Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang (UU Kepailitan) telah mengatur tiga syarat permohonan pailit/PKPU kepalitan. Ketiga syarat tersebut di antaranya (1) memiliki utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih; (2) terdapat dua kreditur atau lebih; dan (3) dapat dibuktikan secara sederhana. Adapun syarat terakhir (‘dapat dibuktikan secara sederhana’) mengundang kontroversi di kalangan pengurus dan kurator tanah air. Hal ini tidak lepas dari hasil rapat pleno Kamar Perdata Mahkamah Agung yang diterbitkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2023.
Angka (2) hasil rapat pleno Kamar Perdata Mahkamah Agung tersebut menyebutkan bahwa:
“Permohonan pernyataan pailit ataupun PKPU terhadap pengembang (developer) apartemen dan/atau rumah susun tidak memenuhi syarat sebagai pembuktian secara sederhana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.”
Sementara, Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan sendiri mengatur bahwa:
“Permohonan penyertaan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”
Managing Partner IndoLaw sekaligus President Director PT. Officium Nobile IndoLaw, Dr. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto mengungkapkan, rumusan hasil rapat pleno kamar perdata tentang permohonan pailit atau PKPU terhadap pengembang di atas memiliki dasar pemikiran yang kurang tepat.
“Jika kerumitan dampak pailit atau PKPU yang menjadi pertimbangan MA untuk melarang permohonan pailit atau PKPU developer apartemen/rumah susun menjadi dasar, harusnya dilihat kembali maksud dari pembuktian sederhana itu,” ujar Tjoetjoe.
Menurut Tjoetjoe, ketentuan Pasal 8 ayat (4) secara tegas mendasarkan kepada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepalitan mengatur bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
“Artinya yang dapat dibuktikan secara sederhana menurut Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepalitan adalah adanya dua atau lebih kreditur dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih,” terang Tjoetjoe.
Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini menambahkan, dua atau lebih kreditur di sini mencakup kreditur konkuren, kreditur separatis, maupun kreditur preferen. Sedangkan, tentang utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih adalah kewaijban untuk membayar utang yang telah jatuh tempo, baik karena telah diperjanjikan; percepatan waktu penagihan karena diperjanjikan; karena sanksi atau denda; maupun putusan pengadilan.
Karena itu, Tjoetjoe menilai bahwa dampak penyataan pailit atau PKPU terhadap developer apartemen/rumah susun yang menimbulkan kerumitan bukan merupakan objek dari pembuktian sederhana sebagaimana yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Kepailitan.
“Kamar Perdata Mahkamah Agung perlu melihat kembali dasar pelarangan permohonan penyataan pailit atau PKPU developer apartemen atau rumah susun jika pertimbangannya adalah dampak dari putusan yang menimbulkan kerumitan,” tutup Tjoetjoe. HUKUMONLINE