Selasar Pengadilan Negeri (PN) Bandung di Jl LLRE Martadinata, Kota Bandung riuh ketika Herry Wirawan, terdakwa pemerkosa 13 santriwati turun dari mobil tahanan Kejaksanaan Negeri pada Selasa (14/2/2022).
Begitu tiba, Herry Wirawan yang mengenakan kemeja putih dibalut rompi tahanan berwarna merah dan peci warna hitam langsung masuk ke dalam persidangan. Jelang detik-detik yang menentukan itu, tak ada sepatah katapun yang diucapkan Herry saat masuk ke area persidangan.
Dalam persidangan, Herry Wirawan terbukti melakukan tindakan kejahatan yang luar biasa atau The Most Serious Crime, dan mendapatkan hukuman penjara seumur hidup.
Ia terbukti melakukan perbuatan asusila kepada 13 orang anak dan delapan anak di antaranya hamil hingga melahirkan. Selain itu, secara psikologis Herry juga melakukan cuci otak kepada korban, sehingga korban tak bisa membedakan mana yang benar, dan mana yang salah.
“Hal tersebut membuktikan bahwa kejahatan seksual tersebut sangat tinggi, the most serious crime,” ujar hakim.
Seperti diketahui, Herry dituntut hukuman mati oleh Jaksa. Akan tetapi, dalam vonis, hakim memvonis Herry dengan hukuman penjara seumur hidup.
“Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara seumur hidup,” ucap hakim.
Hakim menilai perbuatan Herry Wirawan telah terbukti bersalah sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.
Hakim menilai bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Herry tersebut patut dijatuhi hukuman maksimal. Sebab, apa yang dilakukan Herry telah melanggar hak orang lain yakni hak para korban.
“Menimbang bahwa majelis hakim berpendapat terhadap terdakwa harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatannya. Namun pidana tersebut yang dapat memberikan efek jera dan menjadi contoh bagi orang lain agar tidak melakukan perbuatan serupa dengan perbuatan terdakwa,” tuturnya.
Herry Wirawan Tak Mungkin Dikebiri Kimia
Selain itu, hakim juga menolak untuk mengamikan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) berupa hukuman kebiri kimia. Hakim menguraikan dasar pengenaan hukuman kebiri kimia dilakukan usai terpidana menjalani hukuman pokok paling lama dua tahun.
“Menimbang dengan demikian, oleh karena tindakan kebiri kimia baru dapat dilakukan setelah terdakwa menjalani pidana pokok paling lama dua tahun, sementara apabila dituntut kemudian diputus pidana mati dan penjara seumur hidup yang tidak memungkinkan selesai menjalani pidana pokok maka tindakan kebiri kimia tidak dapat dilaksanakan,” ucap hakim saat membacakan pertimbangannya.
Hakim menuturkan tidak dapat dilaksanakannya hukuman kebiri kimia lantaran putusan yang diberikan merupakan penjara seumur hidup.
“Tidak mungkin setelah terpidana mati menjalani eksekusi mati atau menjalani pidana seumur hidup dan terhadap jenazah terpidana dilaksanakan kebiri kimia. Lagipula pasal 67 KUHP tidak memungkinkan dilaksanakan pidana lain apabila sudah pidana mati atau seumur hidup,” kata hakim.
Tuntutan JPU yang meminta agar yayasan milik Herry dibubarkan dan adanya penyitaan aset juga tak bisa dikabulkan majelis hakim, karena tuntutan tersebut masuk ke dalam ranah perdata. Sedangkan, pidana yang dilakukan Herry dilakukan atas nama perseorangan.
Tuntutan Pidana Denda Rp 500 Juta Digugurkan
Majelis hakim tak memvonis Herry Wirawan hukuman mati melainkan penjara seumur hidup. Hakim juga menggugurkan tuntutan pidana denda Rp 500 juta subsider satu tahun kurungan penjara.
“Menimbang bahwa tentang tuntutan penuntut umum denda yang dijatuhkan terhadap terdakwa yaitu sebesar Rp 500 juta dengan subsider satu tahun kurungan majelis berpendapat berdasarkan Pasal 67 KUHP, ketika orang dijatuhi hukuman mati dan pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhi pidana lagi,” ujar hakim yang diketuai oleh Yohanes Purnomo Suryo saat sidang putusan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (15/2/2022).
Menurut hakim, pasal yang dimaksud tersebut untuk mencegah kesewenang-wenangan dalam penjatuhan tuntutan pidana dan penjatuhan pidana.
“Maka terdakwa dijatuhi hukuman pidana dan dirasa telah meresahkan masyarakat namun bukan berarti terhadap terdakwa dijatuhi tuntutan pidana maupun denda yang semena-mena,” kata dia.
Oleh karena itu, kata hakim, tuntutan denda Rp 500 juta dinilai berlebihan. Sehingga pihaknya tak sependapat dengan tuntutan jaksa tersebut.
“Maka sesuai ketentuan pasal 67 KUHP tersebut tuntutan pidana denda subsider kurungan menjadi berlebihan dan tidak tepat. Oleh karena itu majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum dan tentang tuntutan pidana denda dan subsider tidak dapat diterapkan terhadap terdakwa,” katanya.
Restitusi Kepada Korban Dikabulkan
Majelis hakim mengabulkan pembayaran restitusi atau ganti rugi kepada korban pemerkosaan yang dilakukan oleh Herry Wirawan. Akan tetapi, pembayaran restitusi sebesar Rp 331 juta lebih dilimpahkan kepada negara.
Restitusi tersebut diajukan oleh 12 orang korban Herry Wirawan. Adapun nominal restitusi yang diberikan beragam dari terendah sebesar Rp 8,6 juta hingga paling besar Rp 85 juta. Sehingga total pembayaran restitusi sebesar Rp 331.527.186 juta.
“Oleh karena terhadap terdakwa tidak dibebani kewajiban membayar restitusi meskipun merupakan hukuman tambahan, namun majelis hakim berpendapat bahwa pembayaran restitusi tersebut diluar ketentuan hukuman tambahan sesuai pasal 67 KUHP. Maka restitusi harus dialihkan ke pihak lain,” ujar majelis hakim yang diketuai oleh Yohanes Purnomo Suryo saat membacakan putusan dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (15/2/2022).
Menurut dia, pengalihan itu sesuai dengan peraturan nomor 43 tahun 2017 tentang pemberian restitusi bagi anak korban tindak pidana. Dalam aturan tersebut, kata hakim, apabila pelaku berhalangan, dialihkan kepada siapa membayar restitusi itu.
“Majelis hakim berpendapat bahwa tugas negara adalah melindungi dan mensejahterakan warganya, negara hadir melindungi warga negaranya dan perkars ini adalah para anak korban dan anak korban maka majelis hakim berpendapat bahwa tepat apabila beban pembayaran restitusi diserahkan kepada negara,” kata Hakim.
Hakim menilai dalam hal ini, pembayaran dilakukan oleh pemerintah melalui kementerian yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA).
“Pemberian restitusi sebesar Rp 331 juta dibebankan kepada kepada kementerian tersebut dalam DIPA tahun berjalan. Apabila tidak tersedia, anggaran itu maka dianggarkan DIPA tahun berikutnya,” tuturnya.
Sikap Herry Wirawan Usai Vonis
Herry Wirawan divonis penjara seumur hidup usai memperkosa 13 santriwati. Herry menganggap putusannya itu bukan sesuai keinginan.
“Jadi intinya bahwa itu bukan keinginan kami. Bukan kami yang menanggapi dan memutuskan putusan hakim, tapi nanti terdakwa yang akan memilih sikapnya, menerima, banding atau pikir-pikir,” ucap Ira Mambo kuasa hukum Herry usai persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (15/2/2022).
Ira menuturkan kliennya itu mengambil sikap pikir-pikir selama tujuh hari atau putusan hakim tersebut. Dia menyerahkan sepenuhnya keputusan itu kepada Herry.
“Tentu kami yang akan mendapat kabar dari itu, kami ada waktu tujuh hari untuk pikir-pikir, kalau mau menyatakan banding berarti kita akan menyiapkan memori bandingnya, yang pasti putusan tadi banyak pertimbangan kami yang diterima oleh hakim pembelaannya,” kata dia.
Usai putusan dibacakan, Herry sempat berbincang dengan kuasa hukumnya. Menurut Ira, pihaknya menyampaikan beberapa pemahaman terhadap Herry.
“Tadi saya memberikan pemahaman agar dia dapat menentukan sikapnya, tentu tidak bisa hari ini. Kami beri waktu dia untuk berpikir, nanti kami dikabari. Jadi yang utama keinginan dari terdakwa atau klien kami, yang pasti kami hanya memberikan gambaran terbaik untuk terdakwa mengambil keputusan,” tutur dia.
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat (Jabar) turut menyikapi vonis tersebut bisa memberikan efek jera dan menjadi pelajaran orang lain.
“Jadi, bagi kami ya sudah cukup. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana perlindungan terhadap korban yang masih anak-anak, dan anak-anak yang dilahirkan korban,” kata Manager Program LPA Jabar Dianawati saat dihubungi detikcom, Selasa (15/2/2022).
Dianawati mengatakan sebelumnya mendapatkan tuntutan yang berat. Sebab, lanjut dia, jumlah korban dan berbagai faktor pemberat lainnya menjadi alasan menuntut hukuman mati, dan tuntutan berat lainnya. DETIK