Pada Selasa tanggal 26 Maret 2024 penulis diamanatkan untuk mengikuti agenda Diseminasi Hasil Penelitian Asesmen Peraturan Internal Lembaga Penegak Hukum tentang Keadilan Restoratif Terhadap KUHP 2023 dan melakukan kajian terhadap pokok-pokok pikiran yang ada dalam acara tersebut, yang dimoderasi oleh Gregorius Yoseph Laba, dihadiri juga oleh pegiat dari ICJR.
Pada dasarnya, topik berfokus pada konteks Restorative Justice (keadilan restoratif) dengan paradigma Victim Offender Restoration, yang mana secara eksplisit disebut dan diamanatkan dalam Pasal 132 ayat (1) huruf g UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUH Pidana berbunyi, “telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.”
Sesi pertama dari kegiatan ini adalah pengantar oleh Aisyah Assyifa, Peneliti IJRS yang memaparkan hasil penelitiannya, mencakup elemen-elemen keadilan restoratif yang diejawantahkan ke dalam hasil restoratif (restorative outcomes) yang diperoleh dari pelaksanaan proses restoratif (restorative process).
Masud dari hasil restoratif (secara umum) adalah pemulihan (restitution), baik itu berupa pemulihan atas kerugian nyata yang dialami korban, dan/atau pemulihan hubungan interpersonal di masyarakat yang sebelumnya rusak karena akibat dari tindak pidana. Hasil restoratif berupa pemulihan tadi dapat dicapai melalui proses restoratif.
Terhadap peraturan internal lembaga penegak hukum ditemukan bahwa meskipun materi pengaturannya adalah hukum acara, tetapi pengaturan tersebut tidak diatur dalam undang-undang, melainkan peraturan internal saja, padahal Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Kekurangan dari peraturan-peraturan internal ini bersifat sektoral, belum berorientasi pada korban, dan memberikan batasan waktu dalam pemulihan korban. Adanya pengaturan yang terpisah pada internal Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung memiliki konsekuensi pada tidak adanya integrasi kebijakan antara lembaga penegak hukum terkait keadilan restoratif.
Pemaknaan keadilan restoratif dalam berbagai peraturan internal lembaga penegak hukum tersebut juga belum berorientasi pada pemulihan korban, namun justru sebagai alternatif penyelesaian perkara di luar persidangan. Hal ini dapat dilihat dari Perpol 8/2021 dan Perja 15/2020 bertumpu pada berita acara kesepakatan perdamaian menjadi syarat penghentian perkara maupun penuntutan, namun pembatasan jangka waktu perdamaian membuat upaya pemulihan korban menjadi sulit untuk dicapai.
Perlu dicatat bahwa jika kewenangan ini tetap berjalan maka ia harus memiliki hubungan dengan bentuk penyelesaian perkara di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 132 ayat (1) huruf g KUHP 2023 terkait telah adanya penyelesaian di luar proses peradilan yang diatur dalam Undang-Undang sebagai salah satu alasan gugurnya kewenangan penuntutan.
Meskipun pada dasarnya, keadilan restoratif dapat diterapkan di setiap tahapan peradilan baik pra adjudikasi, adjudikasi maupun pasca adjudikasi terminologi keadilan restoratif dalam penghentian penuntutan secara prinsip dibangun dalam mekanisme yang keliru dan tidak sejalan dengan pendekatan keadilan restoratif, sebab syarat kesepakatan perdamaian menunjukkan masih belum sepenuhnya berperspektif korban.
Dengan munculnya Pasal 132 ayat (1) huruf g KUHP 2023 yang mengatur semua ketentuan mengenai penyelesaian perkara di luar persidangan harus diatur oleh undang-undang, maka semua ketentuan yang masih tersebar dalam peraturan internal lembaga penegak hukum perihal segala bentuk penyelesaian perkara di luar persidangan, menjadi tidak memiliki kekuatan hukum karena sudah bertentangan.
Selanjutnya, dalam sesi tanggapan dari H. Suharto, SH, M.Hum, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Republik Indonesia, menyampaikan bahwa Mahkamah Agung sedang merancang perma (RAPERMA) sebagai pedoman praktik-praktik keadilan restoratif dalam putusan hakim yang merupakan breakdown atau yang dimandatkan KUHP baru meliputi proses penyidikan, penuntutan hingga pengadilan.
Perdebatan masih ada di MA adalah bilamana RJ diatur dalam sebuah instrumen setingkat undang-undang untuk semua tindak pidana atau hanya tindak pidana tertentu saja.
Sementara ini, Pokja dan Pimpinan sepakat merancang PERMA yang didalamnya tidak berbicara tentang jenis tindak pidana melainkan tentang ancaman, selama lebih-kurang 3 Rapim merumuskan pasal 6 dari rancangan tersebut mengenai semua tindak pidana yang diancam maksimal 5 tahun yang dimungkinkan RJ, namun ditemukan juga bahwa dalam Tipikor ada yang ancamannya cuma 5 tahun, misalnya pasal 11 yang nantinya akan dilakukan pembahasan lebih lanjut.
MA memberikan catatan kecil atas Pasal 132 ayat 1 huruf g KUH Pidana Nasional mengenai apa yang dimaksud dengan penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang, artinya, KUHP baru itu memberi mandat pada pembentuk undang-undang.
Inilah yang sempat diisi oleh masing-masing lembaga penegak hukum sebelum instrumen setingkat undang-undang yang mencakup aturan penyelesaian di luar proses persidangan termasuk tahap penyidikam, penuntutan dan persidangan.
Problem lainnya, jika terjadi proses kesepakatan untuk pemulihan maka didalamnya tidak boleh ada dwang-dwaling-bedrog tidak ada kesesatan ada paksaan maupun penipuan, selain itu perdamaian hanya menjadi problem ketika nantinya saat sidang pidana itu terbuka sementara mediasi itu prinsipnya tertutup dan bersifat rahasia, merupakan konsensus dari kedua belah pihak padahal pidana adalah urusan melawan aturan negara.
Tenggapan selanjutnya dari Dr. Sugeng Purnomo, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM pada Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenpolhukkam), beliau memaparkan bahwa Kemenpolhukam sejak 2023 membentuk tim yang terkait dengan keadilan restoratif, yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Kemenkumham, BAPPENAS, koalisi masyarakat sipil, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, BNN dan seterusnya.
Diskusi-diskusi itu juga mengundang MA untuk memberikan masukan-masukan, terutama dari tim libang Mahkamah Agung, ada satu pemikiran bilamana penyelesaian RJ ini harus dalam bentuk undang-undang maka Kemenpolhukam menyadari topik penyelesaian di luar pengadilan sudah dibicarakan sebelum lahirnya KUHP.
Dalam praktiknya evaluasi tim diperlukan penyelarasan, perlu ada keseragaman pemikiran bahwa jika menyelesaikan satu perkara pidana dengan menggunakan RJ yang memanfaatkan regulasi yang sifatnya sektoral menjadi praktek yang tidak tepat, oleh karenanya Kementerian mempersiapkan rancangan tentang RJ.
Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut tentunya merujuk berbagai ketentuan baik itu hukum acara maupun peraturan sektoral, dan Kemenpolhukan lebih cenderung menggunakan instrumen lembaga pengadilan, jadi bukan semata-mata RJ mesti dihentikan perkaranya sebab konsep keadilan restoratif yang sudah berjalan dengan sifat voluntair dari para pihak tersebut adalah konsep yang berbeda.
Kementerian berharap perdamaian pemulihan tersebut menjadi pertimbangan bagi majelis hakim untuk memutus perkaranya, meski ada jenis tindak pidana yang memungkinkan untuk tidak perlu sampai dilakukan pelimpahan pemeriksaan di pengadilan namun tetap menggunakan instrumen pengadilan dengan mekanisme pengiriman berkas untuk diteliti oleh pengadilan mengenai kelayakan penyelesaiannya di luar pengadilan.
Memang ini belum ideal, bahkan sempat dikritik oleh beberapa akademisi yang mengatakan bahwa pengaturan melalui PP adalah tidak tepat sebab mestinya pada level undang-undang, argumentasinya adalah apa yang bisa kita lakukan saat ini di mana lembaga penegak hukum kita menggunakan praktik RJ dengan merujuk pada peraturan yang sifatnya sektoral di internal masing-masing maka kita perlu siapkan mekanismenya namun harapan dan langkah ke depannya adalah draf yang Kementerian siapkan itu akan menjadi embrio dari penyelesaian di luar pengadilan dalam bentuk undang-undang.
Selama ini RJ sifatnya adalah diskresional, yang mana jika berhenti pada tahap penghentian perkara maupun penghentian penuntutan maka berdasarkan pengalaman masih dapat dilakukan upaya hukum melalui lembaga pra-peradilan.
Selain itu, semakin banyaknya penyelesaian melalui RJ seperti itu maka sangat dimungkinkan muncul ego dan arogansi sektoral, apalagi pengaturannya by institution yang semestinya by system yang membutuhkan instrumen hukum serta pelibatan lembaga yang lebih tinggi, bukan untuk mengambil keputusan melainkan putusan yang berkekuatan hukum. Banyak fakta di lapangan yang mana ketika suatu pihak menolak keputusan diskresional tersebut malah diancam atau diproses pidana dengan jerat aturan lain.
Masalah lainnya adalah bahwa kesepakatan yang dibuat dalam proses RJ pada dasarnya bukan syarat utama melainkan hanya salah satu syarat saja diantara pemulihan hak korban, keyakinan hakim dan rechtelijk pardon.
Sebagaimana yang kita ketahui sebagai Advokat, polemik umum yang seringkali terjadi adalah bahwa PERMA belum dianggap sebagai aturan yang mengisi kekosongan hukum sehingga sering pula disebut sebagai yang hanya mengikat Kehakiman sebab bukan UU, hanya ditempatkan sebagai pengganti prosedur beracara atau berperkara, dan mindset yang saat ini ada adalah RJ sudah bukan perkara lagi.
Menurut penulis, urgensi hukum pidana saat ini adalah bagaimana mengubah paradigma PERMA sebagai aturan setingkat UU, dan memastikan PERMA menjadi instrumen pengedalian di ranah Yudikatif, Pasal 132 ayat (1) huruf g UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUH Pidana dapat menjadi pintu masuk bagi peraturan-peraturan yang bersifat sektoral lainnya, artinya lembaga-lembaga penegak hukum diluar Kehakiman akan membuat aturannya sendiri-sendiri, sebab KUH Pidana Nasinal memang menyisakan ruang intrusi dan penetrasi politik hukum itu.
Apalagi berdasarkan analisa dari Pusat Analisis dan Evaluasi BPHN mengatakan bahwa Perja dan Perpol harus konsisten dengan aturan diatasnya, yang menurut penulis aturan diatas Perja dan Perpol hampir tidak ada relevansinya dengan domain Yudikatif selain kepentingan Negara dalam arti sempit yaitu kepentingan dan mindset Pemerintah (Eksekutif) dimana lembaga-lembaga penegak hukum tersebut menjadi alat negara/pemerintah, dan ini berpengaruh pada penilaian masyarakat awam terhadap proses peradilan tanpa kepahaman mengenai apa itu lembaga hukum, hukum dan pengadilan.
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL