Sebuah organisasi advokat yang ideal adalah single bar, dengan mengacu pada satu aturan pusat. Namun jika hal itu tidak memungkinkan untuk diterapkan, maka multi bar bisa menjadi pilihan. Dengan syarat, diperlukan pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN) untuk menjaga kode etik dan marwah advokat sebagai profesi yang officium nobile.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (FH UNS) Muhammad Rustamaji menyebut UU Advokat sudah tercabut dari akarnya karena isi teks UU yang sudah tidak sejalan dengan konteks yang terjadi saat ini. Hal ini dia sampaikan terkait organisasi advokat (OA) yang kini sudah terpecah menjadi banyak organisasi (multibar), dan sudah tak sejalan lagi dengan UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.
“Misalnya, di UU Advokat hanya menunjuk satu organisasi advokat sebagai presentasi itu single bar, tapi dengan munculnya Surat Ketua MA, yang itu ternyata dalam aplikasi di lapangan menghasilkan multibar,” kata Muhammad Rustamaji dalam wawancara singkat bersama Hukumonline di kantor Dekan FH UNS, Jum’at (6/9/2024).
Menurut pria yang akrab disapa Aji ini, kondisi ini tidak boleh dibiarkan dan harus di sinkronkan. Entah tetap pada single bar, ataupun justru memilih multi bar. Tentunya dalam memilih bentuk OA yang ingin digunakan perlu dicermati dan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan pada keduanya, di mana setiap bentuk akan memiliki konsekuensi logis yang harus mencerminkan antara teks (UU) dan konteks.
Dia mengatakan jika teks (UU) pada akhirnya menghendaki multibar maka konsekuensi yang muncul adalah tidak adanya standardisasi organisasi advokat, mulai dari mekanisme perekrutan, kode etik, hingga penegakan kode etik. Hal ini berpotensi menyuburkan praktik ‘kutu loncat’, di mana seorang advokat yang sudah mendapatkan sanksi di satu OA bisa dengan mudahnya berpindah ke OA lain.
Lalu bagaimana jika UU tetap mengatur single bar? Aji menilai pada sistem ini kekuasaan terhimpun dalam satu OA. Konsekuensi atas bentuk ini akan membangun kekuasaan yang besar yang akan memberikan kesempatan untuk menyelewengkan kekuasaan.
“Keduanya sama-sama berbahaya, ada risiko hukumnya tetapi sistem itu harus dipilih dengan bertanggung jawab,” ucap Aji.
Memang, sebuah organisasi advokat yang ideal adalah single bar, dengan mengacu pada satu aturan pusat. Artinya OA bisa memiliki cabang di daerah, namun indikator profesionalitas advokat harus dipegang penuh oleh satu kekuasaan yang akan bertanggungjawab menyusun kode etik advokat.
Namun jika hal itu tidak memungkinkan untuk diterapkan karena banyaknya kepentingan dan potensi penyelewengan, maka multi bar bisa menjadi pilihan. Dengan syarat, diperlukan pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN) untuk menjaga kode etik dan marwah advokat sebagai profesi yang officium nobile.
“Kalau ada DAN tidak apa-apa sebenarnya sebagai solusi alternatif, pilihan, impossible. Ya sudah enggak usah organisasi advokat A, B, C, tapi kemudian ditampung petinggi-petinggi dari wakil organisasi advokat, kemudian dibentuk sebuah DAN. DAN menegakkan, membuat aturan yang namanya kode etik dan advokat tetap menjadi officium nobile, profesi yang mulia,” lanjutnya.
Aji menegaskan kondisi advokat yang baik dan profesional akan berdampak terhadap kepentingan pencari keadilan. Karena ketika advokat tidak profesional dengan keilmuan yang mumpuni, tidak memiliki jam terbang yang tinggi, akan membuat para pencari keadilan mendapatkan ketidakpastian. Sehingga untuk menjaga marwah profesi advokat, lanjut Aji, diperlukan DAN yang diisi oleh orang-orang yang sudah memiliki jam terbang tinggi sebagai advokat.
“Makanya ketika DAN dibentuk berisi orang-orang yang punya jam terbang tinggi, kemudian selesai dengan urusan masing-masing organisasi advokat. DAN menentukan kode etik dan menjaga marwah seorang advokat, itu akan menjadi soulsi yang negotiable yang saat ini bisa ditempuh sebagai jalan tengah,” katanya. HUKUMONLINE