Dalil pemohon yang menyatakan pengalaman kerja para pensiunan hakim, jaksa, polisi, dan profesi lainnya di bidang hukum dan peradilan setara dengan kewajiban magang selama sekurang-kurangnya 2 tahun bagi calon advokat serta merta tidak selalu dapat dibenarkan.
Belum lama ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian Pasal 3 ayat (1) huruf c dan g UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait syarat menjadi advokat yakni tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara dan kewajiban magang selama 2 tahun berturut-turut di kantor advokat. Dengan begitu, norma Pasal 3 ayat (1) huruf c dan g UU Advokat tetap berlaku dan konstitusional.
“Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan MK No. 138/PUU-XXI/2023, Kamis (21/12/2023). Permohonan ini diajukan Indra Sofian yang menjabat Investigator Utama Pertama pada Direktorat Pengawasan Kemitraan, Deputi Bidang Penegakan Hukum, Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI.
Mahkamah menilai magang merupakan syarat penting untuk dapat diangkat menjadi advokat. Jika Pendidikan Kekhususan Profesi Advokat (PKPA) merupakan pembelajaran teori-teori hukum yang diperlukan bagi seorang advokat, lalu diujikan pemahaman terhadap teori-teori tersebut dalam Ujian Profesi Advokat (UPA). Sedangkan magang merupakan kesempatan menerapkan teori-teori hukum dalam bentuk penerapannya dikaitkan dengan kasus konkrit agar calon advokat dapat memiliki pengalaman praktis guna mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika dalam menjalankan profesinya.
“Calon advokat dapat memahami permasalahan nyata yang dihadapi atau ditangani saat menjalankan tugas dan pekerjaannya setelah diangkat menjadi advokat. Melalui magang, calon advokat akan belajar pula untuk memposisikan diri sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, berperilaku baik, jujur, dan berintegritas tinggi serta selalu menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan kode etik advokat,” demikian pertimbangan Mahkamah dalam putusan ini.
Profesi advokat merupakan bagian dari unsur dalam sistem peradilan dan salah satu pilar penegak hukum dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia (HAM). Advokat, dalam menegakkan supremasi hukum dan HAM dimaksud secara profesional dan berintegritas, mengaktualisasikan tugas profesi berupa pemberian bantuan jasa hukum, pendampingan, pemberian pendapat hukum, atau menjadi kuasa hukum untuk dan atas nama kliennya dengan tetap selalu berpegang teguh kepada kode etik advokat.
“Kekhususan ini ciri tersendiri yang dimiliki profesi advokat dan tidak dimiliki profesi penegak hukum lain,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan putusan.
Setiap orang yang ingin menjadi advokat perlu memahami, mendalami, menerapkan dalam praktik, berlaku dan menyatu dalam karakteristik, kode etik advokat, ataupun budaya kerja profesi advokat. Hal ini dapat diwujudkan dengan mengikuti magang yang bersifat terus-menerus dan berkesinambungan. Lalu, perlu ada bimbingan dan pendampingan serta pengawasan oleh advokat senior dan/atau dari organisasi advokat.
Dalil pemohon yang menghendaki agar calon advokat yang berpengalaman sebagai penegak hukum dibebaskan dari kewajiban menjalani magang sekurang-kurangnya selama 2 tahun berturut-turut di kantor advokat adalah dalil yang tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Hal ini semakin membuktikan kewajiban magang bagi calon advokat mempunyai tujuan, selain sebagaimana diuraikan, juga untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan kode etik advokat yang tidak ditemukan dalam tataran praktik ketika telah diangkat menjadi advokat.
“Dalil pemohon yang menyatakan pengalaman kerja para pensiunan hakim, jaksa, polisi, dan profesi lainnya di bidang hukum dan peradilan setara dengan kewajiban magang selama sekurang-kurangnya 2 tahun bagi calon advokat serta merta tidak selalu dapat dibenarkan.”
Menurut Mahkamah, jika kewajiban magang dibebaskan bagi calon advokat yang telah berpengalaman sebagai penegak hukum pada lembaga hukum, termasuk lembaga hukum administrasi. Hal tersebut akan berakibat calon advokat yang bersangkutan dikhawatirkan tidak akan mempunyai kompetensi yang menyeluruh terhadap karakter hukum acara maupun hukum materiil dari semua lingkungan peradilan yang ada di Indonesia.
“Mahkamah berpendapat Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan berbeda di hadapan hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan pemohon. Dengan demikian, permohonan pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.”
Sebelumnya, pemohon menceritakan telah mengalami kerugian dengan adanya ketentuan a quo. Pemohon telah memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun menjadi investigator selaku penegak hukum di KPPU. Berdasarkan Kongres Advokat Indonesia (KAI) pensiunan penegak hukum dan militer yang sudah mumpuni berpraktik sebagai advokat tidak perlu mengikuti magang di kantor advokat.
Pemohon berpendapat statusnya yang bukan sebagai “Pegawai Negeri atau pejabat negara”, seharusnya tidak ada larangan untuk menjadi seorang advokat. Lalu, Pemohon meminta MK untuk menerima permohonannya dan menyatakan Pasal 3 ayat (1) huruf c dan g UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. HUKUMONLINE