Sistem Demokrasi
Dalam sistem demokrasi yang menjunjung kedaulatan rakyat pula berlaku sifat majority rule dimana suara terbanyak sebagai pemenang yang berhak menentukan kehendak. Kelemahannya adalah bahwa tidak semua keputusan itu benar dan adil, terkadang suara minoritas justru dirasa lebih tepat dari perspektif Konstitusi. karenanya untuk mengimbangi kedaulatan rakyat, diperlukan juga kedaulatan hukum (nomokrasi) agar demokrasi tidak digunakan untuk melegitimasi hal-hal inkonstitusional.
Jika ada kontestasi politik untuk melaksanakan demokrasi yang ternyata melanggar hukum maka nomokrasi harus meluruskannya, harus ditegakkan tanpa harus menunggu selesainya satu agenda politik.
Pemerintah sebagai wakil rakyat menciptakan politik hukum yang mestinya berpihak pada kepentingan rakyat, namun tentu hal ini berpotensi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan tertentu (abuse of power), wakil rakyat bahkan dapat saja melakukan tindakan over-span, lebih dari kewenangan yang diberikan.
Menurut Mahfud MD, Politik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. [Moh. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Pustaka PL3ES Indonesia, hlm. 5]
Negara hukum demokratis, memiliki dua kedaulatan yang bersintesis dan terintegrasi, sebagai kekuasaan hukum dan kekuasaan rakyat. Kekuasaan hukum artinya kedaulatan didasarkan pada hukum (nomokrasi).
Dalam pandangan filsuf Hegel sampai dengan Aristoteles, [Jurgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, diterjemahkan oleh William Rehg, Cambirdge, Massachusetts: MIT Press, (1996), hlm 8] negara merupakan pusat suatu masyarakat yang dianalogikan sebagai suatu subjek yang besar.
Demikian pula Plato, mengasumsikan konsep negara hukum sebagai macro antrophos (manusia raksasa). Maksudnya adalah posisi raja sebagai kepala, hukum sebagai sistem sarafnya, tentara sebagai tangannya, dan lain sebagainya. [Th. Hidya Tjaya, J. Sudarminta, Menggagas Manusia Sebagai Penafsir, Yogyakarta: Kanisius, (2005), hlm. 150]
Setelah memasuki era Rasionalisme, lahir dan berkembanglah ajaran filsuf-filsuf yang berusaha untuk membatasi kekuasaan para penguasa negara, antara lain yang dilakukan oleh:
- John Locke tentang hak asasi manusia;
- Montesquieu tentang trias politika (pembagian kekuasaan menjadi 3 unsur);
- Jean-Jacques Rousseau tentang kedaulatan rakyat; dan
- Maurice Duverger tentang pemilihan dan pengangkatan para penguasa negara yang akan memegang dan melaksanakan kekuasaan negara. [Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, (2005), hlm. 224-225]
Demikian juga Jimly Asshiddiqie mengutip Brian Thompson mengatakan, legitimasi konstitusi berdasarkan sumber kedaulatan negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka rajalah yang menentukan berlaku atau tidaknya suatu konstitusi (constituent power). [Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, London: Blackstone Press, (1997), hlm. 3]
Menurut Gus Dur, demokrasi menghendaki pembuatan hukum dilakukan oleh rakyat atau lembaga perwakilannya berdasarkan kehendak suara yang terbanyak, sedangkan nomokrasi menghendaki pembangunan hukum dilakukan menurut prosedur tertentu yang adil serta menurut filosofi hukum. Hukum tidak bisa dibangun hanya semata-mata dengan suara terbanyak atas nama demokrasi saja. Hukum harus sesuai dengan filosofi dan logika peraturan perundang-undangan yang menyertainya sesuai dengan prinsip nomokrasi. [Gus Dur, Islam, Politik, dan Kebangsaan, Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, (2010), hlm. 106]
Kelembagaan Demokrasi dan Nomokrasi
Fenomena reformasi yang ditandai dengan mundurnya Soeharto juga diikuti dengan delegitimasi pemilu 1997 yang berujung pemilu ulang di tahun 1999. Gagasan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan gagasan kedaulatan hukum (nomokrasi) oleh UUD RI 1945 secara ideal bersanding melalui pasal 1 ayat (2) dan pasal 1 ayat (3), yakni demokrasi yang didasarkan pada hukum, sedangkan di sisi lain negara hukum kita bersifat demokratis.
Setiap aturan hukum yang dibuat melalui mekanisme demokrasi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, sebab aturan hukum yang dibuat dengan mekanisme demokrasi adalah produk ”mayoritas rakyat”, sedangkan konstitusi adalah produk ”seluruh rakyat”, artinya demokrasi diatur dan dibatasi oleh aturan hukum, sedangkan substansi hukum itu sendiri ditentukan dengan cara-cara yang demokratis berdasarkan konstitusi.
Penulis sependapat dengan Zulfirman yang mengatakan bahwa secara substansial, makna demokrasi dari kacamata hukum ada dua yakni berkaitan dengan norma berupa cara memperoleh kekuasaan dan bagaimana melaksanakan kekuasaan. [Ontologi Demokrasi, Jurnal Hukum 14 (2) Juni 2006, FH Universitas Sultan Agung (UNISULA) Semarang, hlm. 137-138]
Gagasan implementatif mengenai demokrasi dan nomokrasi ini juga terafirmasi melalui pernyataan Menko Polhukam Moh. Mahfud MD pada SIARAN PERS No. 176/SP/HM.01.02/POLHUKAM/9/2020 yang menyampaikan bahwa, jika iklim demokrasi tidak ingin kacau, maka harus diimbangi oleh nomokrasi.
Beliau juga mengatakan, karena demokrasi dan bentuk negara kesatuan, merupakan komitmen keyakinan pendiri negara bahwa asas dan sistem bernegara yang baik adalah demokrasi. Semua itu sudah dirumuskan melalui perdebatan panjang dan voting para pendiri negara.
Kedaulatan Hukum
Menurut Krabbe, teori kedaulatan hukum mengandaikan bahwa pemimpin tertinggi di suatu negara bukanlah seorang tokoh, tetapi sebuah sistem aturan. Manusia hanyalah wayang dari skenario yang telah disusun dan disepakati bersama dengan menampilkan para wayang itu sebagai pemeran. [H. Krabbe, The Modern Idea of The State, New York: D. Appleton and Company, (1992), hlm. 37]
Hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai sub sistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.
Hukum bukanlah model idealis dari moral masyarakat atau setidak-tidaknya masyarakat bukanlah manifestasi normatif dari apa yang telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Kenyataan dalam masyarakat akan berubah tatkala masyarakat melakukan transisi ke situasi-situasi baru, yang berhubungan dengan membesarnya agregasi dalam kehidupan. Juga kian meningkatnya interdependensi antara segmen-segmen sosial, terutama dalam kehidupan ekonomi.
Kehakiman Masih Dipandang Sebelah Mata
Nallom Kurniawan, Peneliti Mahkamah Konstitusi saat menyampaikan materi dihadapan 50 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro di MK, Jumat, 30 Agustus 2019 pada intinya menyampaikan, sebelum perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman dipandang sebelah mata. Disisi lain posisi lembaga eksekutif sangat dominan. Selain itu penafsir konstitusi didominasi oleh parlemen sebagai pembuat undang-undang bersama lembaga eksekutif sehingga masyarakat menilai perlu ada lembaga penyeimbang.
Selanjutnya beliau sampaikan, pasca perubahan UUD 1945, Indonesia masih menganut sistem demokrasi tapi tidak satu-satunya sistem. Ada juga prinsip kedaulatan hukum yang disebut nomokrasi. Jadi menyandingkan sistem demokrasi dan nomokrasi. Efeknya, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. Semua lembaga negara kedudukannya setara, yang membedakannya hanya fungsi.
Sekjen MK Janedjri M. Gaffar, Sabtu tanggal 6 Desember2019 di Pusdik Pancasila dan Konstitusi mengatakan, bahwa “Menjalankan tugas sebagai Hakim MK sangat berat, mereka dituntut untuk memiliki integritas tinggi, memiliki keahlian dalam bidang ketatanegaraan, dan harus menempatkan diri sebagai negarawan. Merekapun harus menjaga independensi dan imparsialitas karena di pundak merekalah kepercayaan publik dibebankan. Oleh karena itu, dalam proses maupun pelaksanaan keputusan MK masyarakat harus aktif melibatkan diri agar bersama-sama kita menjaga negara ini tetap utuh dan teratur”.
Mengutip pula Benjamin Nathan Cardozo dengan pemikirannya bahwa hakim memiliki kebebasan untuk memutuskan suatu perkara, tetapi batasannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan hukum. [Benjamin N. Cardozo, The Nature of The Judicial Process, New Haven: Yale University Press, (1946), hlm. 143]
Menurut penulis, merujuk pada pendapat Afiuka Hadjar, dan kawan-kawan [dalam Suripto “Wewenang Mahkamah Konstitusional menguji UUD (judicial review)”, Jurnal Negarawan, 21 juni 2007, Sekretaris Negara Republik Indonesia] dari 4 (empat) hal yang melatarbelakangi pembentukkan Mahkamah Konstitusi yang paling utama adalah tentang Paham Konstitusionalisme untuk adanya pembatasan kekuasaan, dengan alas sebagai konsep negara hukum bahwa hukum mengatasi kuasaan negara, hukum akan melakukan kontrol terhadap politik serta konsep hak-hak sipil warga negara menyatakan bahwa kebebasan warga negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi.
Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Penegak Hukum Konstitusi dalam mencapai keadilan substansi yang progresif yang mengawal demokratis dan menegakkan konstitusi dengan kewenangan membuat keseimbangan antara demokratis (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum).
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL