…lalu muncul dan mengalirlah kalimat itu bersama kehadiran figur era baru yang menjawab kegelisahan sahabatnya yang tak lagi muda, tapi jiwanya.
“Tenang saja pak, saya sudah ada disini”, kalimat yang sangat membangkitkan gairah sekaligus mengharukan, dari sahabat muda yang bukan hanya dirindukan tapi diharapkan untuk mendampingi namun khawatir tidak akan mungkin, tapi jadi kenyataan.
Saya tidak merasakan nuansa retotika, malah politik berkelas bahwa sang sahabat muda ingin mengatakan, “terimakasih atas penantian dan doa bapak, akhirnya kehadiran saya jadi kenyataan, sebab sudah terlalu dalam penetrasi, sudah terlalu jauh intrusi politik praktis kedalam hukum negara, maka banyak handai-taulan yang tersinggung, seperti kata Ran Hirschl mereka harus menggunakan kewenangannya dalam mengadili kontroversi politik praktis dan mengubah pengadilan menjadi sebuah institusi politik sebagai terapi sesat pikir.”
Penulis bukan pengagum Gibran, sebelumnya terasa biasa saja ataupun Prabowo, ah politik receh seperti biasa dan tidak menarik, pikir saya, tapi setelah aliran kalimat itu saya sangat suka romansanya dan kenyataan seperti itu, penuh cinta-kasih dan keharuan, rindu-dendam.
Juga bukan berarti membela Mahkamah tapi lebih serius, membenarakannya malah. Hukum Tata Negara adalah bentuk lain dari politik.
Alasan penggunaan proses litigasi oleh aktor-aktor politik sebagai pengalihan penentuan masalah-masalah politik yang kontroversial kepada pengadilan secara sengaja, kemudian menyebutnya sebagai “manuver hegemoni” yang dilakukan oleh cabang kekuasaan politik untuk melahirkan aturan bahkan kebijakan publik yang kontroversial.
Mungkin saja memang terlintas ide otokratik legisme dimana hukum tidak ditujukan untuk melindungi hak masyarakat secara luas melainkan sebagai alat atau sarana kekuasaan untuk melegitimasi politik dan kepentingan penguasa, tapi saya sebut juristokrasi totalitarian.
Saya Advokat biasa dengan strata yang biasa saja, tapi menurut saya apa yang dilakukan Mahkamah Konstitusi masih dalam koridor yang tidak melampaui batas.
Karena pendapat pakar hukum tendensius dan manusia politik yang sedang diatas angin maka kebanyakan orang yang sukan bicara hukum bilang MK inkonstutusional tapi tidak menurut saya.
Sebab pendapat tendensius menghasud pikiran dengan UUD yang tertulis, padahal kita bicara konstitusi, artinya kesepakatan yang tidak tertulis juga.
UUD itu hanya staatgrundgezet dasar hukum tertulis saja, berbeda dengan konstitusi yang lebih luas. Bahkan, kita dibuat lupa, kita teralihkan bahwa diatas UUD itu ada staatfundamentalnorm yaitu Pancasila dengan 36 butirnya.
Inilah jiwa konstitusi, kita dihasud hanya membaca UUD yang hanya konstitusi tekstual, kita dibuyarkan dari konstitusi yang sebenarnya, jiwa UU, jiwa rakyat dan sejarah politik tatanegara.
Tom Ginsburg menyebut konsep yudisialisasi politik tidak hanya terhadap isu-isu yang bersifat konstitusional. Akan tetapi, kata “yudisialisasi” juga dapat disematkan pada persoalan dalam ranah yang lebih implementatif seperti dalam urusan administrasi pemerintahan.
Demikian juga Malcolm M. Feeley dan Edward L. Rubin berpendapat bahwa yudisialisasi, pada dasarnya, adalah lembaga peradilan yang memainkan peran untuk membuat kebijakan (judicial policy making). Peranan ini sah dimainkan oleh pengadilan dan sejatinya termasuk dalam kewenangan sebuah peradilan modern.
Tegas Owen Fiss mengatakan sebagai cabang kekuasaan, lembaga peradilan, memiliki peran dan fungsi yang sama dengan cabang kekuasaan lainnya dalam menentukan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi.
Inilah karma politik praktis yang pada intinya Thomas Meyer mengungkap bahwa partai politik harus mempertanggungjawabkan kepada pengadilan yang menempatkan diri sebagai political holder.
Benar bila dikatakan MK tidak taat UUD, tapi faktanya MK ada dalam jiwanya Konstitusi, kehendak rakyat yang saat ini disebut sebagai masyarakat bonus demografi.
Kita lihat saja bagaimana nanti legislatif membuat perubahannya putusan MK soal pasal 169 huruf q masih harus melalui pasal 171 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, keduanya masih harus diuji dengan penyesuaian oleh DPR-RI.
Singkatnya, saya pribadi masih bersama MK ketika mereka mempertahankan konsep Trias Politika dari Montesquieu, sebab dalam profesi sebagai Advokat harus telaten pada hal yang diluar kotak, ketika kedepan berubah menjadi versi John Locke, hukum yang abstrak dilumpuhkan kekuasaan politik (eksekutif) yang nyata, kita bakal kehilangan kuasa Yudikatif murni, akan lahir kuasa Federatif sebagai langkah (coba-coba yang mungkin nanti disebut revolusioner) penyelesaian hutang, kuasa ini justeru keluar dari karakter bangsa.
Hukuman yang keterlaluan tanpa pertimbangan politik hukum yang baik dan komprehensif juga visioner hanya mbuat Mahkamah khususnya Yudikatif berpotensi jadi bahan perundungan.
Jika Yudikatif dimentahkan kewibawaannya lalu siapa yang berpotensi dan berkompeten mengendalikan dunia hukum dan peradilan?
Itulah menurut saya permainan yang diruntuhkan oleh manusia hukum (Mahkamah) di sisi lain dampak putusan MK 90 yang terlepas dari perhatian, karena pembelokkan issue, menurut saya hanya anekdot saja dengan logika bengkok dari orang terhormat yang dikira punya kebaikan yang konsisten.
Apakah saya sentimen dengan pak Ganjar atau Prof. Mahfud? Tidak lah, mereka sangat berwawasan dan kompeten dibidangnya.
Apakah saya pendukung pak Prabowo? Bahkan tidak, tapi hati saya takjub ketika anak saya bilang, “pak Prabowo gemoy, yah, aku seneng”, dunia saya kemudian berbisik keras bahwa inilah figur era baru bagi saya.
Bila bonus demografi tidak mampu dimanfaatkan dengan baik maka berpotensi menjadi beban dalam proses pembangunan, fenomena peradaban kependudukan suatu negara di mana, terjadi ledakan jumlah penduduk usia produktif yang dapat menjadi modal dasar yang akan sulit dikelola cendikiawan yang berwibawa dan berwawasan melainkan justeru oleh figur sebayanya, kekuatan yang dapat meruntuhkan ide kuasa federatif dan akuisisi yudikatif kedalam eksekutif.
Menurut Bank Dunia (2011), pada dasarnya, bonus demografi yang mengilhami meledaknya pertumbuhan kelas menengah baru di Indonesia masih terjebak dalam logika elitis, dengan kelas borjuis yang masih menghamba negara. Hal itu dapat dilihat dalam berbagai ulasan media bahwa korupsi terjadi karena kongkalingkong antara bisnis dan politik.
Turro SW dari UI mengatakan bahwa human capital investment harus mendapat security (rasa aman) untuk self-worth yang bagus. Sebaliknya, kekerasan terhadap anak dapat memunculkan mental health issue yang sangat mempengaruhi performa bekerja saat berada di usia produktif.
Mereka dapat tumbuh dan tua bersama, angkatan kerja yang diharapkan bisa sejahtera sebelum tua, karena itulah saya ragu MK telah keliru dalam mengambil keputusan.
Prof. Mahfud juga adalah guru dan saya adalah anak ideologi hukum beliau, rumahnya bukan rumah UU tapi rumah hukum, ranahnya bukan UUD tapi Konstitusi, ruangnya bukan eksekutif apalagi legislatif tapi yudikatif. Tapi, bisa jadi memang ini langkah politik hukum beliau diluar rumah yudikatif, jika demikian maka saya jadi takjub.
Saya percaya sebagian besar pendukung beliau hanya oportunis, berpikir profit dan kuasa kemenangan, bukan karena kompetensi beliau melainkan karena bakal jabatan beliau.
Jika demikian menurut saya ada 2 hal, Prof. Mahfud gagal mendidik atau justeru para terdidik yang sebenarnya salah jurusan ini merasakan manfaat lebih kontestasi yang diikuti gurunya, apalagi jika menang.
Orang yang mengasihi beliau mesti memintanya untuk pulang kerumah hukum, bukan didorong menuju rumah kekuasaan.
Bukankah sekarang ini sedang terjadi kegusaran akan perkawinan politik dengan hukum, lalu, mengapa justeru mengumpankan beliau kepada politik murni, menikahkannya kepada kontestan politik?
Mengapa hanya Mahkamah Konstitusi? Persepsi dinasti bukankah menunjuk juga pada pak Jokowi?
Bukankah Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan pendapat DPR mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden?
Mengapa putusan MK 90 mendapat respon dari KPU dan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang batas usia minimal peserta pemilu presiden dan wakil presiden menyesuaikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Bila dikaitkan dengan prinsip Purcell lebih kepada hak suara, perubahan yang terjadi beberapa minggu sebelum pemilu, masih terdapat disparitas perbedaan yang mencolok bahwa putusan MK 90 adalah mengenai pencalonan, dan masih jauh dari pemilu.
Saya merujuk pula pada pendapat pak I Dewa Gede Palguna bahwa MK dapat memberikan tafsir bagi suatu norma yang jika tidak dimaknai demikian maka norma tersebut menjadi inkonstitusional, jadi dalam hal ini putusan MK 90 tidak dalam konteks menambah frasa melainkan memberikan makna agar norma tersebut konstitusional.
Oleh karenanya, kepada Yang Terhormat Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, kekhilafan putusan MK 90 adalah inkonsiderasi legal standing, didalamnya hanya 2 Hakim (Arief dan Saldi) yang mengurai dissenting legal stand, selebihnya tidak.
Merujuk pada Peraturan MK No. 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian UU Pasal 35, mensyaratkan bahwa pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan sebagaimana dimaksud Pasal 32 huruf e, meliputi:
- Maksud dan tujuan permohonan;
- Kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud Pasal 24 huruf c UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003;
- Kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) dan (2) UU Nomor 24 Tahun 2003;
Artinya, putusan MK 90 tidak memenuhi unsur pasal 32 huruf e poin c tentang legal standing pemohon. Inilah cacat formil yang mendasar.
Tidak ada masalah etik sebab transformasi judicial activism adalah sah akibat overspan politik. Menurut saya.
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL