk melakukan pembayaran secara virtual dengan melakukan transaksi bisnis yang disitu tidak ada jasa namun tetap memiliki otoritas yang terdesentralisasi disitu.
“Disini perlu kita pahami bahwa Kripto Currency saat ini yang ada di Indonesia justru agak sedikit mundur, hal ini kenapa? Karena yang dikenal di Indonesia bukanlah Kripto Currency tapi yang dikenal di Indonesia ini adalah Kripto sebagai aset,” papar Urbanisasi.
Mengapa? “Karena kita tidak bisa menafikkan bahwa kita diatur oleh Undang-Undang yakni UU Nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang yang tentu secara eksplisit itu mengatur tentang mata uang yang dapat digunakan sebagai alat tukar di Indonesia hanya satu yakni mata uang rupiah,” tandasnya.
“Maka Kripto disini tidak dinilai sebagai mata uang tapi dianggap sebagai komoditi. Jadi hukum yang mengatur Kripto di Indonesia hanya diatur dengan peraturan setingkat menteri sebagai bahan rujukan regulasi dalam mengatur masalah Kripto,” sambungnya.
Tak Ada UU yang Mengatur Kripto Secara Lex Specialis Derogat
Sehingga pengaturan hukum economic digital yang salah satunya diterapkan dalam pengelolaan Kripto tidak diatur dalam hukum secara khusus atau lex spesialis derogat.
“Meskipun ada lima peraturan dari Bapepti mengenai Kripto namun hukum yang diberlakukan dalam pengelolaan aset Kripto ini masih menggunakan hukum secara umum atau general yakni KUHPerdata dan KUH Pidana apabila terjadi perbuatan melawan hukum dengan junto UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE), tidak ada hukum secara khusus yang mengatur Kripto, karena teknologi yang demikian pesat sulit ditembus,” kata Doktor Urban yang banyak membantu pelaku Kripto dalam memberikan nasehat hukum.
Artinya bahwa regulasi ini berlaku secara general aturannya secara umum belum ada aturan yang bersifat khusus yang diatur di Indonesia.
UU yang menjadi rujukan dalam penyelenggaraan Kripto aset di Indonesia itu pertama adalah UU Nomor 32 Tahun 1997 dengan perubahan UU Nomor 10 tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka atau Perdagangan Komoditi. Kemudian ada Peraturan Menteri Perdagangan penyelenggaraan pasar fisik Kripto.
Kemudian ada Peraturan menteri Keuangan yang mengatur kewajiban bagi setiap penyelenggara dan penambang Kripto mengenai perpajakan.
“Padahal dalam sebuah survei yang dilakukan Global Web Index, saat ini Indonesia diposisikan pada lima besar. Data ini menunjukkan bahwa Indonesia ini adalah segmen pasar yang sangat prospek yang akan memberikan pengaruh besar terhadap penyelenggaraan Kripto,” katanya.
Bahkan boleh dikatakan bahwa Indonesia jadi lumbung peminat Kripto terbesar saat ini nomor lima dunia bahkan bisa menembus empat besar dunia jika melihat antusias dan tren pelaku Kripto yang terus bertumbuh besar setiap bulannya. Apalagi tidak dibatasi oleh ruang dan usia.
“Data ini menunjukkan pengguna Kripto di Indonesia semakin melonjak pasti tantangannya pun akan semakin besar, terutama kalau kita kaitkan dengan money laundery yang belakangan ini banyak dikaitkan dengan Crypto Currency atau Kripto Aset,” ungkap Urban.
Hal inilah menurut Urbanisasi membuat masyarakat mencurigai dan pemerintah juga mensinyalir saat ini banyak pihak yang memanfaatkan aset Kripto untuk pencucian uang. “Karena barang ini tak tersentuh hukum,” tegasnya.
Meskipun di Indonesia Kripto tidak diakui sebagai mata uang, namun banyak pihak yang memanfaatkan aset Kripto untuk melakukan pencucian uang dengan berbagai modus.
“Karena hukum kita tak mampu menjangkau dan sulit menggapai Kripto. Hal inilah yang dimanfaatkan karena pengaturan kita kurang ketat,” paparnya.
Seringkali hukum justru jauh tertinggal dengan perkembangan teknologi digital, salah satunya mengenai isu Blockchain dan Kripto, yang mana teknologi dan sistem ini sudah banyak diterapkan dan diadopsi untuk jaringan ekonomi nasional dan global.
“Ironisnya hukum belum menyentuh,” tambah Urbanisasi yang memaparkan materi soal Regulasi Crypto Asset sebagai Payung hukum Bisnis berbasis digital di Indonesia. Acara yang sangat penting ini dipandu oleh Dhiandra Mugni yang sehari-hari sebagai Jurnalis Metro TV. INDONESIABUSINESSNEWS