Romantisme Hukum AdvoKAI Klaten: Politik, Moral dan Kepedulian - Kongres Advokat Indonesia

Romantisme Hukum AdvoKAI Klaten: Politik, Moral dan Kepedulian

Pembicaraan yang sangat menarik dan diluar nurul, pertemuan yang terbilang singkat namun padat seperti ini sebetulnya sekedar silaturahmi yang direncanakan sejak setahun lalu, baru bisa terwujud sekarang.

Ternyata, bertepatan dengan Hari Keadilan Sosial Internasional, tanggal 20 Februari 2024. Rasanya, akan menjadi topik yang menarik untuk penulis berbicara mengenai problematika organisasional secara sederhana dan singkat, namun harus tetap objektif. Gagasan ketidakadilan sosial dengan beberapa komponen, yaitu martabat manusia, keutamaan kebaikan bersama, hak dan tanggung jawab timbal balik.

Tanggal 26 November 2007, Majelis Umum PBB menyatakan bahwa mulai dari sesi ke-63 Majelis Umum, tanggal 20 Februari akan diperingati setiap tahun sebagai Hari Keadilan Sosial Sedunia.

Masyarakat awam di era seperti ini terbantu dan tergantung dengan teknologi, konsekuensinya adalah suara/tulisan yang sangat mempengaruhi pandangan mereka yang belum stabil mencerna dan menemukan kerangka yang benar, semestinya penilaian juga didasarkan pada kaidah yang baik sehingga ketika sampai pada generasi berikutnya dapat dicerna dengan logika yang benar dan data valid, minimal mempunyai nilai kebijakan, bukan hanya luapan emosi atau kepentingan subjektif belaka akibat stimulasi mileu.

Kita, seringkali sudah meyakini sesuatu sebelum realitas (bedakan dengan fakta) itu disampaikan, sebab kepercayaan, kehormatan, kedekatan dan semacamnya, persepsi terbentuk lebih dulu.

Masih banyak yang belum memiliki kepekaan yang kuat dan informasi yang objektif, fenomena krisis pemahaman anggota terhadap konstelasi organisasi pada tingkat mikro cenderung tidak pernah tepat.

Dalam ranah hukum, pendekatan yang diambil oleh aktor internasional dalam mendukung supremasi hukum juga memperparah kondisi fragmentasi pada pembaharuan sistem peradilan pidana. Misal, donor internasional cenderung untuk mengelompokkan dukungan pada kejaksaaan dan peradilan di bawah program supremasi hukum atau rule of law, sedangkan di cabang penegakan hukum yang lain, Kepolisian malah masuk dalam kategori reformasi sektor keamanan atau security sector reform.

Fragmentasi yang over-spanning juga terjadi pada cabang yang lain, Pemasyarakatan, yang minim dukungan di dalam delapan atau beberapa tahun pertama reformasi, tanpa pertimbangan yang memadai tentang tradisi dan praktik hukum di negara yang mereka dukung.

Identik, namun dalam konteks yang berbeda. Terlalu riuh di WAG (whatsapp grup) tidak ada mata, gesture tubuh, intonasi suara dan kopi, pertukaran konten-konten yang diforward dari media sosial kedalam grup dengan segala argumentasi keberpihakan dan seterusnya, lalu lintas aktif namun tidak merata sebab hanya muncul dari segelintir orang dan ditanggapi pula oleh segelintir orang.

Dari sana topik pembicaraan bergulir dalam pertemuan, kami simak bagaimana Presiden TjoeSH, Sekretaris Umum Ibrahim, Bunda Bendum Yaqutina, mba Icha serta fungsionaris lainnya menyampaikan pandangan dan tanggapan/jawaban.

Seputar issue organisasi, pembicaraan hangat politik elektoral negara dan sudut pandang, uraian kalimat yang mengalir hanya didalam ruang pertemuan yang langka ditemui dalam ruang WAG tadi.

Setiap objek pembicaraan dilihat dengan keluasan sudut pandang dan diterapkan dengan pertimbangan yang bijak, seperti juga legal reasoning. Dibutuhkan kedewasaan dalam menentukan asas mana yang menjadi pedoman, kepastian, keadilan ataukah kemanfaatan.

Kita tidak bisa berkesimpulan dari sekedar tayangan konten atau peraturan tertulis secara kaku, ada sebab yang melatarbelakangi konten, ada silogisme dan konsekuensi logis yang membuat rumusan aturan seperti itu, tidak hanya berbicara sual hukum atau politik an sich, bukan materinya dan bukan tulisannya tapi apa yang ada dibalik itu semua, harus dikerjakan secara komprehensif, jangan main-main dengan nasib orang banyak.

Senang memperhatikan AdvoKAI Klaten bersuara dan berpendapat serta bertanya meski terbilang sensitif, tapi apa mau dikata memang harus disampaikan untuk memperoleh tanggapan sebagai dasar pertimbangan dalam mengorganisir anggota lainnya dengan baik, menjaga stabilitas dan mempertahankan kesehatan serta udara yang kondusif.

Sebuah kelompok memang tidak hanya bertujuan untuk menata namun ada pula intensi kesengajaan untuk merusak stabilitas yang terbangun, sebab keputus-asaan belaka, tidak bisa memenangkan hati banyak orang kemudian mengacaukan.

Kant, Hegel hingga Heidegger mengatakan, manusia hanya dapat mengenali penampilan, bukan hal-hal dalam dirinya sendiri, banyak hal yang belum diketahui dengan benar, realitas yang ada dan kita rasakan saat ini bukanlah yang apa adanya. Bahwa pikiran awam terlalu sederhana tanpa memiliki relasi dengan banyak pertimbangan, padahal, suatu pendekatan haruslah luas dan utuh untuk menemukan kebanaran.

Bagaimana persepsi kita terbentuk untuk menyimpulkan bahwa yang diketahui adalah representasi dari kenyataan? Apa alas pembentuk persepsi kita? Doxa (opini) ataukah episteme (pengetahuan)? Tentu butuh metodologi, sebuah kerangka dengan kaidah yang tepat dan realitas yang objektif pun luas.

Dalam fisika kuantum Bohr menggagas interpretasi Kopenhagen-nya, tentang dunia yang berbeda dari dunia keseharian. Acak dengan inti berbeda dari teori-teori fisika yang sudah ada, mustahil untuk mengerti bagaimana dunia kuantum dapat berjalan dengan sejelas-jelasnya.

Nein “Ding an Sich” aber “ “Ding fur Uns”, kata Engels. Benda yang “sendirinya itu tidak diketahui”, dari sehari ke hari sudah menjadi “benda kita” karena bentukan persepsi.

Bisa jadi, kesimpulan dan persepsi kita terbentuk hanya berdasarkan opini orang lain yang memang bertujuan untuk membatasi pikiran pendengar, hasud, intimidasi, distorsi, manipulasi, hoax dlsb.

Jauh diluar sana di waktu yang berbeda Joseph Goebbels berteriak lantang, kebohongan yang diulang seribu kali akan menjadi kebenaran. Kebenaran tidak penting dan (kampanye) sepenuhnya tunduk pada taktik dan psikologi, sampaikanlah dengan penuh percaya diri.

Baiknya, jangan seperti postulat yang tidak perlu lagi dibuktikan sebab kualitas manusianya, kesimpulan sudah terbentuk, justifkasi prematuure dan barrier apatisme, sepertinya lebih parah dari aksioma yang hanya sekedar belum teruji, postulat bisa jadi tidak mau diuji lagi mejauh dari tradisi empirisme dalam dunia hukum, terurtama legal reasoning Advokasi, taken for granted.

Mengutip Socrates via Harris-Chaudhuri, reformasi sudah menghasilkan sejumlah perubahan kelembagaan yang berkontribusi terhadap pembentukan ulang tata aturan kepemerintahan, demokrasi buruk bukan dari sistemnya, tetapi lebih kepada keadaan dan di tangan siapa demokrasi itu dijalankan. Demokrasi akan bengis di tangan mereka yang menjalankan kekuasaan tanpa kepekaan nurani. Sebaliknya, akan menjadi obat jika dijalankan oleh tangan-tangan yang bertanggung jawab dan punya komitmen.

Dalam hukum pun kita mengenal causalitas adequate secara objektif, rasanya penulis harus mengulangi terus karena memang menarik sekali soal objektivitas ini, tanpa kepentingan, lebih terang daripada cahaya.

Bukankah hidup penuh dengan kepentingan? Menunjukkan bagaimana watak si penanya, pernyataan dengan topeng pertanyaan, dia yang memiliki pertanyaan maka dia pemilik maksud pernyataan, tapi bukan pemilik jawaban maka tidak perlu ditanggapi agar tetap tidak memiliki apa yang banyak kebaikan miliki, sebab jawaban hanya akan digunakan untuk misi-kepentingan subjektif, biarkan berlanjut dengan karma, konsekuensi logika bebalnya.

Akhirnya, Goebbels merevisi propagandanya,Akan datang suatu hari, ketika semua kebohongan akan runtuh karena bobotnya sendiri, dan kebenaran akan kembali menang”, koreksinya.

Hari itu, saya ketahui juga jika saudara dari Klaten mendengar banyak cerita dan informasi dari beberapa tempat ketika bekerja. Issue yang meninggalkan premis faktual sebagai syarat membentuk preposisi sebagai alas kesimpulan yang objektif dengan validitas yang memadai.

Sebab, silogisme harus selalu mempunyai 3 (tiga) proposisi, dua premis dan satu konklusi (kesimpulan), metode yang tampaknya sederhana untuk berpikir kritis agar bisa membedakan antara argumen yang valid dan tidak, kategoris dengan premis atau hipotesis dengan diskret jika-maka atau malah disjungtif dengan premis mayor-minor, demikianlah nama lain inferensi logis.

Akhirnya, dari aliran pembicaraan dalam pertemuan saya simpulkan bahwa, syarat mendasar dari diskusi moral dan kepedulian akan dunia diluar diri mestinya adalah tidak hidup dengan memakan nasib orang lain/klien, cuma iblis yang ditakdirkan bicara baik untuk menjerumuskan.

Multi tafsir lah, yang sentimen mengambil jadi premis kebencian, yang lain menerima sebagai bahan introspeksi, lainnya lagi biasa saja, muncul juga stigma pengangguran, bahkan ada pula yang kagum sebab menilai saya rumit dan tampaknya cerdas, entah lah, saya hanya menulis dengan pembaca yang punya beragam watak dan maksud.

Sebaiknya saya cukupkan saja omongkosong saya, apalagi ada nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya di meja pertemuan, rasanya hari yang cerah dan pas sekali untuk memperingati juga Hari Keadilan Sosial Internasional sekaligus bancakan ruang rapat baru dengan perangkat konferensi dan telekonferensi, online-offline, sebagai operation center. Ada ruang baru juga yang bagus untuk podcast atau apalah guna manfaatkan teknologi dan agenda virtual secara realtime.

3,5 (tiga setengah jam) yang menghadirkan diksi, gesture dan sikap, spontanitas, pikiran kritis, intonasi dan volume suara, keakraban dan kopi, oh ya, penganan kecil dan tumpeng. AdvoKAI Klaten kali ini bisa mengenali apa, siapa dan bagaimana pemimpinnya secara langsung, keluar dari pragmatisme, skeptisisme terbayarkan saat itu juga, seperti merangkum waktu dan merelatifisir issue negatif yang tertahan bahkan berkembang sejak pandemi hingga tanggal 20 Februari kemarin. Matursuwun, pakdhe Ketua Abdul Khalim yang meredakan dahaga rindu saya pada saudara AdvoKAI Klaten.

Sore, AdvoKAI Klaten sudah harus kembali pulang, sekarang dengan kepastian dan pengetahuan yang lengkap di Hari Keadilan Sosial Internasional. Sedangkan penulis masih tetap bermain dengan serangkaian kata-kata di kepalanya, hukum adalah kesepahaman antara politik, moral dan kepedulian.

Saya kembali pada kesepian, tapi nuansa kopi menemani selubung ingatan saya sarwa hephzibah dan dzun nur’aini yang merindu dirumah.

*Adv. Agung Pramono, SH, CIL

1 Response
  1. Agus Harsono

    Pertanyaaan ataupun diskusi kecil bertepatan dengan hari keadialan sosial internasional kepada President KAI sbg penjajagan/ Gambaran untuk anggota KAI ke depan. Karena bagaimanapun juga President akan lebih cermat memberikan gambaran KAI ke depan agar lebih baik. Dan apa yg menjadi gagasan President perlu sekali anggota mendukung karena Presiden lebih menguasahi problim KAI ke depan.

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024