Sampai dimana pemahaman para capres dan cawapres dalam konteks ini? Demikian juga masyarakat awam? Sebab jika tidak maka hanya akan merongrong kewibawaan fungsi kekuasaan kehakiman dari Advokat.
Dalam debat capres pertama, Anis merencanakan sebuah program yang disebut sebagai hotline pelayanan pengacara gratis untuk rakyat yang mengalami masalah dan minta tolong kepada negara untuk didampingi pengacara dari negara.
Dari Prabowo, selain program untuk memperkuat gerakan pemberantasan korupsi sistematis dengan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman, jaminan untuk tidak mengintervensi penegakan hukum pada kasus-kasus korupsi secara spontan menyebut pula akan memperbaiki kualitas hidup para hakim dan aparat pengadilan selain aparatur sipil negara (ASN), TNI/POLRI, dan pejabat negara.
Menarik, saat Prabowo merespon Anies dengan menyatakan bahwa “kita harus membuat yudikatif kuat”, namun diujung dikatakan pula bahwa “harus ada merit system, supaya hakim itu yang terbaik untuk Indonesia”, merit system ini yang dipastikan bakal jadi masalah.
Sementara, menurut penulis kita masih trauma dengan otokratik legisme yang melakukan penetrasi dan intrusi pada yudikatif sehingga melahirkan judisialisasi politik, pola juristokrasi.
Dalam kesempatan yang sama Ganjar menyebut soal percepatan RUU Perampasan Aset, padahal ini merupakan kontroversi secara internal dalam tubuh partainya, tentu masih sangat segar dalam ingatan ketika Menkopolhukam Mahfud MD meminta kepada DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset milik koruptor tapi pimpinan sidang saat itu menyatakan bahwa di DPR RI ini tidak bisa apa-apa, tanpa perintah dan persetujuan pimpinan partai politik.
Ide hotline paris yang mengusung pengacara negara rasanya bakal menyimpangi fungsi kekuasaan kehakiman, sedangkan RUU Perampasan Aset dan kompetensi salah satu calon di bidang Hukum dan Kehakiman bisa jadi menyimpangi kewenangan yudikatif, embrio meritokrat.
Kenapa wacana berpikir para calon tersebut tendensius pada pola Yudikatif yang lebur kedalam kekuasaan Eksekutif?
Atau mungkin itu hanya paranoia dari penulis saja, entah, namun tetap, diharapkan nantinya RUU Perampasan Aset tidak sampai merugikan hak-hak atas penghidupan yang layak dan honorarium Penasehat Hukum.
Mari kita simak Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II tahun 2004 (hal.112) bahwa Kuasa/Wakil Negara/Pemerintah dalam suatu perkara perdata berdasarkan Staatsblad 1922 No. 522 dan Pasal 123 ayat (2) HIR adalah:
- Pengacara Negara yang diangkat oleh Pemerintah;
- Jaksa; atau
- Orang tertentu atau pejabat-pejabat yang diangkat/ditunjuk oleh instansi-instansi yang bersangkutan.
Artinya, antara pengacara negara yang ditunjuk oleh pemerintah dengan Jaksa adalah entitas yang berbeda. Merujuk pada frasa normatif tersebut jelas bahwa entitas tersebut berada diluar pemerintah, sedangkan jaksa eksplisit disebut tersendiri pada huruf b.
Maka pengacara negara ini adalah entitas khusus yang membutuhkan pengkatan oleh pihak pemerintah, bukan karena penunjukkan, sehingga pengacara negara tidak menunjuk pada jaksa.
Sangat perlu untuk jadi perhatian manusia hukum dan praktisi terhadap ketidakterbatasan persepsi tentang jaksa sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 35 ayat (1) huruf b, berbunyi: “Yang dimaksud dengan “mengefektifkan penegakan hukum” adalah kewenangan Jaksa Agung dalam menetapkan dan mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan guna terwujudnya sistem peradilan terpadu.”
Namun juga secara sistematis pasal 35 ayat (1) huruf b tersebut tidak bisa dilepaskan dengan huruf e, berbunyi “kewenangan ini dalam rangka Jaksa Agung sebagai advocaat generaal yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang Penuntutan”, yang diakhiri dengan frasa “melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan”, inilah batasannya, yaitu “menetapkan dan mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan guna terwujudnya sistem peradilan terpadu di bidang penuntutan”, tidak boleh keluar dari itu.
Tegas pula dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tersebut bahwa yang dimaksud dengan Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.
Artinya, jika merujuk pada kekuasaan kehakiman dalam fungsi yudikatif maka jaksa ada di bidang penuntutan, sedangkan fungsi lainnya diluar yudikatif akan selalu berkaitan dengan fungsi kepemerintahan, sehingga tidak dapat menerima kuasa dari masyarakat/publik umum selain pemerintah, memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut, termasuk pula Advokat.
Beberapa bulan belakangan, bahkan mungkin 2 tahun ini saya perhatikan pergerakan rekan Kejaksaan yang tidak didukung dengan aturan yang jelas secara eksplisit, mayoritas kegiatan lebih banyak pada pendekatan dan promosi dengan rujukan UU Kejaksaan dengan juncto-juncto, artinya hanya berdasarkan keterkaitan aturan saja yang mana menunjukkan bahwa tidak diatur secara eksplisit dalam UU Kejaksaan itu sendiri.
Misal, UU No. 11/2021 Tentang Perubahan Atas UU No. 16/2004 Tentang Kejaksaan RI Pasal 30C huruf f, yaitu menjalankan fungsi dan kewenangannya di bidang keperdataan dan/atau bidang publik lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang, artinya harus tegas disebut dan membutuhkan UU lain.
Dilain pihak, hal ini pasti akan bergesekkan dengan aturan lain dengan pihak-pihak yang lebih berkompeten dalam kewenangan perdata dan/atau bidang publik. Seperti misalnya sebagai konsultan dan pendampingan hukum masyarakat/publik dalam bidang perdata, TUN dlsb.
Secara sistematis dalam Pasal 18 ayat (2) UU tersebut mengurai bahwa Jaksa Agung dengan kuasa khusus ataupun karena kedudukan dan jabatannya bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara, di bidang perdata dan tata usaha negara serta ketatanegaraan di semua lingkungan peradilan, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintahan, maupun kepentingan umum.
Maka ia harus dimaknai dengan surat kuasa khusus atau dalam tugas khusus sebagai penuntut umum akan didasarkan kedudukan dan jabatan, karena itulah tepat disebut jaksa pengacara negara sehingga ia tidak bisa berbuat lain selain sebagai penuntut atau disifatkan sebagai barrister atas nama pemerintah, yang dapat dibedakan dengan entitas pengacara negara.
Asal kedudukan Kejaksaan dikukuhkannya Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960, di mana Kejaksaan dilepaskan dari pengertian kejaksaan pada Pengadilan, dan tidak lagi sekedar alat pelaksana kekuasaan pemerintah di bidang peradilan, melainkan juga merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri.
Jaksa merupakan aparat penegak hukum bagi negara secara sempit, yaitu dalam konteks pemerintah, bukan umum. Dan merupakan alat negara di bidang penuntutan, artinya dalam konteks negara peran rekan Kejaksaan hanyalah di bidang penuntutan, tidak yang lain.
Sedangkan untuk peran dan fungsi lainnya maka rekan Kejaksaan adalah peturutserta dan menjalin hubungan dengan organ lainnya, jadi tidak melenggang sendirian.
Sebagaimana disebut dalam UU No. 11/2021 Tentang Perubahan Atas UU No. 16/2004 Tentang Kejaksaan RI Pasal 33 huruf a yaitu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dan komunikasi dengan lembaga penegak hukum dan instansi lainnya. Artinya, kewenangannya relatif.
Jangan sampai para pejabat yang akan datang hanya berbicara tentang hukum tapi sama sekali tidak paham yang dibicarakan selain retorika sempit yang tidak mampu memilah fungsi kepolisian, fungsi penyidikan KPK, fungsi kekuasaan kehakiman, fungsi lobbying, fungsi solicitor, fungsi barrister, fungsi konsultan hukum, fungsi pembentukan lembaga negara dlsb pada ranah Yudikatif yang semestinya lebih tepat menjadi kewenangan Mahkamah Agung.
Sangat bisa dibayangkan bagaimana mekanisme dan materi penuntutan dapat saja bertransformasi sebagai fungsi kontrol terhadap materi putusan Hakim.
Dalam ranah judicial kepemerintahan tentu yang bertindak atau dilekati sifat sebagai triumvirat solicitor atau penasehat hukum bagi masyarakat adalah mensos, menkumham dan menkopolhukam dengan jaksa sebagai barrister.
Secara sistematis berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 38 ayat (2) huruf d dan e jo. UU No. 18 Tahun 2003 pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (1) maka yang dapat melakukan fungsi kekuasaan kehakiman dalam pemberian jasa hukum dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah Advokat memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU Advokat, yaitu sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat, dan wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
Diantara banyak hal, sepanjang yang penulis perhatikan dan sangat patut disayangkan adalah kenyataan bahwa banyak diantara rekan bahkan senior yang berprofesi Advokat gagal dalam menangkap permasalahan judisial yang muncul dalam setiap debat, visi, misi dan justeru masuk dalam jerat dukung mendukung dengan segala intriknya secara naif, terjebak.
Konotasi Yudikatif yang tidak dibedakan dari atau digeneralisir dengan Eksekutif hendaknya tidak berkembang menjadi persepsi yang mengakar, fakta ini tentu harus menjadi perhatian dan urgensi para Advokat agar secara naif tidak terjebak dalam alur ideologi leburnya kekuasaan memutus perkara kedalam kekuasaan pembentuk dan/atau pelaksana UU. Dari Yudikatif Montesquieu kepada Federatif John Locke melalui positivisme menjadi otokratik legism ke judicialization of politic lalu juristokrasi totalitarian akhirnya meritokrasi totalitarian.
Meski hak politik merupakan hak individual dan terpisah dari urusan profesional, tapi tidak demikian yang penulis simpulkan, Advokasi dalam hidup kebanyakan pekerja hukum hanya sebatas bisnis dan kebiasaan, sebatas pengacara pekerja peraturan perundang-undangan yang buta politik, hukum dan politik hukum, belum Advokat.
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL